Search
Close this search box.

[Resensi] STOIK: Refleksi Tahun Baruku Sebagai Seorang Queer (Bagian 1)

Oleh: Febbry Bhirink*

SuaraKita.org – Tahun 2023 telah berakhir. Biasanya, momentum akhir tahun sangat dekat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial; aktivitas merenung, refleksi dan proyeksi ataupun resolusi terhadap tahun-tahun mendatang.

Alat-alat untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu bervariasi, demikian dikatakan oleh Massimo Pigliucci, penulis yang bukunya akan saya bahas sebentar lagi. Alat-alat itu mulai dari naskah-naskah suci agama, meditasi mendalam, dari argumen-argumen filsafat sampai eksperimen-eksperimen ilmiah, yang bebas kita pilih sesuai dengan yang kita rasa tepat atau cocok bagi diri dan kondisi kita.

Saya seorang queer dengan masalah mental. Selama bertahun-tahun, saya hidup dengan depresi dan kecemasan, yang membuat saya sering resah, khawatir bahkan putus asa dalam menjalani hari-hari. Belakangan saya tahu, kecemasan memang kerap menghinggapi hari-hari orang yang hidup di kota, sebab kita adalah entitas yang sudah betul-betul lepas dari tanah atau sebagai sumber penghidupan, dan bergantung pada satu-satunya sumber penghidupan di kota, yakni upah sebagai pekerja.

Sementara itu, kehidupan di kota begitu mahal, padat sesak, serba tergesa-gesa, sulit menemukan tempat tinggal yang aman dan nyaman—kalau beruntung bisa tidak diskriminatif dan menerima kehadiran sahabat anjing atau kucing, yang adalah terapis terbaik bagi diri kita.

Selain sisi internal diri yang bermasalah, dunia di luar sana pun masih tetap kacau balau. Papua yang terus bergejolak, perang di Palestina dan sebagainya. Atau tiba-tiba saja di tahun menuju Pemilu, minoritas gender dan seksual menjadi gorengan bagi pihak berkepentingan yang hendak mendulang suara.

Menjelang akhir tahun, saya menemukan sebuah buku berjudul STOIK Apa dan Bagaimana Kebijaksanaan yang telah Teruji untuk Kehidupan Masa Kini, ditulis oleh Massimo Pigliucci, seorang profesor filsafat dari City College New York. Setelah saya baca, buku ini ternyata luar biasa. Ajaran kuno Stoik ternyata bisa membantu kita bertumbuh pada masa modern sekarang ini.

Stoikisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat yang berpangkal pada Socrates pada masa Helenistik, sebelum kebangkitan Kristianitas. Pendirinya bernama Zeno dari Citium. Awalnya, pengikut Zeno disebut Zenonian, namun akhirnya disebut Stoik karena mereka sering berkumpul di Stoa Poikile, suatu tempat umum di sebuah kota.

Sebagaimana aliran-aliran filsafat pemikir Socrates, Stoik juga eudaimonik, artinya pemikiran mereka menyasar pada bagaimana cara terbaik menjalani hidup.

Pelajaran pertama Stoik: Doa Ketenteraman Hati

Tuhan, anugerahkan kepadaku ketenteraman

Untuk menerima hal-hal yang tidak mampu aku ubah

Keberanian untuk mengubah hal-hal yang mampu aku kerjakan

Dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya

Doa ini diperkenalkan oleh Renhold Niebuhr, teolog Amerika yang memakainya dalam khotbah sejak 1934, dan kemudian menjadi terkenal karena dipakai dalam pertemuan-pertemuan Alcoholics Anonimous dan organisasi-organisasi penanggulangan ketergantungan lain.

Ternyata, ada versi yang lebih kuno dari doa ini, yang ditulis oleh Epictetus dari Hierapolis, salah satu tokoh Stoik yang lahir sekitar tahun 55 Masehi. Bunyinya demikian:

Manfaatkan sebaik mungkin apa yang ada dalam kekuasaanmu, lalu biarkan selebihnya terjadi. Ada yang bergantung pada keinginan kita, ada pula yang tidak. Pandangan kita adalah hak kita, begitu pula dorongan, hasrat, dan rasa benci—pendek kata, apapun yang kita perbuat sendiri. Tubuh kita tidak terserah kepada kita, begitu pula harta milik kita, reputasi kita, atau jabatan publik kita, atau apapun yang bukan perbuatan kita sendiri.

Bagi Pigliucci, kemiripan atau kesejajaran antara ajaran-ajaran ini menunjukkan bahwa beberapa konsep pokok Stoikisme ditemukan dalam tradisi-tradisi filsafat dan religius lain termasuk Yudaisme, Kristianitas, Buddhisme, dan Taoisme.

Lalu apa sebenarnya pesan dari Stoikisme?

Yang pertama: sejumlah hal ada dalam kendali kita, selebihnya tidak.

Pelajaran pertama Stoikisme adalah memusatkan perhatian dan usaha pada hal yang punya kendali, lalu membiarkan semesta berjalan sesuai kemauannya. Ini mencegah kita buang-buang energi terhadap hal yang tak dapat kita kendalikan. Tentu dengan demikian akan membantu kita juga untuk meminimalkan kecemasan akan berbagai hal.

Namun bukan berarti kita tunduk pada fatalisme atau ketidakberdayaan, kata Pigliucci. Menurutnya, bagian terpenting dalam proses tumbuh dan menjadi orang dewasa yang matang adalah memastikan ada lebih kendali dalam hidup kita.

Sebagai seorang queer yang masa remaja-muda saya banyak tersayat secara mental akibat minimnya pengetahuan dan empati keluarga-masyarakat akan keberagaman seksualitas, saya kini ‘terpaksa’ menjalani sejumlah terapi kesehatan mental demi fungsionalitas diri saya sebagai manusia dewasa.

Saya sendiri merasa banyak tertinggal dari rekan sebaya. Sekuat apapun saya mencoba, rasanya selalu ketinggalan jauh dan berjalan lambat. Namun, Epictetus bilang penyesalan adalah penyia-nyiaan energi emosional. Dijelaskan oleh Pigliucci dalam menguraikan apa yang dikatakan oleh Epictetus, kita tidak dapat mengubah yang sudah berlalu—itu di luar kendali kita. Kita dapat, dan harus, belajar darinya, tapi satu-satunya situasi yang ada dalam kuasa kita adalah yang sedang berlangsung di sini dan saat ini, hic et nuc.

Jadi meskipun barangkali terlambat dibanding waktu yang ideal, tapi dengan tekad, saya bisa mulai dan memperoleh hasil atau manfaat secukupnya dari terapi psikologis, meski mungkin tidak ideal sebagaimana orang yang dianugerahi privilege hidup sehat tubuh-mental sejak dini. Saya tidak bisa memaksa untuk mendapatkan apa yang ideal, namun saya bisa memilih untuk terus melanjutkan terapi, dan menikmati kemajuan perkembangan kesehatan mental saya ke depannya.

Tentu banyak hal dalam hidup yang begitu meresahkan dan menyesakkan. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan, melemahnya daya lenting diri, kemungkinan persekusi dan lain sebagainya. Tapi yang terpenting adalah memandang hidup dengan keberanian.

Kepercayaan diri terletak pada kesadaran bahwa kita telah melakukan segala sesuatu yang ada dalam kendali kita, karena hal itu, dan hanya hal itu, yang berada dalam kendali kita. Saya harus mulai menerapkan pola hidup yang sehat agar selain tubuh, mental saya juga bisa pulih, itu misalnya.

Selain itu saya mesti tetap melibatkan diri di dalam kolektif untuk saling dukung, saling bantu, saling jaga, serta memperjuangkan apa yang kami bisa bersama-sama, sebaik mungkin. Menikmati kebersamaan dan kasih sayang sesama manusia sebanyak mungkin selama masih bisa, namun berusaha keras tidak menganggap mereka milik kita, sebab sudah pasti entah kapan kita atau mereka akan pergi, dan satu-satunya musim yang tepat untuk bersyukur atas kehadiran mereka akan berlalu. Penting untuk mempraktekkan ketidakterikatan kepada benda dan manusia.

Sebagian besar hal tidak benar-benar ada di bawah kendali kita, dari hal-hal yang remeh dan tidak signifikan sampai hal-hal yang sangat penting. Pada titik inilah, sebagaimana doa Ketenteraman Hati, diperlukan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.

Demikianlah, menerapkan Filsafat Stoa adalah tentang bagaimana mengakui emosi-emosi, bagaimana mengarahkannya kembali demi kebaikan kita, bagaimana berusaha mengingat mana yang ada dalam kendali kita dan mana yang tidak, dan bagaimana memusatkan upaya-upaya kita pada yang pertama dan tidak membuang waktu untuk yang lain.

*Penulis adalah Kontibutor Suara Kita. Penulis bertempat tinggal di Sawangan, Depok. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui Facebook Febbry Bhirink atau Instagram @febbrybhirink.