Search
Close this search box.

[Resensi] I’m in Love with the Villainess: Mendorong Topik Kesetaraan Minoritas Gender dan Seksual Bagi Penggemar Anime Indonesia

Oleh: Lena Tama*

Anime di Indonesia adalah suatu produk hobi populer yang belum akrab dengan konsep keberagaman gender dan orientasi seksual, meskipun ada genre yuri [百合] (GL) dan yaoi [やおい] (BL). Penggemar anime Indonesia hanya memandang hal tersebut sebagai fanservice, tak lebih dari itu.

Seiring keterbukaan masyarakat Jepang terhadap topik kelompok Minoritas Gender dan Seksualitas, industri anime mulai dipenuhi dengan sejumlah judul yang mendorong nilai-nilai tersebut, salah satunya adalah I’m in Love with the Villainess! 「私の推しは悪役令嬢。」atau disingkat sebagai ILTV.

I’m in Love with the Villainess menjadi salah satu anime yang terbuka atas topik Minoritas Gender dan Seksual. Kiri tengah: Claire François, kanan tengah: Rei Taylor (Sumber: Crunchyroll)

Anime yang diadaptasi dari serial novel karangan Inori-sensei dan kemudian menjadi manga (komik) ini adalah salah satu karya pop Jepang yang popularitas novel dan manga-nya menyebar ke pembaca luar negeri. 

Hal itu mencirikan keterbukaan Jepang atas isu kesetaraan gender dan orientasi seksual, serta mendorong para penggemar anime untuk lebih menerima Minoritas Gender dan Seksual, termasuk di Indonesia.

Premis I’m In Love with the Villainess

Cerita ILTV berpusat pada sosok perempuan bernama Oohashi Rei, penggemar game otome (game simulasi romansa untuk demografis perempuan) yang juga korban budaya overwork. Setelah terlelap sambil bermain game otome favoritnya, “Revolution,” ia terbangun di dunia lain (isekai), yaitu sebuah dunia kerajaan dari game yang ia mainkan sebelumnya dengan kisah dan karakter-karakter dari game tersebut.

Namun berbeda dari kisah game Revolution yang mengharuskan tokoh utamanya untuk berjodoh dengan satu dari tiga tokoh laki-laki utamanya, Oohashi Rei yang kemudian menggunakan nama barunya sebagai Rei Taylor sebagai tokoh utama di dunia baru tersebut mengabaikan semua karakter pria dalam game dan memilih menjalin hubungan dengan antagonis utama dalam game tersebut: Sosok perempuan khas stereotip penjahat bangsawan bernama Claire François.

Selain itu, ada pula dinamika khas era Renaisans seperti perbedaan status sosial secara hierarki yang menjadi salah satu titik konflik. Pembawaan ceritanya secara komedi membuat tema ini terasa ringan tanpa mengurangi beban-beban konflik termasuk konflik utama lainnya yaitu penerimaan identitas dari sisi gender dan orientasi seksual.

Ilustrasi cuplikan.

Pada awal bagian novel dan episode 3 di anime. Teman-teman dekat Rei berdiskusi secara terbuka mengenai konsep homoseksualitas dan alasan Rei menyukai Claire mengingat keduanya sama-sama perempuan.

Rei mengakui dirinya lesbian yang tidak tertarik pada laki-laki. Kedua teman Rei, Misha dan Lene menerima Rei serta mengkritisi Claire yang menjaga jarak karena prasangka buruknya terhadap konsep homoseksualitas yang ia samakan dengan peleceh seksual.

Sebuah langkah besar untuk para penggemar anime

Di luar konteks anime, obrolan seputar seksualitas mungkin sudah jadi hal yang biasa. Namun, hal menarik dari percakapan keempat tokoh tersebut adalah adanya percakapan itu sendiri tanpa sensor. 

Pemeran utama ILTV sendiri, termasuk beberapa tokoh anime lain di ILTV, membawakan perspektif dan nuansa baru dengan melawan arus ekspektasi orang-orang terhadap tokoh perempuan anime pada umumnya. 

Pertama, Rei Taylor yang mengaku dirinya lesbian bukan hanya humoris untuk menyenangkan suasana namun juga sebagai mekanisme pertahanan dirinya untuk menutupi ketakutan terhadap prasangka buruk orang lain, terutama mereka yang membencinya karena ia queer seperti yang pernah ia alami semasa hidupnya sebagai Oohashi Rei.

Kemudian, Claire François sebagai antagonis cerita ILTV justru menjadi sosok yang dicintai Rei. Meski Claire mengaku dirinya heteroseksual dan naksir dengan salah seorang tokoh laki-laki utama dalam cerita, ditambah sikapnya yang antagonistis terhadap masyarakat kelas bawah layaknya stereotip perempuan bangsawan zaman Renaisans, ia termasuk sosok yang mau mengaku salah dan terbuka atas hal baru, termasuk pada implikasi bahwa ia sebenarnya biseksual dan perlahan terpikat oleh sosok Rei.

Dialog serta perkembangan karakter yang menarik ini adalah salah satu contoh titik konflik yang pembawaannya cukup berhasil oleh Inori-sensei, mengingat beliau bukan hanya menyajikan isu kesetaraan Minoritas Gender dan Seksual namun juga isu sosial lainnya ke dalam cerita seperti perbedaan kasta dan dunia politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat kelas bawah.

Terlebih lagi, anime yang sorotan utama temanya adalah Minoritas Gender dan Seksual masih terbilang baru dalam industri anime yang cenderung masih didominasi oleh anime fantasi pemuas nafsu penonton cisgender laki-laki dengan penggambaran tokoh perempuan yang kerap menurunkan derajat tokoh-tokoh perempuan di dalamnya. 

Akan tetapi, Inori-sensei sangat eksperimental dalam pemilihan isu sosialnya, termasuk salah satu isu yang cenderung masih tabu secara mendunia dan akan ditampilkan di episode masa depan mengingat isu tersebut sudah dibahas dalam novel ILTV (demi mencegah spoiler, penulis tidak akan menceritakan isu tersebut). Hal ini berpotensi mengganggu penonton yang mulai menerima cerita dan karakter-karakter di dalamnya.

Pandangan penggemar anime Indonesia terhadap anime Minoritas Gender dan Seksual

Anime yang masih diidentifikasi sebagai tontonan anak belum terlalu populer di masyarakat Indonesia. Apalagi hingga saat ini belum ada satu pun anime bertemakan Minoritas Gender dan Seksual yang pernah tayang di stasiun televisi lokal Indonesia sejak anime pertama kali tayang pada tahun 1970 di TVRI.

Satu judul yang paling mendekati tema Minoritas Gender dan Seksual dan pernah tayang pada tahun 1990-an adalah Sailor Moon di stasiun TV Indosiar. Namun, elemen queer yang dibawakan oleh tokoh Sailor Uranus (Haruka Tenou) dan Sailor Neptunus (Michiru Kaiou) lenyap akibat lokalisasi untuk segmen penonton di Barat dan negara-negara lainnya. Dalam konteks ini, terjadi perubahan elemen hubungan sesama jenis kedua tokoh tersebut menjadi hubungan keluarga antar sepupu agar mencocokkan ceritanya dengan budaya Barat pada masa itu.

Genre yuri dan yaoi dalam anime juga masih memiliki persepsi negatif bagi para penggemar anime Indonesia yang cenderung memandang keduanya sebagai sekadar bentuk fanservice untuk penonton cisgender heteroseksual belaka, bukan sebagai bentuk ekspresi Minoritas Gender dan Seksual serta dorongan penerimaan kesetaraan gender.

Kini semakin banyak judul anime baru yang membawakan topik hubungan sesama jenis dan ekspresi gender sebagai salah satu sorotan utama mereka seperti pada Gundam Witch from Mercury, Adachi & Shimamura, Bloom Into You, dan MagiRevo. Bahkan seri anime raksasa seperti One Piece turut membawa elemen ekspresi gender baru yang bukan satir maupun parodi melalui tokoh Yamato yang mulai diterima oleh para kru bajak laut Topi Jerami sebagai sosok transman.

Dengan hadirnya I’m in Love with the Villainess yang masih berjalan di musim ini, besar harapannya bagi para penggemar anime Indonesia untuk lebih menerima advokasi Minoritas Gender dan Seksual sekaligus isu sosial lainnya yang akan dibawakan oleh Rei dan Claire ke depannya.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.