Search
Close this search box.

[Resensi] Nimona, Fiksi dengan Permasalahan Nyata

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Nimona adalah film animasi yang tak sengaja saya temukan ketika hendak tidur. Dengan cerita soal makhluk pengubah bentuk (shape-shifter), Nimona berhasil mengangkat isu politik dan sosial dengan kemasan animasi menarik dan plot yang segar.

Selain itu, Nimona juga memiliki pesan soal persahabatan, kesetaraan dan keberagaman. Dalam hal ini, orientasi seksual dan identitas gender terlihat melalui kisah percintaan antara karakter Ballister Blackheart dan Ambrosius Goldenloin. 

Ambrosius Goldenloin dan Ballister Blackheart.

Karakter Nimona, yang merupakan shape-shifter, juga dinarasikan sebagai sesuatu yang cair atau non-biner. Seperti saat Ballister Blackheart bertanya pada Nimona soal identitas gendernya, “What are you?”, yang kemudian dijawab oleh Nimona, “I’m Nimona!”. Atau ketika Ballister bertanya, “What if you held it in? If you didn’t shape-shift?” (Bagaimana kalau kamu tahan? Kalau kamu tidak mengubah bentukmu?).

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, atau dikatakan di film ini sebagai “small-minded questions”, tentu sering dilontarkan kepada kelompok Queer, Transgender, maupun non-Biner di kehidupan nyata. 

Lebih dari pada isu kesetaraan dan keberagaman di atas, Nimona juga mengangkat isu yang cukup politis. Isu tersebut berupa persoalan bagaimana penguasa mengatur masyarakatnya menggunakan dogma atau ajaran yang ditanamkan sejak kecil. 

Dalam film ini, digambarkan bahwa anak-anak sudah berani mengangkat pedang untuk membunuh makhluk seperti Nimona. Mereka diajarkan sejak kecil bahwa sesuatu yang asing adalah sesuatu yang harus ditumpas. Hal ini terus berlanjut hingga mereka dewasa dan bergabung ke dalam pasukan prajurit perang.

Kemudian, diceritakan juga bagaimana penguasa menghalalkan segala cara demi mempertahankan sistem kerajaan yang sudah berlangsung lebih dari seribu tahun, seperti menyebarkan kabar bohong (hoaks) dan juga membentengi kerjaan dengan tembok tinggi dengan dalih melindungi diri dari monster-monster di luar kerajaan, seperti Nimona. 

Hal yang sangat menyentuh adalah ketika Nimona mengatakan, “I don’t know what’s scarier. The fact that everyone in this kingdom wants to run a sword through my heart, or that sometimes I just want to let them.” (Aku tak tahu mana yang lebih menakutkan. Fakta bahwa semua orang di kerajaan ini ingin menusuk jantungku dengan pedang, atau bahwa terkadang aku merasa ingin membiarkan mereka melakukan itu.)  

Nimona sudah hidup lebih dari seribu tahun dan selama itu juga dirinya terus diasingkan oleh masyarakat bahkan menjadi buruan prajurit perang dan Nimona yang disebut sebagai monsternya? Padahal yang Nimona inginkan hanyalah teman.

Nimona diangkat dari novel grafis populer tahun 2015, yang dibuat oleh seniman dan penulis transgender, ND Stevenson. Film ini, rencana awalnya akan dirilis pada tahun 2020 oleh mantan anak perusahaan Fox, Blue Sky Studios. Namun, batal setelah perusahaan besar tersebut menutup Blue Sky dan menyusul penggabungan Disney-Fox. Mantan staf Blue Sky mengatakan, film ini menerima penolakan dari Disney atas romansa sesama jenis antara Ballister dan Ambrosius. Kemudian, Netflix menyelamatkan film tersebut dan tetap mempertahankan tema awalnya.

 

*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Esa juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, dan Wahid Foundation.