Karya: Pendeta Johan
Kemarin aku melihat banci
menyusuri jalan kota Bekasi
di bawah rembulan nan berseri.
Dandannya, alamak, seksi sekali —
rambut pirang, sepatu hak tinggi,
kotak musik bergelayut di sisi.
Toko dan warung dia sisiri.
Bibir pink-nya bernyanyi tak henti.
Mikrofon di tangan kiri,
bungkus permen di tangan satunya lagi.
Kemarin aku melihat banci
mendekati kerumunan laki-laki
“Oom, permisiii…”
Ada yang peduli dan memberi,
ada pula yang tampak risi,
bahkan bergegas melarikan diri.
Mungkin takut dirinya tak lagi suci
jika bersentuhan dengan si banci,
atau takut ketularan jadi banci.
Kemarin aku melihat banci
menyusuri jalan kota Bekasi.
Ia dikasihani, tapi juga dinyinyiri
“Salahnya sendiri!
Siapa suruh jadi banci!
Mending bajunya diganti,
pakai sarung, koko, dan peci!”
Padahal bukan maunya dia begini
perempuan terjebak di tubuh lelaki.
Sejak remaja dia dipersekusi
bahkan oleh ayahnya sendiri
yang merasa kehilangan harga diri
karena anaknya banci.
Jadilah ia dibenci, disuruh pergi
lalu terdampar di Planet Bekasi.
Kemarin aku melihat banci
menyusuri jalan kota Bekasi,
mengais, berebut rejeki.
Potret keji penindasan dan dominasi,
patriarki, diskriminasi, juga hipokrisi.
Yang tak sesuai mayoritas harus dibasmi
atas nama tradisi dan semua asma Sang Ilahi.
“Bertobatlah dulu, baru kami kasihi.”
“Berubahlah dulu, baru boleh melayani.”
“Jadi seperti kami dulu, baru boleh terima komuni.”
Kemarin aku melihat banci.
Ia menggedor pintu hati,
menagih janji hak asasi,
menggugat dominasi,
meraung demi empati,
meratapi semua diskriminasi.
Kemarin aku melihat banci,
dan malam ini aku jadi sangsi,
ketika aku hendak membasuh kaki,
jangan-jangan aku pun kroni sang dominasi?
Sudahkah aku mengosongkan diri —
mengisi hati penuh dengan empati?