Pete, Kevin dan Danny pada 2001
SuaraKita.org – Danny Stewart tengah bergegas ke tempat kekasihnya untuk makan malam ketika dia melihat ada yang tergeletak di lantai stasiun kereta bawah tanah New York. Begitu melihat, dia langsung menganggapnya hal yang paling berharga di dunia.
Saat itu pukul delapan malam tanggal 28 Agustus 2000, baru saja lewat jam macet kala kereta bawah tanah berdecit untuk berhenti di stasiun 14th Street, di distrik Manhattan.
Danny Stewart (34), ketika itu terlambat dari jadwal untuk makan malam bersama kekasihnya, Peter Mercurio (32).
Lelaki sejoli itu kali pertama bertemu tiga tahun sebelumnya lewat seorang teman di klub softball Pete. Lalu Danny pindah rumah ke tempat Pete dan temannya. Namun, pada suatu malam di musim panas, dia harus mengambil barang di apartemennya di Harlem.
Saat bergegas keluar dari stasiun, matanya melihat sesuatu yang tidak biasa.
“Saya perhatikan ada sesuatu yang tergeletak di atas lantai dekat dinding, saya kira boneka bayi,” ujarnya.
Sempat heran, kenapa bisa ada boneka bayi yang diletakkan begitu saja, dia sempat terus melangkah ke pintu keluar.
“Saya pandangi sekali lagi, seketika itu kaki-kakinya bergerak.
Danny pun bergegas turun lagi dari tangga dan langsung menyadari bahwa itu bukan boneka, melainkan seorang bayi, yang dibungkus kaos hitam dan kakinya menyembul keluar.
“Dia tidak berpakaian, hanya dibungkus kaos hitam. Tali pusarnya masih ada, kemungkinan dia baru lahir. Saya kira usianya baru sehari,” ujar Danny.
Stasiun subway 14th Street di Chelsea, Manhattan, tempat bayi Kevin ditemukan
Danny sempat tidak percaya apa yang baru saja dia lihat. Pun tidak habis pikir bagaimana bisa seorang bayi ditinggalkan begitu saja di lantai, siapa yang tega berbuat demikian.
Bayi itu sangat kalem, dengan matanya yang besar dan lebar.
“Dia mendongak dan saya belai kepalanya, lalu dia menangis. Tampaknya benar-benar tidak nyata…dan pada saat itu saya coba memberitahukan ke orang-orang sekitar atas kejadian tersebut, tetapi saya tidak dapat menarik perhatian siapapun”.
Danny pun menyahut, “Tolong panggilkan polisi,” tapi hampir semua orang mengabaikannya.
“Saya akhirnya dapat perhatian seorang perempuan, namun dia tidak bisa bahasa Inggris sehingga tidak sepenuhnya mengerti apa yang saya katakan, bahkan saat saya berupaya menunjuk ke bayi itu,” lanjut Danny.
“Mungkin dia mengira saya agak gila.”
Peristiwa itu terjadi di era sebelum orang-orang punya ponsel dan Danny takut untuk langsung mengambil bayi itu, siapa tahu dia sakit. Jadi Danny malah keluar dulu dari stasiun kereta ke telepon umum terdekat untuk menelpon layanan darurat 911.
“Saya menemukan seorang bayi,” ujarnya kepada petugas operator layanan darurat. Setelah memberi tahu lokasinya, dia bergegas kembali menemui bayi itu dan masih baik-baik saja. Dia ternyata menanti bantuan petugas begitu lama.
“Saya yakin cuma butuh beberapa menit, namun waktu seolah berhenti saat jantung saya berdegup kencang,” ujarnya. “Saya mengira, pasti mereka menyangka itu tadi cuma telepon orang iseng sehingga tidak mempercayai laporan saya. Akhirnya saya harus telepon orang lain, dan saat itu saya langsung ingat Pete.”
Sambil mengambil uang koin, dia kembali ke boks telepon umum untuk memanggil Pete.
“Sekali lagi, saya cuma bilang,’Saya baru temukan seorang bayi. Tapi polisi tidak percaya, jadi tolong segera telepon mereka.'” pesannya.
Pete, yang saat itu sudah terlalu lama menunggu Danny di apartemennya, mengaku bulu kuduknya langsung berdiri.
“Karena Danny orangnya tidak suka bercanda, apa yang dia bilang pasti tidak bohong,” ujarnya.
sumber gambar,pete mercurio
Dia lalu bergegas pergi dari apartemennya menuju stasiun kereta bawah tanah, sampai pada saat polisi menggendong bayi itu dan akan membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. Setelah Danny memberi keterangan ke polisi, dua lelaki itu pun pergi.
“Saya ingat menoleh ke Danny sambil berkata di pinggir jalan saat mobil polisi sudah meluncur, ‘Tahu nggak, kamu bakal ketemu lagi dengan bayi itu untuk seterusnya,’ kata Pete.
“Danny seperti, ‘Maksudmu apa?’ Saya bilang, ‘Ya, pada akhirnya, anak ini akan mengetahui peristiwa pada saat dia ditemukan dan bakal mencari siapa orang yang menemukannya. Mungkin ada cara bagi kita untuk cari tahu dia bakal tinggal di mana dan mengirimnya hadiah ulang tahun pada tanggal dia ditemukan.'”
Hari berikutnya, berita ada seorang bayi ditemukan di stasiun subway langsung jadi berita utama media massa.
“Danny Stewart menjadi orang baik yang menemukan bayi mungil itu,” kata seorang reporter saat Danny diwawancara untuk stasiun televisi.
“Bayi ini keturunan Hispanik dengan bercak rambut coklat di atas kepalanya,” ujar yang lain.
Penasaran dengan kondisi kesehatan si bayi, Danny pun saat itu meluncur ke rumah sakit, namun tidak ada kabarnya.
Danny dan Pete pun kembali ke rutinitas mereka. Danny merupakan seorang pekerja sosial sedangkan Peter adalah penulis naskah dan desainer web.
Tidak lama kemudian, Danny menerima surat panggilan dari Dinas Anak-anak untuk menghadiri sidang pengadilan keluarga. Dia di sana bersaksi soal kronologi menemukan bayi itu.
Saat sidang berlangsung Desember 2000, hakim bertanya kepada Danny apakah bersedia mengikuti seluruh persidangan.
Dia lalu menunggu sampai polisi memberi kesaksian dan hakim berkata kepada Danny lagi.
“Dia bilang, ‘Pak Stewart, saya ingin Anda tahu situasinya, jika kita memiliki bayi yang telah ditelantarkan, kami ingin menempatkannya dalam perawatan pra-adopsi secepat mungkin.”
“Saya pun berpikir, ‘Well, memang masuk akal,'” kata Danny. “Dan selanjutnya hakim pun bertanya ke saya, ‘Apakah Anda tertarik mengadopsi bayi ini?'”
Danny melihat sekelilingnya, dan semua mata pun memandang kepadanya.
“Saya rasa mulut semua orang di ruang sidang pun ternganga, termasuk saya sendiri. Saya jawab, ‘Ya, menurut saya tidak akan semudah itu,’ dan hakim pun sambil tersenyum membalas, ‘Ya, bisa saja.'”
Meski pertanyaan hakim itu tidak disangka-sangka, teman-teman maupun para kenalannya sudah penasaran mengapa Danny dan Pete tidak langsung membawa pulang bayi itu saat ditemukan. Masalahnya, Danny, tidak semudah demikian.
Proses adopsi itu butuh enam hingga sembilan bulan dan melingkupi pemeriksaan latar belakang dan pelatihan mengasuh anak.
“Saya waktu itu tidak kepikiran untuk mengadopsi,” kata Danny, “namun, bersamaan dengan itu, saya tidak bisa berhenti berpikir bahwa…saya sudah merasa ada keterkaitan dan merasa ini bukan sekadar peluang, namun juga anugerah, dan bagaimana bisa bilang tidak dengan anugerah itu.”
Sumber Gambar,Pete Mercurio
Di luar ruang sidang, Danny menelpon Pete untuk memberi tahu kabar itu.
“Naluri saya ingin bereaksi, ‘Tidak, kamu tidak tertarik. Sana, pergi kembali ke ruang sidang dan bilang kepada hakim, tidak, saya sudah salah ambil keputusan. Pokoknya bilang saja tidak,'” kata Pete.
Pekan berikutnya, mereka berdua beberapa kali terlibat dalam, apa yang disebut Danny, percakapan yang menegangkan. Pete menyebutnya adu argumen yang panas.
“Saya tidak mau hidup saya berubah. Saya sudah senang dengan keadaan yang seperti ini dan nanti segalanya berubah,” ujar Pete.
“Kami tidak punya uang, tidak punya ruangan lagi, dan masih ada teman yang mengontrak. Saya juga sedikit marah dengan dia, ‘Kok bisa sih bilang iya tanpa bicara dulu ke saya?'”
Situasi itu lah yang membuat mereka hampir putus.
“Danny suatu ketika berkata, ‘Saya tetap akan menjalaninya walaupun tidak ada kamu,”kata Pete, dan saya pun menyahut, “Jadi kamu lebih memilih bayi ketimbang hubungan kita?”
“Dia bilang, ‘Saya ingin kita semua menjadi satu keluarga, saya ingin kita bisa melakukannya bersama, tapi kalau kami tidak siap saya memakluminya dan akan merawatnya dengan atau tanpa kamu.'”
Pete pun teringat pernah melontarkan kata-kata yang tidak enak kepada Danny, salah satunya seperti, “Selamat deh jadi orang tua tunggal di New York.”
Walau demikian, lanjutnya, sebagian dari dirinya ingin sekali itu terjadi
Maka, Danny membujuk Pete untuk bersama dia mengunjungi bayi itu di rumah asuh.
Sesampainya di sana, mereka langsung merasa tempat itu tidak cocok untuk si bayi. Apalagi bayi itu mengalami luka dan infeksi ruam popok dari pusarnya di sekitar pinggul dan paha ke punggungnya.
Petugas urusan anak yang datang bersama mereka lalu bertemu bersama-sama dengan ibu asuh dan menggeser bayi itu bersama kursinya ke dekat Danny dan Pete.
Si bayi melihat mereka berdua dengan mata berbinar.
Danny perhatikan bayi itu tidak mengedipkan mata dan sangat tenang.
Menggendong bayi itu di tangannya untuk kali pertama kali, Denny perlahan berkata, ‘Ingat sama saya?’ Saat Pete dapat giliran menggendong, Pete pun langsung “merasakan kehangatan.”
“Bayi itu meremas kencang jari saya dengan tangannya,” kata Pete. “Dia hanya melihat saya dan saya pun melihat dia, dan sepertinya dia menemukan titik di jari saya yang langsung membuka hati hingga kepala untuk menunjukkan kepada saya pada saat itu bahwa saya bisa menjadi salah satu orang tuanya, salah satu ayahnya.”
Pete dan Danny saat mengunjungi Kevin di sekolahnya pada 2007
Sesudah pertemuan pertama itu, proses adopsi langsung dimulai. Ditandai dengan beberapa kali kunjungan ke rumah asuh, pemeriksaan latar belakang dan sejumlah pertanyaan untuk dijawab.
Danny dan Pete diberi tahu bahwa butuh beberapa bulan hingga bayi itu bisa pindah ke rumah mereka, jadi mereka berdua punya banyak waktu untuk persiapan.
Namun mereka harus mengikuti sidang pengadilan pada 20 Desember untuk mengutarakan niat mengadopsi bayi itu. Kebetulan sidang tersebut dipimpin hakim yang sama dan dia langsung melihat kalender di meja.
“Dia lalu melihat ke kami dan berkata, ‘Apa kalian menginginkannya saat liburan nanti?'” kata Pete. “Kami berdua mengangguk, iya, namun dalam hati saya berpikir, ‘Liburan apa? Saya harap maksud hakim bukan liburan Natal, karena tinggal dua hari lagi.'”
Namun justru liburan itu yang dimaksud dan hakim mulai mengeluarkan perintah kepada petugas urusan anak dan jaksa agar menyiapkan bayi bisa pindah dari rumah asuh dalam dua hari.
Di rumah, Pete minta bantuan keluarganya. Mereka sudah diberi tahu soal rencana adopsi dan langsung beri dukungan.
“Saya bilang kami akan menamai dia Kevin, dan ibu mulai menangis karena dulu pernah melahirkan seorang anak sebelum saya tetapi meninggal dunia dan mereka menamai bayi itu Kevin,” kata Pete.
“Jadi terasa janggal bayi Kevin kembali lagi ke mereka, kali ini sebagai cucu dari anaknya yang gay.”
Pete, Kevin dan Danny pada 2011
Cuma dua hari untuk bersiap, mereka pun langsung gerak cepat. Keluarga Pete pergi ke toko-toko untuk membeli semua kebutuhan untuk bayi.
Danny dan Pete mulai membaca-baca buku soal mengasuh bayi, termasuk yang berjudul “What to Expect When You’re Expecting.”
Apartemen mereka pun langsung diubah layaknya kamar bayi dengan kotak-kotak popok di mana-mana dan sebuah ranjang bayi.
Pada Jumat 22 Desember pukul 09:00 pagi, Danny dan Pete menjemput Kevin dari rumah asuh. Mereka langsung memakaikan dia selimut dan bersama-sama pulang ke apartemen dengan kereta bawah tanah.
“Saat itu mulai turun salju,” kata Danny. “Jadi suasananya terasa lebih magis.”
Bertiga saja sebagai keluarga di malam itu, mereka menikmati saja atas semua yang telah terjadi.
“Saya rasa ini baru kali pertama kita menghela napas,” kata Danny. “Saya ingat betapa mengagumkannya bahwa momen ini benar-benar jadi kenyataan.”
Kevin tertidur lelap di dada Pete, meneteskan air liur.
Rencana hakim sebenarnya adalah Kevin bisa bersama mereka selama libur Natal saja lalu pulang ke rumah asuh. Namun, Danny dan Pete bertanya apakah bisa bayi Kevin tetap tinggal bersama mereka.
Pada 27 Desember, petugas urusan anak menelpon sambil membawa kabar baik. Kevin tetap dibolehkan bersama mereka sambil urusan administrasi diselesaikan.
Pengadilan urusan Keluarga di Manhattan berlokasi dekat kompleks Ground Zero, lokasi utama serangan teroris 9/11 pada September 2001. Itu sebabnya proses adopsi tertunda, namun akhirnya bisa dituntaskan pada 17 Desember 2002.
Danny, Pete, dan Kevin langsung bisa bersama-sama hidup sebagai keluarga.
Danny ingat bagaimana Kevin suka dengan buku. Tiap malam mereka membacakan dongeng atau bernyanyi hingga dia tidur sambil kepalanya dibelai.
Pete lalu membuat buku cerita bergambar soal bagaimana Kevin ditemukann, lengkap dengan hiasan gambar. Saat Kevin berusia tiga atau empat tahun, Pete dan Danny membacakan buku itu setiap malam sebelum tidur.
“Itu buku favoritnya,” kata Pete.
“Ada kalanya kami beberapa kali membacakannya. Sering kali Kevin terlihat membolak-balik halaman buku itu sambil mengeja kata-kata yang dia ingat. Itu adalah hal termanis untuk dilihat di dunia.”
Pete mengungkapkan bahwa selama hampir setahun Kevin tidak tahu bahwa buku itu menceritakan asal-usulnya. Tapi begitu tahu, dia sangat bangga dan senang hingga suatu saat memamerkannya di sekolah. (R.A.W)
Sumber: