Oleh: Yoga Palwaguna*
SuaraKita.org – Salah satu fase perjuangan berat yang harus dilewati oleh kelompok minoritas seksual adalah penerimaan diri. Pandangan-pandangan diskriminatif dan menyudutkan dari masyarakat umum tak jarang membuat mereka bingung dengan jati diri mereka. Bahkan tak sedikit dari mereka yang akhirnya malah membenci diri sendiri, seperti yang pernah saya alami.
Salah satu pemicu kebencian itu adalah kurangnya informasi-informasi penting mengenai seksualitas yang bisa dengan mudah saya (penulis) akses. Saya pun terjebak dalam kesalahpahaman yang tentu saja menyesatkan. Tanpa penjelasan yang memadai tentang apa itu jenis kelamin, peran gender, orientasi seksual dan praktik seksual, saya akhirnya menganggap diri saya sebagai produk gagal. Manusia yang cacat, tak sesuai kodrat. Manusia sakit yang harus segera berobat. Pendosa yang mesti cepat bertobat. Pada masa-masa itu, dari remaja hingga pertengahan dua puluhan, saya memiliki hubungan yang buruk sekali dengan diri sendiri. Hidup rasanya tak lagi bisa dinikmati.
Kehadiran Internet sangat membantu untuk tidak selamanya berada dalam ketersesatan. Limpahan informasi yang tersedia di sana menjadikan Internet sebuah titik terang yang mengeluarkan saya dari kebutaan, sedikit demi sedikit. Dari sana saya bukan hanya mendapatkan informasi-informasi objektif tentang seksualitas namun juga representasi-representasi bagi minoritas seksual dalam berbagai media, meski memang jumlahnya masih sungguh terbatas, terutama materi-materi dalam bahasa Indonesia.
Informasi-informasi baru mengenai seksualitas yang netral dari bias kepentingan agama dan moral membantu saya memperbaiki cara memandang diri sendiri. Setelah saya tak lagi menghukum diri dengan kebencian, barulah saya bisa mulai berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi, seperti apa keadaan seksualitas saya, peran gender apa yang ingin saya jalani, apa orientasi seksual saya, dan lain sebagainya.
Proses untuk mengerti itu memang belum selesai dan masih terus berlanjut hingga kini. Saya pun tetap merasa perlu mengumpulkan informasi-informasi terkait seksualitas dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan berjejaring. Sejak setahun terakhir saya mulai berkenalan dan menjalin koneksi dengan kelompok minoritas seksual lain yang ada di daerah tempat saya tinggal. Dari sana pula saya mendapatkan informasi mengenai program Kelompok Diskusi Kritis (KDK) yang diadakan oleh Suara Kita. Tanpa pikir panjang, saya ikut mendaftar.
Program tersebut dijalankan di dua kota yaitu Bandung dan Jakarta dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan, Juni-Juli 2018. Kegiatan diskusi dilakukan setiap dua minggu sekali, dengan menggunakan artikel-artikel pilihan dari buku “SEKSUALITAS DI INDONESIA – Politik Seksual, Kesehatan, Keberagaman, dan Representasi” yang dieditori Linda Rae Bennet, Sharya Graham Davies, dan Irwan Martua Hidayana terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Artikel-artikel yang dipilih berkaitan dengan politik seksual dan keragaman seksual, yaitu Pengaturan Seksualitas di Indonesia (Sharyn Graham Davies), Maskulinitas, Seksualitas, dan Islam: Politik Gender Perubahan Rezim di Indonesia (Kathryn Robinson), Belonging, Komunitas, dan Identitas: Laki-Laki Gay di Indonesia (Stephen McNally, Jeffrey Grierson dan Irwan Matua Hidayana) dan Subjektivitas Lesbian: Butch, Femme, dan Andro sejak Orde Baru hingga Era Reformasi di Indonesia (Evelyn Blackwood).
Tulisan-tulisan yang dijadikan bahan diskusi adalah materi-materi yang asing bagi saya sebagai seorang awam. Selain tak tahu cara untuk mengakses tulisan-tulisan tersebut, juga diperlukan pengetahuan dasar tentang seksualitas yang memadai untuk memahami isinya dengan benar. Mengingat banyak istilah-istilah dan rujukan-rujukan yang tak semua orang pahami.
Format diskusi yang telah disiapkan oleh tim Suara Kita membantu saya sebagai peserta untuk mengatasi kendala itu. Peserta yang berasal dari berbagai latar belakang memberikan pandangan mereka masing-masing mengenai artikel yang dibahas dalam bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Kehadiran observer dari kalangan akademisi juga berhasil memperkaya jalannya diskusi. Tim Suara Kita juga berusaha membuat bahasan-bahasan tersebut semakin mudah dipahami dengan mengajak peserta untuk menemukan hal-hal yang relevan dengan kehidupan masing-masing.
Selama diskusi berjalan, banyak sekali pengetahuan-pengetahuan baru yang saya dapatkan. Terutama tentang betapa beragamnya pengalaman yang dilalui oleh kelompok minoritas seksual di Indonesia. Ketika membahas artikel Subjektivitas Lesbian: Butch, Femme, dan Andro sejak Orde Baru hingga Era Reformasi di Indonesia tulisan Evelyn Blackwood, saya jadi tahu bahwa pengalaman lesbian di Bugis ternyata berbeda dengan pengalaman lesbian di Yogyakarta atau Sumatra Barat. Perbedaan itu mencakup banyak hal, termasuk bagaimana mereka mengekspresikan diri, posisi mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat, sebutan-sebutan yang mereka pakai, hingga pada cara mereka memandang diri sendiri.
Begitu pula dengan apa yang dialami oleh para laki-laki gay di Indonesia. Menurut artikel Belonging, Komunitas, dan Identitas: Laki-Laki Gay di Indonesia (Stephen McNally, Jeffrey Grierson dan Irwan Matua Hidayana), para laki-laki gay di Indonesia memiliki pandangan dan pengalaman yang tak kalah beragam berkaitan dengan seksualitas mereka. Sebagian menganggap homoseksualitas sebagai penentu identitas diri, sebagian yang lain hanya menganggapnya sebagai penentu tindakan-tidakan seksual. Sebagian memiliki hasrat untuk kembali ‘normal’ sebagian lain tidak. Mereka juga memiliki cara masing-masing untuk bernegosiasi dengan lingkungan yang heteronormatif.
Dua artikel lainnya menyadarkan saya bahwa kelompok minoritas seksual di Indonesia selalu bisa menemukan cara-cara kreatif untuk tetap bertahan di lingkungan heteronormatif yang mendiskriminasi kehadiran mereka. Walau masih harus banyak mengalah dan berkompromi demi keselamatan, setidaknya mereka masih tetap bisa mengekspresikan seksualitasnya. Hal tersebut memberi saya optimisme bahwa meski secara umum lingkungan yang heteronormatif di Indonesia belum memberikan ruang hidup yang nyaman, kelompok minoritas seksual punya resiliensi yang cukup kuat untuk selalu bisa menciptakan ruang aman bagi mereka sendiri.
Kekayaan ragam pengalaman terkait seksualitas juga didapatkan dari cerita-cerita yang dibagi oleh para peserta diskusi. Setiap orang memiliki pandangan masing-masing terhadap apa itu seksualitas, apa itu norma, sepenting apa coming out bagi mereka, cara mereka bernegosiasi dengan lingkungan, cara mereka menghadapi keluarga, dan lain sebagainya. Semua itu adalah cerita-cerita berharga yang mungkin tak akan saya dapatkan tanpa adanya Kelompok Diskusi Kritis dari Suara Kita.
Mengikuti program KDK Suara Kita mengantarkan saya pada sebuah perenungan. Seksualitas ternyata adalah hal yang memiliki begitu banyak lapisan yang saling tumpah tindih dengan pengalaman dan penghayatan yang amat unik dan personal. Setiap orang bisa memiliki susunan lapisan yang berbeda dengan yang lain. Membayangkan seksualitas sebagai kotak-kotak yang kejat hanya akan membuat logika saya kewalahan. Karena pada kenyataannya seseorang bisa berada di beberapa kotak sekaligus atau tidak di kotak manapun yang tersedia. Memaksakan pemisahan-pemisahan yang kaku atas seksualitas ke dalam kotak-kotak tertentu adalah usaha yang sia-sia. Studi atas seksualitas sebaiknya dilakukan untuk mengerti, bukan sekadar melabeli. (R.A.W)
*Yoga Palwaguna adalah peserta terbaik Kelompok Diskusi Kritis Suara Kita, Bandung 2018