Search
Close this search box.

[Puisi] Kaldera

Kaldera

Sepi, berdiri tegap pada gelombang rindu seorang pemuda.
Aku laki- laki, siapakah engkau bergemuruh deburkan asa.
Aku bagai pasir, menunggu tubuh diterjang ombak.
Tidak ada waktu untuk berlari, untuk berteriak, engkau terisak.
Aku dan engkau adalah satu.
Menanti, berbaring menatap.
Tapi tatapan ini tak memiliki isi hanya langit kelabu dan buih-buih dari rindu.
Aku laki- laki, siapakah engkau yang meragukan.
Ingin kau hanguskan waktu di pundaknya, mungkin suatu saat ketika
hangat menyeruak untuk terbit.
Dan saat engkau dan dia, tiba pada puncak tertinggi dari mimpi pagi hari.
Lalu aku bertanya, dimana sepi.
Aku laki- laki, siapakah engkau tak juga pergi.
Engkau berkata : engkau dan aku adalah satu.
Jika engkau adalah aku, lalu siapakah dia, seseorang yang selalu mengganggu.
Engkau menjawab :
Seseorang itu muncul di ujung isi kepala.
Ada seikat tanya sengaja mengepak-sayapkan logika.
Langit menatap sore, mungkin sebentar lagi gerak jari jemari berkutat
melepas simpul, merangkum sikap.
Di persimpangan jalan ini, demikianlah anomali bermuara, berbisik diberi waktu.
Ikuti arusnya atau tidak kali ini, sedang detik berganti.
Adalah tatapan dingin itu.
Memenggal lelah, mengusik mimpi.
Apakah ini, dimanakahku ini.
Dan dia berjalan membelah gelap, laju yang tak terhenti.
Yang membuat kami semakin ingin menunggu.
Adakah sebaris jawaban.
Padaku.
Untukku dari dia pecinta hujan, penikmat kopi, penyuka semesta.
Tapi, tahu apa aku tentang (dia) pejalan senja.
Raut rupanya kecuali, tersisa diakhir-akhir rasa kantuk.
Angan diusir lelah, hilang.
**
Dialah,
Di timur jauh, dilintasi langit keruh.
Kaldera lautan pasir menantang awan.
Luas dan terbentang jutaan jejak ingatan.
Ku daki biar curam, biarpun habis waktuku.
Dari sebuah awal : Pukul Tiga Pagi.
Menuju tak terbatas dari dingin, kabut menggugurkan rasa takut.
Adalah dinding terjal : bebatuan dan damai.
Tubuh menerjang lampaui nyali, bergegas menyapih sepi.
Ijinkan ku gapai lembar demi lembar imaji.
Akankah aku sampai, memberi dan diberi arti.
Dialah,
Puncak tertinggi bagi langkah kedua kaki, dimana bermacam isi kepala bermuara.
Juga tempat bagi sepasang mata mengagumi ufuk kemerahan.
Sinar, berpendar hangat hingga kuku ibu jari.
Bangunkan tidur lelap padang savana, gersang dipeluk debu.
Mengusir mimpi jadi nyata, apakah diam jadi ucap.
Di sini, ku pijak bahunya tanpa permisi, bersandar tak terusik pasir,
berkelana hiraukan nasib.
Dengarkan,
Gelombang rerumputan tersapu angin.
Bunga – bunga edelweis menunggu dipetik.
Tingkah srigunting hitam dan serangga.
Tapi ada detak yang tidak mampu tertangkap telinga.
Bebaskan kata-kata! kepada hujan, kepada udara, kepada kedua telinga.
Tapi aku tidak mendengar kecuali rintik-rintik, mengapa aku tidak berpaling?

(Engkau) disini adalah perasaan suka seorang pria pada sesama jenisnya.
Tulisan untuk Dia, pria heteroseksual yang membaca tulisan ini dan bersedia membalasnya

Bagikan

Puisi Lainnya