Oleh: Wisesa Wirayuda
“Jika kau terbangun dengan ekspresi gender yang berlawanan denganmu saat ini, apa yang kamu lakukan?”
Kira-kira itulah yang ingin disampaikan buku ini kepada pembacanya. Hal tersebut digambarkan melalui karakter Nadya yang memiliki sifat maskulin dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berantakan, dan tidak ribet — yang sangat bertolak belakang dengan Veronica, seorang bintang besar dengan sifatnya yang elegan, rapih, manja, dan perfeksionis. Dan pada suatu hari, mereka berdua terbangun dengan tubuh mereka yang telah tertukar satu sama lain.
Buku yang ditulis oleh Risty Nurraisa atau RisTee ini, menampilkan dua sosok perempuan bak hitam dan putih. Namun penulis tidak terjebak kedalam konsep gender yang kaku. Dalam bukunya ini, RisTee mengkisahkan Nadya yang terkadang merasa emosional dan menangis. Dan juga menggambarkan Veronica yang berdiri untuk membela dirinya sendiri. Singkatnya, buku ini tidak bias gender.
Namun novel dengan 256 halaman ini tidak menceritakan bagaimana kedua tokoh yang secara tiba-tiba “berpindah jiwa” ini mengalami adaptasi terhadap tubuh baru mereka. Seolah kedua tokoh ini langsung saja berkegiatan seperti biasa tanpa merasa canggung akan tubuh barunya. Menurut hemat saya hal ini agaknya tidak pas dengan pengalaman saya berkenalan dengan beberapa orang dengan suatu ekspresi gender tertentu, entah itu maskulin, feminin, bahkan androgini, yang merasa kesulitan ketika mereka mencoba untuk berdandan berlawanan dengan ekspresinya.
Buku ini juga berusaha menunjukan jika tidak semua masalah akan melulu selesai dengan “otot”. Karena terkadang suatu masalah bisa selesai ketika kita saling memaafkan dan berusaha untuk mengerti , bahkan dengan cara yang lembut sekalipun. Dan disaat yang sama, terkadang kita juga harus bersikap keras agar masalah tersebut bisa selesai.
Bagi saya pribadi, buku ini juga menampilkan adanya homo-erotisme pada dua orang perempuan, ditambah lagi dengan sifat mereka yang “hitam dan putih” itu yang masih dianggap oleh masayarakat sebagai sesuatu yang “saling melengkapi” atau “berpasangan”. Namun sayangnya hal tersebut bukanlah fokus utama dalam cerita ini, sehingga cerita yang dikisahkan hanyalah sebatas drama biasa.
Satu-satunya hal baru yang saya temukan dalam novel fiksi ini adalah adanya adegan dimana ibunya “menjual” anaknya sendiri, terlepas apapun alasannya. Yang mana biasanya saya menemukan bahwa sosok ibu dalam suatu kisah selalu identik dengan sifat “sempurna, pemaaf, dan tidak pernah salah”. (Halaman 228-229)
Buku ini mengajarkan saya untuk berkaca pada diri sendiri, dan bertanya, “Sudah sejauh mana kau mengenal dirimu sendiri?”