Suarakita.org – “Mengapa Smart City menjadi naik daun akhir-akhir ini?” begitulah pertanyaan awal yang diajukan oleh Prof. Dr. Ir. Suhono H. Supangkat , Ketua, Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam sebuah diskusi Panel yang diselenggarakan di Hotel Morrissey (16/12), Jakarta. Diskusi panel tersebut merupakan salah satu rangkaian acara “Konsolidasi Demokrasi Melalui Inovasi Urban, Kolaborasi antara Pemerintah Daerah dan Masyarakat di Tiga Kota: Tangerang, Pontianak dan Mojokerto” pada tanggal 16-17 Desember 2015, yang diselenggarakan oleh National Democratic Institute (NDI).
Jawabannya dari pertanyaan tersebut adalah karena kondisi sekarang 50 % penduduk Indonesia tinggal di kota dibandingkan kondisi Indonesia sekitar tahun ’60-an yang penduduk kotanya hanya sekitar 30 %. Sebagai contoh situasi Kota Jakarta sekarang yang sulit ditebak, dan kemacetan di mana-mana. Lalu siapa yang salah dengan kondisi ini? Apakah kita akan mempersalahkan pemerintahnya, ataukah pemerintah kemudian justru membuat larangan bagi penduduk yang melakukan urbanisasi?
Demikian pemantik diskusi yang dilontakan Ir. Suhono yang mengangkat tema: “Konsep Kota Cerdas dalam konteks Indonesia dan Tingkat Kematangan Kota-Kota di Indonesia” sebagai judul makalahnya.
Masalah kota dan masyarakat urban sangat banyak, antara lain: masalah listrik, masalah air, polusi, transportasi, dan urbanisasi. Dalam mengatasi masalah tersebut, jika solusinya hanya bersifat konvensional maka gapnya akan semakin tinggi. Bagaimana meningkatkan mobilitas di kota? Bagaimana memenuhi kebutuhan air bersih di kota? Bagaimana mengurangi penggunaan energi di kota? Bagaimana menciptakan kota yang aman? Dan bagaimana mempercepat pembangunan ekonomi di kota? Itu problem-problem yang dihadapi pemerintah.
Untuk menjawab persoalan kota dan masyarakat urban, sedang dikembangkan sebuah konsep tentang Kota cerdas (Smart City). Kota cerdas adalah kota yang mengetahui (sensing) permasalahan yang ada di dalamnya, memahami (understanding) kondisi permasalahan tersebut, dan bisa mengatur (acting) berbagai sumber daya yang ada untuk digunakan secara efektif dan efisien sehingga masyarakat bisa hidup aman, tentram dan sejahtera.
Tata kelola Kota Cerdas harus utuh, karena Smart City adalah sebuah approach dan mindset, yang dalam hal ini pengembangannya tidak bisa hanya mengedepankan peran penting Pemerintah. Warga, manusia (people) dan masyarakat dalam hal ini juga memegang peranan penting, karena demokrasi selalu bersendi pada prinsip-prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sinilah perlunya membangun hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Di samping itu tak kalah pentingnya juga pendekatan dengan para stakeholder.
Pada bagian panel selanjutnya, Ita Nadia, Senior Gender Advisor, UN Women yang menyampaikan sebuah tema: “Merancang Lingkungan Perkotaan yang Inklusif – Mengintegasikan Pengarusutamaan Gender dalam Rencana dan Kebijakan Kota” memberikan contoh bahwa di Kota Surabaya terdapat Dewan Kota, di mana anggota dari Dewan Kota tersebut terdiri dari beberapa sektor masyarakat, termasuk di dalamnya ada sektor Perempuan, dan kelompok Waria. Dewan kota di Surabaya menjadi penting perannya, karena kota memberi ruang bagi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan cara mendengar warganya untuk merancang kota.
Sebagai kesimpulan, I Ketut Putra Erawan, Direktur Eksekutif, Institute for Peace and Democracy (IPD) selaku moderator dari diskusi panel menyampaikan bahwa pengembangan Kota Cerdas membutuhkan IT, government dan yang terakhir adalah warga (people). (Siti Rubaidah)