Oleh: Wida Puspitosari
Suarakita.org – Artikel yang ditulis oleh antropolog Don Kulick dengan judul Causing a Commotion: Public Scandal as Resistance Among Brazilian Transgender Prostitute pada dasarnya dimaksudkan untuk mengkritisi konsep hidden transcript yang dipaparkan oleh ilmuan politik, James C. Scott (terdapat dalam karya seminarnya yang berjudul Domination and The Art of Resistance). Dengan menggunakan kerangka pikir Marxian, Kulick berpendapat jika hidden transcript yang digadang sebagai senjata kelompok tertindas untuk menjadikan wacana perlawanan berwatak privat[1] di mata penindas – dipandang lemah dalam kacamata teks dan linguistik. Menurutnya, hal inilah yang tidak disadari oleh Scott, bahwa kelompok tertindas hanya mampu mengandalkan hidden transcript yang justru mendorong mereka pada ranah tak punya daya tawar dan cenderung lemah dengan wacana-wacana perlawanan yang mereka buat sendiri.
Melalui penelitian yang dilakukan terhadap kelompok prostitusi waria (travestis) selama delapan bulan di kota Salvador – Brazil, Kulick mencoba memposisikan asumsi Scott pada tataran yang bertolak belakang – dimana pola perlawanan pada kelompok waria ini melampaui tipikal perlawanan kelompok tertindas yang diusung oleh Scott. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mengulas bagaimana bentuk-bentuk perlawanan ala kaum prostitusi waria di Brazil melalui tipe perlawanan bukan arus utama, yakni skandal publik.
Mengenal Kaum Travestis di Brazil
Wilayah Amerika Latin khususnya Brazil begitu menarik perhatian dunia dengan festival-festival budaya yang melibatkan kaum waria sebagai modelnya. Seiring dengan semaraknya festival budaya di Brazil, signifikansi logis dari adanya gelaran besar tersebut ialah meningkatnya prevalensi minat kunjung turis domestik maupun internasional, termasuk di dalamnya kegiatan prostitusi waria. Salah satu kota di Brazil yang turut menawarkan hal tersebut ialah Salvador sebagai ibu kota negara bagian timur laut Bahia. Waria dalam bahasa Portugis Brazil disebut travestis, – didefinisikan sebagai laki-laki yang terkadang, sejak usia 8 tahun mulai mengenakan kosmetik dan pakaian androginis. Menjelang usianya yang belasan tahun, banyak kelompok pria ini yang mengenakan pakaian, kosmetik dan gaya rambut feminin, serta tidak sedikit pula yang mengkonsumsi atau menyuntikkan hormon perempuan, yang secara mudah didapatkan di apotek-apotek yang tersebar di Brazil. Hormon ini memiliki fungsi untuk memodifikasi tubuh pria untuk lebih terlihat feminin. Kemudian, pada usia yang menginjak dua puluhan tahun, mereka tak akan segan-segan juga untuk untuk menyuntikkan silikon ke dalam tubuh, dimana tujuannya adalah memperpadat pantat, pinggul, paha dan terkadang dada, sehingga mereka nampak benar-benar feminin.
Travestis terdapat di kota-kota besar di Brazil, termasuk Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Pada umumnya travestis berprostitusi di kota-kota besar, dan di Salvador sendiri, mereka biasa bekerja sebagai prostitusi jalanan. Satu fakta penting tentang travestis yang patut dijabarkan adalah, tidak seperti kelompok transeksual di Eropa dan Amerika Utara, kebanyakan travesti tidak mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan. Jadi, walaupun travestis biasanya mengenakan pakaian, kosmetik, pengucapan dan bahasa tubuh yang mirip wanita, mereka tak pernah menganggap jika diri mereka perempuan. Dan gagasan yang menempatkan mereka sebagai transeksual – ‘perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki’ – secara terang-terangan ditolak olehnya. Perbedaan signifikan lain diantara transeksual dan travestis adalah mayoritas kelompok transeksual Amerika Utara dan Eropa mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual, sedangkan travestis sebagai homoseksual (veado atau bicha dalam bahasa daerahnya).
Travestis Sebagai Target dan Pelaku Kejahatan
Sebagai homoseksual dan prostitusi jalanan, kelompok travestis menyadari bahwa hidup di daerah perkotaan sangat rawan dengan kekerasan verbal maupun kejahatan fisik yang tidak jarang mereka dapatkan dari orang-orang yang terprovokasi oleh kehadiran mereka di jalanan kota. Hal ini menegaskan jika kejahatan memang bagian yang integral dari keberadaanya sehari-hari. Ketika malam dimana mereka harus mencari uang, kelompok travestis sering mendapatkan perlakuaan kasar dari polisi dan orang-orang yang berjalan sambil mengendarai mobil maupun bus. Perlakuan kasar ini sering berwujud kata-kata kotor, perampokan dan sesekali pemukulan yang brutal; dimana banyak geng anak muda yang sering menampari mereka; dan orang-orang yang sedang berkendara tak jarang pula melemparinya dengan benda-benda seperti botol dan kerikil. Ironinya, ada juga yang tega menembaknya.
Kejahatan terhadap travestis cepat tersebar luas dan sudah menjadi sesuatu yang umum menarik perhatian di harian Brazil, ketika mayat seorang travesti ditemukan atau ketika terdapat pembunuhan berantai, seperti harian Sao Paolo Folha de Sao Paolo yang mengabarkan 16 travestis yang mati ditembak pada tahun 1993. Di sisi lain, ternyata banyak pula kejahatan yang dilakukan oleh travestis di Brazil yang kemudian masuk dalam surat kabar. Muatan berita yang terkait dengan hal ini pada umumnya menunjukkan jika travestis itu kelompok kriminal yang kejam, bersenjata, kecanduan narkoba dan penyebar virus AIDS yang memikat laki-laki dan kemudian memukulnya, serta sering menimbulkan hiruk-pikuk yang mengganggu proses ketrentraman umum. Pada tahun 1995, A Tarde, sebuah media massa di Salvador pernah memuat berita tentang seorang travestis yang menyerang pria muda dengan pisau di daerah Pituba dan masuk kolom kriminal.
Penjabaran diatas hanyalah sebuah pandangan objektif yang ingin memaparkan bahwa, apakah kelompok travestis dipandang sebagai pelaku atau korban kejahatan, sebenarnya ada hubungan yang menonjol pada asumsi populer orang Brazil menyangkut travestis dan kejahatan. Menjadi travestis, sebagaimana konsekuensinya, akan menuntun mereka pada violent life, hidup dalam ranah kejahatan, criminal mileu, melakukan kejahatan terhadap orang lain dan beresiko menjadi korban kejahatan itu sendiri.
Tipe Perlawanan Kelompok Travestis di Brazil
Menjadi korban kekerasan dan kejahatan barangkali sudah menjadi makanan sehari-hari kelompok travestis di Brazil. Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang memiliki beberapa strategi perlawanan ketika sedang dalam keadaan terserang. Merampok terlebih dahulu adalah salah satu cara populer bagi kelompok ini untuk mempertahankan diri sekaligus mencari keuntungan materi. Hal ini sudah dianggap lumrah dan terjadi sehari-hari. Cara paling lazim dalam merampok ialah dengan mencopet. Tindakan mencopet ini umumnya terjadi ketika seorang travesti melakukan oral sex di dalam mobil sang klien; dimana si klien dikelabuhi dengan diberikan kenikmatan-kenikmatan yang membuatnya tidak sadar jika uangnya telah dicuri.
Tipe perampokan kedua ialah dengan menyerang. Ini biasa terjadi ketika travesti menganggap kliennya sedang dalam keadaan lemah dan tidak membawa senjata. Ketika seorang travesti yakin bahwa ia dapat mengalahkan klien, ia akan menarik baju dan memojokkannya di sudut tembok atau pintu mobil si klien, meminta uang lebih, tepat ketika klien telah membayar jasanya. Dalam menyerang kliennya, travestis terkadang menggunakan pisau atau gunting, bahkan ada pula yang menggunakan jarum suntik yang diisi dengan sari tomat dan menghimpitkannya ke leher si klien, sembari mengancam jika cairan di dalamnya adalah darah yang terinfeksi HIV. Namun demikian, tak jarang ditemui pula jika travestis saling bekerjasama dengan travestis lain dalam menyerang klien. Sistem ini dikenal dengan sebutan fazer a portinha (do the car door). Tindakan ini direalisasikan ketika seorang klien, setelah melakukan hubungan sex, mengantar kembali si travesti ke tempat dimana ia dijemput. Ketika mobil berhenti dan ia keluar, travesti akan mencabut kunci mobil dan membuat permintaan. Pada poin ini, satu atau lebih travestis akan datang dan menghadang pintu mobil seolah menambah tensi ketakutan, sehingga si klien akan menyerah dan memberinya uang lebih.
Tipe perlawanan ke tiga yang tidak umum dan menjadi bagian menarik dari tulisan ini adalah dengan menyebar skandal[2]. Skandal disini didefinisikan sebagai tindakan mempermalukan klien, jika mencopet dan menyerang dirasa tidak berhasil. Skandal dimanifestasikan melalui jeritan kasar yang ditujukan pada klien bahwa ia adalah seorang maricona safada atau maricona desgraçada (‘homo yang menjijikan’ atau ‘homo yang hina’). Kosakata khusus ‘maricona’ yang ditemukan disini, secara gamblang menunjukkan penegasan kultural jika klien yang diteriaki sebagai maricona akan dicap sebagai homoseksual yang menggemari seks anal — dan hal ini sungguh sangat akan merugikan klien jika ia menyandang jabatan penting di kota itu.
Kendati demikian, hal terpenting yang perlu ditandai disini bukanlah bagaimana homoseksual masih dipandang sebagai aib di Brazil, namun lebih dalam ranah bagaimana tatanan sosial dan latar belakang budaya tertentu memunculkan tipologi perlawanan yang khas terhadap dominasi. Kulick dalam artikelnya saya rasa telah berhasil menelanjangi Scott melalui penelitiannya di Brazil. Di beberapa sisi, kekurangan Scott yang melupakan konteks sosial dalam mengkonseptualisasikan hidden transcript tentu saja bertentangan dengan moda perlawanan yang digadang oleh kelompok travestis di Brazil melalui skandal publik. Skandal publik, bila dipandang dalam kacamata teks dan lingusitik merupakan strategi diskursif yang tidak akan bertemu dengan konseptualisasi Scott yang cenderung kurang kontekstual dengan tipologi perlawanan yang secara konfrontatif terbuka sebagaimana yang dilakukan kelompok travestis sebagai kelompok tertindas.
Catatan Kaki:
[1] Diartikulasikan sebagai relasi interaksi yang memuat ide-ide dan nilai-nilai perlawanan yang tersebar diantara kelompok tertindas, namun hanya tersebar pada kelompok itu saja.
[2] Gagasan inilah yang Kulick paparkan sebagai antitesa Scott pada konseptualisasi kekuasaan dan perlawanan.