Search
Close this search box.

[Resensi Film] Cinta Tak Melulu Seks!

Oleh: Udji Kayang Aditya Supriyanto*

150

Judul : Boulevard
Genre : Drama
Sutradara : Dito Montiel
Tahun : 2015
Pemeran : Robin Williams, Bob Odenkirk, Kathy Baker, Roberto Aguire.

 

I knew that all the wishing and praying in the world couldn’t change the fact that I was gay.

Bagaimana orang-orang mendefinisikan gay? Ada golongan jahat yang langsung mendakwa gay sebagai patologi sosial alias penyakit masyarakat. Ada yang coba pakai istilah lain, meski sebetulnya masih kurang ramah, yaitu perilaku menyimpang. Namun, yang paling sering kita dengar sebagai definisi gay ialah “orientasi seksual yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya”. Demikian definisi gay yang paling ramah yang bisa dilafalkan oleh orang-orang. Benarkah gay sekadar laku seksual?

Robin Williams menggugat argumen tersebut lewat film terakhirnya, Boulevard. Sebagai film terakhir, Boulevard beda dengan film-film sebelumnya yang kebanyakan komedi. Boulevard justru film drama memilukan. Dikuatkan dengan kenyataan bahwa Robin Williams meninggal (diduga kuat bunuh diri) pada 11 Agustus 2014, sedangkan Boulevard baru dirilis pada 10 Juli 2015. Artinya, pilu yang dihasilkan film drama itu semakin menjadi-jadi, sebab aktor bernasib sedih yang mereka saksikan di layar sudah mati, bunuh diri. Maka, kenyataan hidup si aktor tak kalah memilukan dibanding film itu sendiri.

Film dibuka, dan nantinya ditutup pula, dengan adegan Nolan Mack (diperankan Robin Williams) berkendara sendirian di malam sunyi dengan mobilnya. Lalu, 10 menit pertama diisi adegan sehari-hari Nolan sebagai suami, sahabat, dan rekan kerja. Cerita baru mulai setelah menit ke-10, tatkala Nolan (lagi-lagi) berkendara sendirian dengan mobilnya. Nolan yang memutar mobil gara-gara lampu merah tak kunjung menghijau hampir menabrak pria muda bernama Leo (Roberto Aguire). Oleh karena Nolan punya sifat lembut yang membuatnya takut melukai orang lain, ia menghampiri Leo dan mengizinkannya masuk ke mobil. Lantas, apa yang terjadi?

“Wanna give me a ride?” Begitu tawaran Leo pada Nolan, yang dijawab dengan persetujuan. “Yes.” Sepertinya Nolan salah menafsirkan “a ride” yang keluar dari mulut Leo. Anak muda pencari uang lewat ranjang itu, begitu kira-kira julukannya, memakai “a ride” sebagai term yang merujuk aktivitas seks. Namun, Nolan menerima “a ride” sekadar dalam arti denotatif, tumpangan. Nolan mengira Leo hendak pergi ke suatu tempat dan meminta Nolan mengantar, sesederhana itu. Rupanya tidak, “You blow me, it’s $100. I blow you, $150 more,” tawar Leo. Spontan Nolan bertanya, “What?”

Obrolan yang belum selesai itu dipecah sirine polisi. Tidak ada pilihan lain, mobil Nolan langsung berjalan menjauh dan berhenti di sebuah penginapan. Keduanya lantas memesan kamar seharga $ 60. Harga yang lebih murah dari satu hisapan kira-kira. Ups! Nolan agaknya belum terbiasa sekamar dengan laki-laki, gay lagi. Kegugupan Nolan terlihat ketika ia hendak bikin kopi, tangannya bergetar, dan bubuk kopi tumpah-tumpah. Apalagi saat Leo buka baju, lalu ia meraba ikat celananya, apa yang terjadi kemudian? Nolan menahan, jangan dulu.

Leo yang mestinya melayani aktivitas seks sekadar diajak mengobrol oleh Nolan, hanya untuk itu Leo dibayar. Sudah, seperti itu seterusnya. Leo hanya bisa bertanya-tanya dalam sunyi, “Duh Gusti, orang tua ini rela membayarku dengan harga tinggi, tapi mengapa ia tak kunjung menyentuh si Joni?” Kira-kira begitu. Konflik antara mereka berdua baru terjadi saat Nolan memergoki Leo sedang melayani pria lain. Entah mengapa, Nolan tak bisa menerima polah Leo saat menyaksikan sendiri pekerjaan pacarnya itu. Barangkali seperti seorang lelaki yang memergoki perempuannya bercinta dengan lelaki lain, sekalipun ia tahu perempuannya itu seorang pelacur. Aduh!

Bila memperhatikan kontak mata antara Nolan dan Leo dalam Boulevard, kiranya agak sulit menerima kenyataan bahwa mereka berdua gay. Film gay lain sudah telanjur membiasakan kita untuk mendakwa dua orang pria sebagai gay apabila dalam matanya tersirat hasrat seksual yang membara. Tapi, tatapan mata Nolan dan Leo justru teduh. Mata Leo yang tanpa hasrat seksual bisa dimaklumi, komersialisasi seks menggerus sensasi dan hasrat seksual itu sendiri. Bagi pelanggan, mereka boleh saja bergairah, tapi pelayan belum tentu. Tatapan mata Nolan jelas lebih patut dipertanyakan. Ia menatap Leo penuh kasih tanpa niatan bersetubuh, sebagaimana orang jumpai pada mereka yang mencinta tanpa hasrat seks menggebu. Lewat film ini, Robin Williams di akhir hidupnya berpesan: setiap kita berhak mencinta dengan tulus, kepada siapapun itu. Lha nggih. []

 

 

  • Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta