Oleh : Udji Kayang Aditya Supriyanto*
Suarakita.org- Pemirsa film yang baik sudah barang tentu kenal dengan Woody Allen. Kualitas film komedi bikinannya haram diragukan, meski sebagai komedi terkadang terasa tidak lucu-lucu amat. Barangkali lantaran titik tekan Woody Allen lebih ke isi atau maknanya ketimbang bentuk. Satu hal lain yang pantas diapresiasi dari film Woody Allen adalah gaya komedi yang relatif sopan ketimbang film Amerika lain yang alih-alih lucu, malah kadang terlalu jorok dan menjijikkan. Iyuh!
Dari beberapa film Woody Allen, ada tiga (kalau tidak salah hitung) yang berbau promosi wisata. Tiga film itu adalah To Rome with Love, Midnight in Paris, dan yang akan dibahas di sini: Vicky Cristina Barcelona. Dalam dua film yang disebut lebih awal, Woody Allen piawai membangun situasi Roma dan Paris, serta menyajikan keindahan kedua kota itu dengan asyik. Gayanya tentu berbeda, di Roma kesan erotis lebih kuat, lain dengan Paris yang disajikan ala postmodernis.
Vicky Cristina Barcelona malah terkesan kurang Barcelona. Dengan kata lain, jika saja film itu dibikin di Amerika, atau bahkan berlatar di Indonesia pun, barangkali akan sama. Penonton kadung dibuat asyik menyimak relasi dua perempuan yang bersahabat karib dengan seorang pelukis, setelah itu beralih ke relasi pelukis dan dua perempuan yang masing-masing adalah kekasih dan mantan istrinya. Ihwal lain yang lebih menarik daripada situasi Barcelona yang dicitrakan di film ini tentu saja adegan ciuman Scarlett Johansson dengan Penelope Cruz. Dua aktris kondang menampilkan lesbian kiss di film ini!
Subjek yang Tak Lengkap
Relasi interpersonal yang ditonjolkan dalam Vicky Cristina Barcelona menjadikan film tersebut terkesan “tebal tokoh”. Masing-masing karakter mesti diberi perhatian lebih. Tokoh utama yang sampai namanya diambil buat judul film, Vicky (diperankan Rebecca Hall) dan Cristina (Scarlett Johansson), adalah sepasang sahabat karib yang sedang berkunjung bersama di Barcelona. Vicky berkepentingan melakukan riset untuk tesis antropologinya, sedangkkan Cristina hanya untuk berwisata. Kendati bersahabat, karakter keduanya jauh berbeda, yang satu perempuan setia (Vicky) sementara yang lain petualang cinta (Cristina).
Cerita mereka di Barcelona bermula ketika Vicky dan Cristina berjumpa dengan seorang pelukis setempat, Juan Antonio (Javier Bardem). Pada suatu malam, di sebuah kafe, pelukis itu dengan percaya diri menghampiri meja Vicky dan Cristina dan secara lugas mengajak mereka berdua berwisata ke sebuah pulau, sekalian “berwisata ranjang” bareng Juan Antonio. Jelas saja itu momen perkenalan yang sangat aneh. Vicky awalnya keberatan, namun lantaran Cristina yang suka tantangan malah mengiyakan, Vicky akhirnya setuju meski tanpa mencantumkan wisata ranjang dalam agenda mereka. Singkat cerita, Juan Antonio berkesempatan jadi pacar Cristina, walaupun yang sempat bercinta dengannya lebih dulu malah Vicky. Lho!
Di tengah kedekatan Juan Antonio dan Cristina, hadirlah Maria Elena (Penelope Cruz), mantan istri Juan Antonio. Sebelumnya, sepasang suami istri itu sempat cekcok sampai-sampai nyaris membunuh satu sama lain. Tapi cinta yang telanjur mengendap di hati membuat Maria Elena tidak punya tempat lain untuk pulang. Kini Juan Antonio dan Maria Elena memang kembali serumah, meski dengan keberadaan Cristina pula di sana. Karuan saja, di awal-awal kebersamaan ketiganya, sering terjadi ketegangan sampai masing-masing menemukan makna kebersamaan itu.
Juan Antonio menjelaskan alasan perpisahannya dengan Maria Elena dahulu pada Cristina, “it may turn that you have all the vitamins and minerals, but if there is minus a single, tiny ingredient missing, like, like, like, like, oh, like salt, for example, one dies.” Lalu setelah Maria Elena kembali, ia merasa Cristina itulah missing ingredient dalam percintaannya dengan Juan Antonio. “Before you, we used to cause each other so much pain, so much suffering. Without you, all this would not be possible. You know why? Because you are the missing ingredient. You are like the tint that, added to a palette, makes the color beautiful,” jelas Maria Elena pada Cristina.
Rupanya Maria Elena merasakan ketidaklengkapan ketika bercinta dengan Juan Antonio saja. Ada satu unsur yang kurang, missing ingredient, yang lantas ditemukan dalam diri Cristina. Barangkali di benak setiap kita sudah terpancang aturan langit bahwa pasangan perempuan ialah laki-laki, karenanya perempuan hanya boleh bercinta dengan laki-laki. Namun, subjek selalu mengandaikan pelengkap, perempuan sebagai subjek tidak selalu menunjuk laki-laki semata sebagai pelengkap. Kita tahu ada banyak macam objek fetish bukan? Maka setiap kita mesti menerima orang lain sebagai subjek yang unik, sekali pun itu bertentangan dengan kedirian kita. Itulah yang Cristina coba lakukan.
*Penulis adalah mahasiswa sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.