Search
Close this search box.

[Resesnsi] Bully: Fenomena Bullying Anak Remaja

Poster Film
Poster Film

Oleh : Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Enough is enough. Apapun alasannya, bully harus dihentikan. Tidak ada yang lucu atau menghibur dari menyakiti orang lain. Tidak ada yang patut dibanggakan setelah kau melukai perasaan seseorang seperti itu. Dan tidak akan ada lagi senyuman, candaan, dan tawaan menghina di bibirmu setelah menghilangnya satu nyawa, atau lebih banyak lagi nyawa.

Film Bully (2011) ini akan mengajarkanmu tentang itu. Film ini akan membuatmu marah, menangis, dan film ini juga akan membuatmu berpikir, “Di dunia macam apa yang sedang aku tinggali ini? Dan mengapa seolah tidak ada yang peduli akan hal ini? Mengapa harus sampai ada korban terlebih dahulu?”

Film dokumenter berdurasi 99 menit ini dibuka dengan kisah seorang anak korban bully bernama Tyler Long. Dia di-bully teman-temannya di sekolah. Teman-temannya itu membobol locker milik Tyler di saat Tyler sedang mandi setelah melakukan olah raga. Kemudian Tyler dengan terpaksa harus bertelanjang, dan kemudian diolok-olok oleh teman-temannya yang lain. Yang membuat cerita ini berkesan adalah, karena kejadian ini Tyler bunuh diri.

Kisah dilanjutkan dengan cerita dari anak lainnya. Alex, seorang anak berumur 12 tahun yang mendapakan julukan fish-face (wajah ikan) dari teman-temannya. Ada juga cuplikan ketika Alex berada di bis sekolahnya, Alex bertanya kepada teman sebangkunya, “Hey, you’re my buddy, ok?” (Hey, kamu adalah temanku, ok?). Namun jawaban dari seseorang yang wajahnya disensor itu ternyata sangat tidak dapat diterima. Dengan kasar orang itu berkata bahwa Alex bukanlah temannya. Dan dia akan menyakiti Alex dengan cara apapun. Alex akan mati. Dan mengancam Alex dengan mengatakan, “I’ll bring a knife tommorow, you know what I’m saying?” (Aku akan membawa pisau besok, kau mengerti?).

Di saat waktu istirahat di sekolahnya, tak ada satupun anak yang menemani Alex bermain atau bahkan sekedar mengobrol. “I’m different, I’m not normal.” (Aku berbeda, aku tidak normal) kata Alex.

Kemudian ada juga kisah Kelby, seorang lesbian berumur 16 tahun. Dia bercerita bahwa dia tidak diterima di gerejanya. Tetangga-tetangganya yang dahulu ramah, sekarang bahkan tidak mau sekedar melambaikan tangan untuk menyapa. Tidak hanya kepada Kelby, tapi juga kepada keluarganya. Kelby juga bercerita bahwa dirinya pernah mendapatkan surat di lokernya. Surat itu berbunyi, “Faggot are not welcomed here.” (Gay tidak diterima disini). Yang lebih parahnya lagi, guru di sekolahnya justru menasehati Kelby untuk ‘tidak menjadi lesbian’, dan gurunya itu menasehati Kelby di depan kelas, ditambah teman-teman Kelby menertawainya.

Korban bully biasanya merasa takut untuk melawan, faktornya bermacam-macam, ada yang merasa takut, ada juga yang merasa tidak perlu melakukan pembelaan, dan bahkan ada yang sudah merasa terbiasa akan hal itu sehingga memilih untuk diam saja.

Berbeda dengan Jameya, seorang gadis berkulit hitam yang berumur14 tahun. Karena kesal terus-terusan di-bully, Jameya sampai membawa pistol milik ibunya untuk menakut-nakuti para pem-bully di sekolahnya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Jameya direhabilitasi karena dianggap sedang depresi, bahkan dia tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum dokter mengatakan dia sudah sembuh.

Dari film dokumenter yang disutradarai oleh Lee Hirsch ini juga kita bisa melihat bahwa pihak sekolah ternyata merasa tidak tahu harus melakukan apa untuk memberantas bully, dan karena mereka tidak tahu harus apa, mereka memilih untuk diam dan tidak melakukan sesuatu yang berarti. Malahan, banyak sekali korban bully yang malah dinasehati panjang lebar sedangkan pelakunya dibiarkan pergi begitu saja.

Dikarenakan kondisi itulah, para orang tua akhirnya bersatu. Dipelopori oleh orang tua dari Tyler Long, mereka mengumpulkan para orang tua beserta anak-anak mereka yang menjadi korban bully, juga mereka mendatangkan pihak sekolah untuk melakukan sebuah dialog.

Film dokumenter ini bisa memberikan kita pandangan yang lebih dekat dengan korban-korban bully. Kita bisa sekaligus merasakan apa yang mereka rasakan. Karena seperti yang disampaikan di film ini, bahwa kita tidak akan pernah bisa mengerti keadaan seseorang sebelum kita berdiri di posisi mereka, dalam sepatu yang sama.

Memang, dibutuhkan banyak masa untuk memerangi bully. Tidak hanya dari orang tua korban saja, tetapi juga dari pihak sekolah, atau bahkan dari para korban-korban bully. Yang terpenting adalah ada yang memulainya dari dirinya sendiri. Because, everything starts with one.

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI yang menjadi kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.