Search
Close this search box.

[Resensi] (S)He Is My Girl

Sampul Buku (Foto : Wisesa/Suara Kita)
Sampul Buku
(Foto : Wisesa/Suara Kita)

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Bias Gender! Itulah kesan pertama yang saya dapatkan ketika pertama kali melihat judul buku ini. Dan saya juga sudah bisa langsung menangkap arah pikiran si penulis, dan ya ternyata saya benar, buku ini bercerita tentang seorang perempuan bergaya maskulin yang kemudian dipaksa untuk menjadi laki-laki karena dianggap sebagai “Itik Buruk Rupa” jika harus berdandan ala perempuan.

Buku dengan tebal 232 halaman ini sebenarnya memberitahukan kita tentang betapa ‘kejam’-nya dunia entertaiment. Bagaimana tidak? Seseorang perempuan dengan ekspresi gender maskulin dianggap sesuatu yang buruk dan akan menurunkan rating sehingga lebih baik disamarkan menjadi laki-laki atau tidak sama sekali (Halaman 15).

Hal di atas sebenarnya berlawanan dengan apa yang saya yakini selama ini. Selama ini saya meyakini bahwa perempuan dengan ekspresi maskulin biasanya lebih diterima jka dibandingkan dengan laki-laki dengan ekspresi feminim. Karena perempuan dengan ekspresi maskulin dianggap sebagai suatu ‘kemajuan’ sedangkan laki-laki yang berkspresi feminim dianggap suatu ‘kemunduran’. Ambilah contoh salah satu personil The Virgin, Mitha, yang sampai sekarang masih sering kita jumpai di layar kaca. Dan di luar negeri kita mengenal Ellen DeGeneres yang juga memiliki ekspresi maskulin namun sangat sukses membawakan Talk Show miliknya. Sehingga saya berpikir keras, apa yang salah dengan perempuan bereskpresi maskulin?

Kemudian, sangat disayangkan ketika buku ini justru mengajari kita bahwa ekspresi gender yang non-mainstream tersebut adalah sesuatu yang ‘menyalahi kodrat’ tanpa alasan yang jelas. Padahal jika diselidiki, alasan tokoh utama tersebut memakai pakaian laki-laki dikarenakan masalah ekonomi yang mengakibatkan tokoh utama harus memakai pakaian baju bekas kakak laki-lakinya. Sehingga cerita di sini menjadi sulit dicerna apa tujuannya dan mengapa tema seperti ini yang diangkat oleh penulis.

Hal tersebut dapat dilihat di halaman 180 sampai 181, di sana diceritakan bahwa ibu dari tokoh utama akhirnya mengetahui tentang identitas anaknya yang berpura-pura menjadi seorang laki-laki hanya untuk bisa masuk ke sebuah ajang pencarian bakat. Kemudian sang ibu mengalami shock, dan berniat membawa pulang anaknya yang sedang berjuang di ajang pencarian bakat tersebut.

Buku ini sebenarnya tidak memberikan cerita yang baru dan segar. Cerita yang menurut saya sebenarnya mirip dengan Cinderella, seorang perempuan yang dianggap ‘buruk’ kemudian mendapatkan kekasih berupa seseorang yang tampan dan juga terkenal.

Namun itu membuat cerita menjadi ngawur pada akhirnya. Di awal buku ini dikisahkan bahwa tokoh utama sendiri yang memilih untuk berpura-pura menjadi laki-laki, namun sejalan dengan kisahnya itu, tokoh utama seolah tidak mau berdandan menjadi laki-laki. Mungkin jadinya antara mau tidak mau. Sehingga ceritanya menjadi kacau kesana kemari.

Satu-satunya bagian yang saya sukai adalah pada halaman 232, ya pada halaman terakhir. Selain saya senang karena akhirnya cerita ini selesai, di halaman tersebut juga diceritakan tokoh utama yang mendapatkan cinta ‘tanpa syarat’ dari kekasihnya. Ada kalimat “He is my girl.” Yang menurut saya sangat menggelitik pembaca yang masih awam dengan isu-isu seperti ini.

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.