Oleh: Abi Ardianda*
Suarakita.org- Kita semua menjalani kehidupan dengan sebuah pertanyaan dasar: “apa yang sesungguhnya kita cari?”
Russel Middlebrook (Cameron Deane Stewart), menyadari ada sesuatu yang janggal dalam dirinya sejak usia 16 tahun. Dari segi fisik, dia merasa tidak ada yang salah. Dia tampan, bertubuh atletis, dia seharusnya bisa mengencani gadis mana pun yang diinginkannya. Tapi, diam-diam, dia malah membuat janji temu dengan seorang lelaki asing yang tak dikenalnya melalui dunia maya. Namun, hal itu berujung pada ketidak-jelasan. Russel semakin merasa tersesat. Sampai pada suatu hari, kegiatan study tour mingguan yang diadakan oleh pihak sekolah telah mempertemukan dirinya dengan Kevin Land (Justin Deeley), lalu hidup Russel seketika berubah.
Kevin adalah seorang pemain football unggulan. Tampan, dominan, meski pun tidak sepintar Russel dalam bidang akademis, dia tidak kalah populer. Pada suatu malam, Russel menjelaskan bahwa fosil yang ditemukan oleh Kevin untuk bahan penelitiannya sesungguhnya merupakan batu. Russel pun membantu Kevin mengerjakan tugas akademisnya. Keduanya perlahan mulai saling mengenal lebih dekat. Entah bagaimana, namun kehadiran Kevin mulai menjadi candu baginya. Cara Kevin menatapnya, berbicara dengannya, menyentuhnya, tidak ada seorang pun sebelumnya yang berhasil membuatnya merasakan hal yang ia rasakan ketika sedang bersama dengan Kevin. Luapan hormon testoteron dalam tubuh mereka membuat keduanya nekat berciuman di tempat umum, tanpa mempertimbangkan resiko yang menanti. Aksi mereka dipergoki oleh seorang siswi dari Asia, bernama Min (Ally Maki) dan keduanya pun kelabakan, berusaha menutup-nutupi hal tersebut.
Alih-alih membocorkan rahasia tersebut, Min malah meninggalkan secarik kertas di loker Russel yang berisi undangan untuk menemuinya di kelas 327 seusai jam sekolah keesokan harinya. Dengan langkah gontai, perasaan bersalah, serta ketakutan, Russel menggusur dirinya ke kelas yang telah dijanjikan oleh Min dan menemukan tulisan ‘Geography Club’ tergantung di depan pintu. Bayangan akan pertemuan para murid pecinta Geografi yang tengah membedah peta luruh ketika ditemuinya Ike (Alex Newell), seorang lelaki dengan kulit hitam bertubuh gemuk yang berkelakuan feminin, dengan Terese (Nikki Blonsky), gadis yang juga bertubuh gempal sedang berbincang dengan Min. Terkuaklah kemudian bahwa ‘Geography Club’ merupakan nama samaran dari komunitas discreet untuk remaja LGBT di sekolah mereka.
Tidak mudah bagi Russel untukbegitu saja bergabung dengan ‘Geography Club’. Pertama, karena dirinya belum yakin atas orientasi seksual yang diyakininya. Kedua, karena dia tidak siap apa bila keberadaan ‘Geography Club’ terbongkar, kemudian satu sekolah akan mengetahui identitas yang selama ini selalu berusaha ia sembunyikan. Dalam kasus ini, Kevin justru selangkah lebih cerdik. Ia mengajak Russel masuk ke dalam tim footballnya sehingga mereka dapat terus bersama tanpa menimbulkan kecurigaan. Hidup Russel berangsur lebih baik. Ia memiliki Kevin untuk berkeluh kesah, mengenai beban yang diembannya ketika harus mengikuti ayahnya untuk mendaftar di kampus favorit. Atau ketika Gunnar (Andrew Caldwell) , sahabatnya yang terus menjodohkannya dengan Trish (Meaghan Martin). Sampai suatu ketika, setelah melalui beberapa percobaan kontak fisik yang berujung pada penolakan Russel, Trish menyingkap fakta bahwa Russel adalah seorang gay. Trish menyebarkan flyer yang mengumumkan bahwa Russel adalah seorang homoseksual.
Penyebaran flyer itu bisa saja membuat dunia Russel kiamat. Tapi, ia dan ‘Geography Club’ memanfaatkan momen tersebut untuk kemudian tampil di depan publik dan mengundang murid mana pun di sekolah yang ingin bergabung. Tapi, apakah mengumpulkan nyali untuk coming out memang benar semudah itu? Berapa banyak murid LGBT yang kemudian berani menyertakan dirinya dalam komunitas tersebut? Apakah Kevin akhirnya berani untuk bergabung demi kelanjutan hubungannya dengan Russel?
Film remaja yang diangkat dari novel best seller karya Brent Hartinger ini memaparkan isu krusial dengan ringan dan segar. Unsur humor yang menghiasi banyak scenes akan membuat audience meringis, atau tersenyum getir. Betapa diskriminasi terhadap kaum LGBT terjadi hampir di semua wilayah di dunia. Melalui film ini, kita akan diingatkan bahwa di setiap sekolah, selalu terdapat murid-murid LGBT yang menjalani hidup dengan ketakutan. Mereka memerlukan teman bicara. Mereka mengharapkan orang-orang yang berkenan memahami, membantu, tanpa menghakimi.
Satu hal yang membuat dua jam saya untuk menonton film ini tidak terasa sia-sia; film ini mengajarkan siapa pun untuk berani memperjuangkan keputusannya dalam hidup. Melepaskan diri dari bayang-bayang ambisi keluarga, atau lingkungan terdekat yang biasanya membelenggu.
Sesuatu yang dicari oleh Russel telah lama ada pada dirinya. Selama ini, ia hanya tidak pernah menyadari hal itu, sebab, ia bahkan tidak menerima keberadaannya.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Telkom.