Search
Close this search box.

[Resensi] Confession Of A Trans-dodol-ic; Cerita Hidup Seorang Transman

Oleh : Nursyafira Salmah*

Suarakita.org- Judul buku ini sudah cukup mencolok, dengan tiga huruf besar “C O T”. Menjadi lebih menarik jika kita melirik sedikit dibawah judul utama, Confessions Of A Trans-dodol-ic. Pengakuan “trans-dodol”? Sedikit mengundang rasa penasaran bagi yang pertama kali membacanya karena ingin mengetahui apa arti dari “trans-dodol” yang dimaksud dalam buku ini. Bila kita membalikkan buku karya Erky C. ini di bagian belakang, kita akan membaca sebuah kutipan tulisan yang sangat menarik. Lagi-lagi pembaca akan dibuat penasaran tentang isi buku ini dan kita akan melihat bagaimana seorang transman menceritakan metamorfosa kehidupannya.

Ya seorang transman, transgender perempuan ke laki-laki. Erky adalah seorang transman yang meluangkan waktunya untuk menulis sendiri kisah hidupnya yang ‘dodol’ di dalam buku COT ini. Menurut saya masih sangat bisa dihitung jari seorang transgender yang membukukan kisah hidupnya untuk bisa dibagikan sebagai inspirasi bagi orang lain. Penulis merangkai banyak kata yang dapat membuat pembaca menyadari bahwa hidup dengan orientasi dan ekspresi yang anti-mainstream bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi kita bisa melihat sebuah cara untuk menikmati hidup sebagai ‘lesbian’ lalu bagaimana prosesnya penulis merasa bahwa dirinya adalah laki-laki, seorang ‘transboy’.

Sebagai pembaca, saya mencoba sedikit menilai struktur buku COT ini sebagai sebuah novel ringan. Novel ini merupakan bahan bacaan yang direkomendasikan untuk kalian baca di waktu santai. Pilihan kata yang di luar aturan kebahasaan, lepas dari EYD (ejaan yang disempurnakan – red), penuh dengan ungkapan yang santai bahkan nyeleneh dapat kita temukan di dalam novel ini. Buku ini seperti sebuah bentuk cetak dari diary kehidupan si penulis. Penulis sangat menikmati setiap kata atau ungkapan dalam tulisannya yang menceritakan lika-liku kehidupannya di dunia ,belok’. Belok, begitulah penulis menyebut dunia lesbian.

Satu yang sepertinya akan dirasakan oleh semua pembaca adalah banyak ditemukannya kata-kata yang cukup membuat mata panas. Erky banyak menggunakan kata-kata yang terkesan negatif dan kasar dalam novelnya. Akan tetapi mungkin ini cara Erky untuk melakukan branding terhadap novelnya. Mungkin di satu sisi, Erky seakan ‘melanggengkan’ stigma negatif terutama mengenai kehidupan lesbian, akan tetapi di sisi lain ini seperti cara penulis menggambarkan bahwa “Hidup ini rese dan gue bisa melalui semua”. Bahasa yang nyeleneh khas anak muda akan mudah menjangkau pembaca di kelompok umur muda juga. Ya, walaupun dengan judul ‘trans’ buku ini belum banyak menjelaskan kepada pembaca mengenai bagaimana kehidupan sebagai transgender laki-laki akan tetapi lebih kepada pengalaman saat dirinya bergaul, mengidentifikasi hingga mencoba melakukan denial bahwa dirinya adalah seorang lesbian.

Inilah hal yang unik yang bisa saya temukan dari buku COT ini. Penulis secara tersirat menggambarkan kepada pembaca bagaimana proses penulis menghayati identitasnya. Banyak juga ditemukan kata-kata penekanan tentang identitas seperti “Ini baru namanya LAKI” atau “Gue ‘kan LAKI” di dalam novel ini. Namun, di sisi lain, di sepanjang alur Erky lebih banyak menceritakan kehidupan dia sebagai ‘butchi’(ekspresi lesbian maskulin – red) dan ada satu bagian pengalaman bahwa penulis menyatakan identitasnya “Gue cewe”. Dari beberapa bagian itulah ke-inkonsisten-an tentang identitas terlihat di dalam alur novel ini. Sehingga kita sebagai pembaca hanya bisa menebak sebenarnya seperti apakah Erky di kehidupan nyata, dan harus bertanya langsung kepada penulis mengenai siapa dirinya.

Dalam novel ini penulis juga belum bisa menjawab pertanyaan kita mengenai transgender laki-laki. Menurut saya, novel ini seperti opening proses hidup Erky sebagai transman. Benar saja, menurut Erky, ia akan mengeluarkan COT edisi keduanya bertepatan dengan TDOR (transgender day of rememberance) tahun ini. Penulis menyatakan bahwa di buku keduanya ia akan lebih banyak menceritakan mengenai kehidupannya sebagai transman. So, sebelum kita penasaran untuk membaca buku kedua, mari kita mengenai penulis lewat buku COT pertamanya ini. Banyak twist tentang LGBT yang bisa pembaca dapatkan dari novel ini, tidak jarang kita bisa menemukan kata yang membuat kita “senyum senyum sendiri”. Walaupun di beberapa bagian penulis terkesan ‘asik sendiri’ dengan tulisannya dan banyak luapan amarah ditemukan dalam novel ini, setidaknya COT bisa menjadi motivasi bagi teman-teman LGBT lain untuk mulai berkarya melalui tulisan.

Seperti ungkapan penulis tentang kehidupannya, “…for me, life is like a puzzle…masih ngacak, nggak ada framenya, dan nggak tau bakalan jadi gambar segede apa. Kalo mau tau, ya lo harus sabar nyusun kepingan-kepingan itu.” Begitulah penulis melihat kehidupannya dan merasa bangga dengan identitasnya.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI tingkat akhir dan pernah menjadi mahasiswa magang di Suara Kita.