Oleh : Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itulah peribahasa yang tepat menggambarkan keadaan tiga tokoh waria dalam buku Aku Manusia, Kamu Bukan Tuhan yang ditulis oleh Bhina Wiriadinata. Bagaimana tidak? Dalam buku ini diceritakan tiga orang laki-laki ‘tulen’ (?) yang terdesak oleh keadaan kemudian harus menjadi waria karena alasan dan latar belakang yang berbeda-beda. Dan dalam bukunya ini, penulis masih menganggap bahwa menjadi waria adalah tindakan “ceroboh” yang kemudian berujung pada sebuah penyesalan. Sudah jadi waria, nasibnya sial pula. Begitu kira-kira.
Dari buku yang judulnya menarik ini, kita bisa mengetahui dengan jelas bentuk-bentuk diskriminasi yang sering dialami oleh waria. Seperti hinaan, perlakuan kasar secara fisik, dilarang mengadakan sebuah pertemuan oleh pihak tertentu, penolakan dari rumah sakit, dan masih banyak lagi. Buku ini sudah cukup untuk menggambarkan diskriminasi-diskriminasi itu.
Hanya saja, banyak sekali stigma-stigma yang dimunculkan dalam buku ini mengenai gender. Salah satunya; “Ketahuilah, anakku, semua orangtua menginginkan anak laki-lakinya menjadi seorang pahlawan. Menjadi seorang ksatria. Menjadi seorang arjuna. Laki-laki, lek.” (Hal. 332). Padahal menurut hemat saya, tidak semua laki-laki ingin menjadi tentara yang berperang di medan perang. Ada juga laki-laki yang memilih untuk bekerja sebagai hairstyles (penata rambut).
Penulis sebenarnya berlaku imbang terhadap isu-isu yang diangkatnya itu. Imbang dalam artian membahas sisi gelap dan sisi berwarna dalam kehidupan waria, tidak menceritakan yang buruk-buruknya saja. Seolah kisah yang diangkat ini memang benar-benar terjadi.
Namun, begitu Bhina memasuki konteks agama dan membahas tentang “dosa”, di sana penulis seperti tersesat dalam pikirannya sendiri. Seolah penulis sendiri tidak bisa membahas jauh ke arah sana, atau lebih tepatnya bukan “wilayahnya” untuk membicarakan itu. Sehingga penulis hanya mengangkat isu tersebut tanpa benar-benar membahasnya sampai tuntas.
Hal di atas terjadi lagi ketika penulis membahas tentang benar atau salah. Terlihat dari tulisannya, “Percuma kamu simpan juga. Itu tidak akan membuat kamu berubah jadi lelaki. Itulah hidup. Hidup… bagi sebagian orang sangat menyenangkan. Tapi, bagi sebagian orang seperti kita? Hidup hanyalah tempat percontohan dari ajaran-ajaran soal kebenaran.” (Hal. 178). Mungkin penulis memang berusaha menggambarkan sesuai fakta lapangan, atau mungkin juga penulis tidak begitu menggali informasi lagi tentang waria di luar sana yang menolak untuk dijadikan sebagai bahan percontohan tadi.
Menurut saya, Bhina sudah cukup berhasil menggambarkan bagaimana kehidupan waria di Ibu Kota yang penuh warna-warni juga menggambarkan dilema yang dialami oleh waria dari desa yang ingin mengadu nasib di Ibu Kota. Namun penulis masih belum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah saya membaca buku ini seperti; apakah benar bahwa seseorang bisa menjadi waria hanya karena tuntutan pekerjaannya? Apakah benar bahwa laki-laki yang menggunakan baju perempuan bisa dikatakan waria? Dan apakah benar bahwa menjadi seorang waria itu seperti tombol on-off yang bisa diganti begitu saja? dan yang lainnya. Sehingga saya harus mencari jawabannya sendiri.
*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.