Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Pengalaman saya setiap kali saya bertanya kepada teman-teman saya, khususnya yang gay, tentang bagaimana kriteria mereka terhadap calon pasangan mereka. Jawaban mereka bisa saya simpulkan sama: manly, memiliki paras yang rupawan, body sixpack, mapan pekerjaan, berpendidikan tinggi, banyak uang, dan manly lagi. Seolah-olah mendapatkan sosok yang super sempurna seperti itu adalah perkara yang mudah.
Dalam bukunya Melepaskanmu, Helga Riff menghadirkan pasangan gay yang diimpikan oleh teman-temanku itu. Sosok gay yang tampan, berbadan atletis dengan tinggi mencapai 190 cm, dan memiliki sopan santun yang baik dimana pun dia berada. Ditambah lagi pekerjaannya sebagai model pria terkenal di Indonesia. Tokoh yang bernama Rio yang tak lain adalah kakak dari tokoh utamanya, Sarah.
Kemudian hadir tokoh Werdy yang tak lain adalah kekasih dari Rio, yang juga digambarkan dengan sosok yang tampan dan mapan dalam pekerjaannya sebagai seorang pelukis. Ditambah lagi dengan hubungan cinta mereka yang sama sekali tidak ada halangan dan rintangan. Masih kurang? Dalam novel dengan tebal 318 halaman ini mengkisahkan Rio yang mengenalkan Werdy pada orang tua Rio. Sungguh seperti Kisah Negri Dongeng, kan? Kisah dimana sosok pangeran berkuda putih bertemu dengan kesatria berpedang yang tampan dan mereka saling jatuh cinta. Kisah yang membuat pembaca bergumam, “Kapan ya aku punya pacar seperti itu?” Kisah yang menurut saya sulit untuk direalisasikan. Kisah yang manja.
Saya tidak mengatakan bahwa hubungan antara Rio dan Werdy adalah hal yang tidak mungkin. Hanya saja memang jarang sekali ada pasangan gay yang ‘sempurna’ ada dalam sebuah hubungan yang ‘sempurna’ pula. Seperti yang dikatakan Jessie J. dalam lagunya, Nobody’s Perfect. Karena memang sejatinya manusia tidak ada yang sempurna.
Buku Melepaskanmu ini memang memberikan kita cerita cinta ‘yang lain’ seperti yang tertulis di sampul depan buku. Namun penggambaran Helga Riff terhadap pasangan gay ini saya rasa terlalu berlebihan dan seolah tidak memiliki celah sama sekali. Entah karena percintaan antara Rio dan Werdy ini bukanlah cerita intinya atau ada hal lain seperti penulis yang mencoba untuk ‘mencari aman’.
Penerimaan tokoh utama terhadap kakaknya yang seorang gay itu menambah panjang daftar ‘mimpi’ ini. Karena seperti yang kita rasakan bersama bahwasannya di Indonesia sendiri penerimaan terhadap kelompok minoritas seperti LGBT masihlah sulit. Dan dari pengalam saya, seberapa beraninya kita mengatakan kepada keluarga kita bahwa kita gay dan meskipun mereka menerima kita apa adanya, tak jarang mereka tetap melakukan kita berbeda dengan anggota keluarga lain yang bukan gay.
Meskipun memang, tidak ada salahnya juga kita memiliki mimpi setinggi langit seperti itu. Sehingga ketika kita terjatuh, kita akan mendarat di salah satu bintangnya. Begitulah pepatah mengatakan.
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.