Search
Close this search box.

The New Gay Teenager, Perspektif Baru Melihat Identitas Seksualitas Remaja

Cover Buku  (Sumber : http://i.bookfi.org)
Cover Buku
(Sumber : http://i.bookfi.org)

Oleh : Budi Larasati*

Suarakita.org- Membaca buku ini membuat bingung. Karena sekali lagi diingatkan, bahwa ya, seksualitas memang adalah sesuatu yang cair dan dinamis.

Dalam bukunya, Savin-Williams menjelaskan bahwa terminologi yang digunakan oleh remaja gay [Amerika] untuk mendefinisikan mengenai preferensi seksual mereka telah mengalami perubahan secara drastis, dan begitu pula dengan sikap yang mereka ambil terhadap hubungan sesama jenis. Bahkan, banyak dari mereka yang menolak untuk mendefinisikan seksualitas yang mereka miliki. “In some respects/Dalam beberapa aspek,” Savin-Williams menjelaskan, “these teenagers might relate better to their pre-labeled, pre-identified grandparents than they do with their gay-liberated parents or their gay-resigned older cousins/remaja-remaja ini mungkin bisa jadi lebih dekat dengan kakek-nenek mereka yang berada pada masa sebelum adanya label dan identifikasi daripada dengan orang tua ataupun saudara lebih tua mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai gay.” “For them ‘gay’ carries too much baggage/Bagi mereka ‘gay’ membawa beban yang terlalu berat,” dan mereka baik-baik saja, tanpa label dan semacamnya.

Sebagian besar dari buku ini difokuskan pada pemikiran Savin William mengenai seksualitas yang cair, berikut pula dengan kritik yang diberikan terhadap metode psikologi yang kini digunakan untuk meneliti remaja gay, yang dianggap kurang merefleksikan kenyataan yang ada – diversitas yang ada.

Sebab bagi Savin-Williams, identitas adalah sesuatu yang cair dan dinamis. Yang selalu didefinisikan, dinegosiasikan, ataupun diinterpretasikan ulang oleh seorang individu. Bukan berarti label ‘gay’ itu sendiri menjadi tidak bermakna, hanya saja label itu telah mengalami perluasan dan perkembangan yang sedemikian rupa hingga menjadi fleksibel. Lagipula, tulis Savin-Williams, apa yang dimaksud dengan ‘gay’ itu sendiri? Ketertarikan? Tindakan? Apa yang harus didefinisikan? Apakah definisi itu penting?

Demi memudahkan pembahasan, Savin-Williams, kemudian melihat seksualitas dari tiga komponen, yakni orientasi seksual, perilaku seksual, dan identitas – yang menurutnya, tidak memiliki korelasi kuat antara satu sama lain. Savin-Williams menuliskan, bahwa bisa saja seorang heteroseksual memiliki pengalaman homoseksual dan sebaliknya. Atau seseorang yang mendefinisikan dirinya sebagai homoseksual meskipun bukan homoseksual dalam definisi ketat, dan masih banyak lagi hal lain. Jadi, apa yang dimasud dengan gay? Menurut Savin-Williams, hal tersebut adalah sesuatu yang subyektif dan bergantung pada individu itu sendiri. Dan oleh karena subyektivitas, maka variasi yang ada pun menjadi begitu banyak dan beragam. Kadang sederhana, dan terkadang kompleks. Tidak apa-apa tidak memakai label apapun, tulis Savin-Williams. Pilihlah yang dirasa sesuai dengan diri.

Maka menurut Savin-Williams, menjadi seorang remaja dan juga homoseksual mungkin bukanlah sebuah krisis identitas seperti yang banyak dipikirkan. Singkirkan semua bayangan kelam, sebab para remaja baik-baik saja. Remaja kini lebih nyaman dengan homoseksualitas, dan juga lebih fleksibel terkait dengan seksualitas secara umum – atau kurang lebih, seperti itulah inti dari buku ini.

Bahwa telah terdapat sebuah perubahan terkait dengan sikap terhadap kelompok minoritas seksual pada beberapa generasi ke belakang mungkin bukanlah sesuatu yang baru. Adapun yang luar biasa menurut Savin-Williams, adalah pertumbuhan dari sikap tak acuh remaja terhadap seksualitas yang mereka miliki sendiri. Banyak dari mereka yang – seperti telah disebutkan di atas – menolak untuk menetapkan diri pada satu label, dan memilih untuk menjadi seseorang yang ‘tidak berlabel.’ Seorang agen bebas. Dikarenakan oleh sikap tak acuh tersebut pula, Savin-Williams kemudian membayangkan mengenai gay sebagai suatu kelompok yang ‘lebih sedikit edgy, lebih sedikit berbeda, dan lebih terintegrasi dengan masyarakat.’ Bukan berarti integrasi diartikan langsung sebagai peleburan hingga hilang ke dalam arus utama, tetapi lebih kepada menjadi suatu hal yang normal. Hanya kenyataan lain dalam hidup, menjadi sesuatu yang tidak lagi relevan di mana seorang gay hanya yah…menjadi seseorang. Atau dengan kata lain, masyarakat post-gay – itulah masa depan seperti yang dibayangkan oleh Savin-Williams.

Berat? Memang The New Gay Teenager tidak dapat dikatakan sebagai buku yang mudah. Tetapi Savin-Williams telah mengemasnya dengan begitu baik, tidak hanya dengan data dan himbauan bagi agenda penelitian lanjutan, namun juga disertai dengan wawancara mendalam dengan remaja gay berikut dengan segala pengalaman pribadi mereka sehingga buku ini tetap menjadi bacaan yang menarik. Sungguh cocok apabila sedang ingin dibuat bingung – tentu saja dalam artian terbaik dari kata tersebut.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Univeristas Indonesia dan pernah magang di Suara Kita.