Search
Close this search box.

I La Galigo naskah rakyat Bugis yang Mendunia

Suarakita.org- I La Galigo adalah sebuah naskah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, kini sudah diakui oleh UNESCO sebagai karya terbaik yang dimiliki Dunia

Sabtu 13/9/14 bertempat di Grand Indonesia, West Mall lantai 8 sebuah acara bertajuk “I La Galigo: Keeping Alive memory of the World” digelar oleh galeri Indonesia kaya dengan menampilkan Dramatic Reading potongan naskah I Lagaligo.

Dalam kesempatan tersebut Arif Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO mengatakan La Galigo menjadi Memory of the World karena mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.

Selain itu hadir juga Sanwani Sanusi pustakawan dari Perpustakaan Nasional yang memberikan presentasi tentang koleksi naskah kuno yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional yang saat ini berjumlah 10.334 naskah dengan Aksara: Arab, Jawi, Pegon, Buda, Sunda kuna, Kaganga, Batak, Bugis dan lain-lain. Dan isi kandungan informasi naskah-naskah yang ada diantaranya: Al-Qur’an dan Hadits, Hukum, Sejarah, Hikayat, Obat-obatan, Teologi, Tasawuf dan Linguistik.

Surek Baweng
Surek Baweng

I La Galigo berjumlah 13.000 baris teks dan 12.00 manuskrip folio ditulis diatas Surek Baweng yang bentuknya menyerupai gulungan kaset, dengan bahan dasar daun lontar yang disambung-sambung kemudian dijahit dengan sejenis benang bertangkai kayu.

Sekilas tentang Isi Hikayat I La Galigo*

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

ilustrasi lontar naskah kuno
ilustrasi lontar naskah kuno

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

Sepenggal isi I La Galigo dari buku yang baru saja diluncurkan oleh Yayasan Lontar yang disusun oleh Muhammad Salim, Sapardi Djoko Damono dan John H. McGlyinn

Prolog: Doa Bissu

Wahai, Dewa, Guru Mahatahu
yang tinggal di Langit,
Semoga bukan petaka, semoga tak hina
doa dan sembahku
pada langit, pada bumi:
semoga tak keliru ucapanku

Disiang terang, Engkau pun turun
kedunia kami,
menjelma pengetahuan
di bawah langit, di atas bumi.

Topang menopang di bumi
Lalu menyebar, menjelma guntur
menyusur Negeri Dewa
menyebar ke segenap penjuru dunia.

Kaubawa Sinempa
mengeramatkan bumi,
menggoyang samudra,
menumbuhkan kayu besar,
menyebarkan petir guntur.

Jika anda ingin membeli buku “I La Galigo Lahir/ The Birtth of I Lagaligo” silahkan kunjungi www.lontar.org. Harga buku Rp. 95.000,- (dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris), dan apabila anda ingin melihat naskah asli I La Galigo sila bertandang ke Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya no 28A. Jakarta Pusat. (Yatnapelangi)

*wikipedia