Search
Close this search box.

Soe Tjen Marching : Perjuangan Tak Boleh Berhenti

Soe Tjen Marching, Penulis buku "Kubunuh Disini".Foto,Dok/Suarakita/Yatnapelangi
Soe Tjen Marching, Penulis buku “Kubunuh Disini”.Foto,Dok/Suarakita/Yatnapelangi

Penulis : Budi Larasati*

Suarakita.org- “Sekarang aku pulang. Ke Indonesia.  Tapi apakah hidupku  hanya untuk ini? Bertahan dan bertahan selama mungkin, dan kemudian aku akan habis tak bersisa lagi?”

Begitu adalah petikan dari sebuah buku berjudul ’Kubunuh di Sini,’ karangan Soe Tjen Marching yang dibedah di kantor Suara Kita, Kalibata pada tanggal 18 Juli 2014. Di tengah pasar buku yang kini dipenuhi oleh berbagai genre tipikal seperti buku kiat kesuksesan, agama, motivasi diri, romansa remaja, dan hingga komedi curahan hati, adalah suatu hal yang sulit untuk menemukan suatu buku yang benar-benar memuaskan. Namun, mungkin ‘Kubunuh di Sini,’ adalah salah satu dari sedikit deretan buku-buku yang memuaskan itu.

Secara singkat, ‘Kubunuh di Sini’ menceritakan mengenai pasang surut kehidupan Soe Tjen Marching, seorang penulis, dosen, komposer, dan pendiri dari majalah Bhineka yang mengidap kanker dan melakukan pengobatan di tiga negara berbeda, yaitu Indonesia, Australia, dan Inggris. Buku yang menceritakan mengenai penyakit, seringkali kanker, kerap menuliskan akan pengharapan dan frase klise seperti ‘hidup ini indah’ dan ‘hiduplah sepenuh mungkin,” layaknya kisah inspiratif lain.

Tetapi, ‘Kubunuh di Sini’ meski mengandung kutipan seperti di bagian pertama, tidak menceritakan tentang akhir, namun mengenai ‘pertarungan’ dan ‘perjuangan’ melawan tidak hanya penyakit yang diderita, namun juga terhadap diskriminasi atas perbedaan yang dimiliki. Seperti dengan cerpen pembuka acara bedah buku yang menceritakan mengenai seorang perempuan yang ‘tidak simetris’, kanker yang diderita menyebabkan Soe Tjen Marching menjadi ‘berbeda,’ dan oleh sebab menimbulkan penolakan, yang termanifestasikan dalam bentuk tidak diterimanya aplikasi atas izin tinggal permanen bagi dirinya bersama dengan suami di Australia, sebelum akhirnya pindah ke Inggri. Akan tetapi, menghadapi penolakan tersebut, Soe Tjen Marching tidak menyerah dan terus berjuang.

Dengan topik seperti ‘perjuangan,’ ‘perbedaan,’ dan ‘diskriminasi,’ maka tidaklah mengherankan bahwa buku ini kemudian pada kesempatan lalu dibedah oleh Suara Kita, selaku organisasi yang mengkhususkan diri pada pembelaan dan advokasi dari kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia.

‘Kubunuh di Sini,’ seperti yang telah dituliskan, bukanlah merupakan suatu kisah mengenai akhir, namun mengenai hidup itu sendiri yang dipenuhi dengan pergulatan, pertarungan, dan perjuangan. Maka, bukanlah sebuah kepasrahan menyongsong akhirlah yang kemudian dapat dipetik dari buku itu, namun mengenai perjuangan di tengah segala rintangan yang ada.

Topik mengenai perjuangan ini jugalah yang kemudian banyak dibahas pada sesi tanya jawab yang dihadiri oleh kurang lebih 40 orang, termasuk dengan staff pengurus acara. Pertanyaan-pertanyaan seperti alasan dari Soe Tjen Marching untuk mendirikan majalah Bhineka, pengalamannya dalam menghadapi diskriminasi dari kelompok ekstremis, pilihannya atas perjuangan, fundamentalisme agama, hingga mengenai pengobatan herbal alternatif kemudian diluncurkan oleh peserta diskusi yang antusias. Diskusi kemudian ditutup menjelang waktu magrib oleh pembacaan dari potongan buku yang berjudul ‘Pertanyaan untuk Ayah,’ oleh Yatna Pelangi.

Memetik kutipan dari Randy Pausch, seorang profesor komputer dari Universitas Carnegie Mellon, Amerika yang menuliskan mengenai pengalamannya menghadapi kanker dalam buku yang berjudul ‘The Last Lecture,’ dikatakan bahwa “Time is all you have. And you may find one day that you have less time than you think. (Waktu adalah semua yang kamu punya. Dan kamu mungkin dapat menemukan bahwa suatu hari, kamu memiliki waktu yang lebih sedikit dari yang kamu pikirkan).” Maka Soe Tjen Marching telah menunjukkan bahwa waktu yang sedikit itu tidaklah sepatutnya hanya diisi dengan penyesalan, rasa marah, depresi, ataupun frustasi, namun juga oleh keinginan untuk berjuang.

Tidak seperti Pausch ataupun karakter Hazel Grey dari novel remaja populer ‘The Fault in our Stars,’ yang menghadapi akhir, Soe Tjen Marching tetap hidup, dan berjuang sambil menginspirasi sekitarnya.

Poster (1)Judul Buku: Kubunuh di Sini
Penulis: Soe Tjen Marching
Editor: Christina M.Udiani
Isi: xii+250p
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013

*Budi Larasati, mahasiswi universitas Indonesia, jurusan hubungan International yang kini sedang magang di Suara Kita