Penulis : Ni Loh Gusti Madewanti*
Suarakita.org- Barangkali saat ini bisa dibilang negeri kita mengalami degradasi nalar dan hati nurani. Hal tersebut tidak jauh dari pemberitaan media massa yang mendongkrak kasus- kasus kekerasan seksual dan kejahatan Hak Asasi Manusia secara bertubi-tubi. Sayangnya, semua kasus terungkap setelah lebih dari satu korban berteriak melapor memecah kebisuan dan memaksa lidah tak kelu lagi. Teriakan itu tentunya menjadi riak yang terus berkembang. Melahirkan lebih banyak lagi suara yang sumbang, tak ingin dibungkam.
Sebut salah satu kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah ternama Taman Kanak- Kanak JAKARTA INTERNASIONAL SCHOOL (JIS). Sekolah bertaraf internasional, yang hampir 80% siswanya merupakan warga ekspatriat berkantong tebal. Nalar kita dibuat linglung. Bagaimana bisa di sekolah yang tingkat keamanannya super ketat dan berlapis-lapis, ternyata menjadi sumber petaka bagi para bocah ingusan yang Bahasa Indonesianya saja tak fasih. Sekolah sebagai institusi yang sepatutnya menjadi ‘a second home’ berubah menjadi ‘a first class hell’.
Perlu digaris bawahi, bahwa sekolah mahal dibayar dengan dollar, tidak menjamin bahwa ‘keamanan’ terhadap otonomi tubuh dan seksualitas para murid dan warga sekolahnya menjadi hal yang prioritas. Institusi pendidikan masih sekedar sebuah menara gading, yang hanya memfasilitasi ‘transfer of knowledge’ berupa ajar-mengajar mata pelajarantanpa memperdulikan menjadi sebuah ‘medium of lesson learn’ yang merupakan ruang pembelajaran. Kevakuman terhadap media yang humanis, menjadikan semua individu dalam institusi tersebut mencetak robot-robot tanpa kemanusiaan sejati. Dan pada titik tertentu, seksualitas dan tubuh menjadi hal yang kembali tabu diperbincangkan.
Mari kita menelisik kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini. Di TK JIS, kekerasan seksual dilakukan oleh petugas kebersihan outsoursing, kelas bawah tentunya. Kasus di Emon di Sukabumi dan Kakek dari Sumedang, dilakukan bukan dari kalangan pendidikan tinggi, bukan dari keluarga menengah atas, bukan pula dari kalangan kota besar seperti Jakarta. Banyak spekulasi beredar, bahwa kekerasan itu terjadi karena dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak berpendidikan, yang miskin, yang memang berasal dari kalangan bawah, tidak punya moral. Menurut masyarakat awam, yang pantas terjadi. Pertanyaan yang kemudian patut kita jawab adalah, apakah kekerasan seksual benar merupakan wabah sampar yang rentan dibawa oleh kalangan marjinal?
Tidak! Tidak! Dan Tidak!
Wiliam James Vahey, buron pedofil dari Amerika Serikat, yang melakukan kekerasan seksual pada lebih dari 90 anak dibawah umur, bukan merupakan kalangan marjinal. Ia bahkan menjadi salah satu pengajar aktif dalam kurun waktu 1999 – 2002 di sekolah Jakarta Internasional School. Kita tau dengan tingginya bayaran yang dicatut kepada orang tua murid, serta megahnya fasilitas sekolah ini. Tentu menjadi staff pengajar di sekolah ini sulit bukan main dan kualifikasi yang diminta tidak asal-asalan.
Kekerasan seksual terjadi tidak melihat latar belakang orang per orang. Kekerasan seksual bukan hanya ‘penyakit’ kaum marjinal. Kekerasan seksual dilakukan oleh siapapun, bahkan kalangan atas, dengan suara manis manja, dengan wajah lemah lembut, dengan kekuatan ekonomi yang lebih besar. Hal ini menjadi bola salju yang terus bergulir, karena kita semua menjadi bagian dari suara yang diam dan terus diam.
Perlu dikaji lebih lanjut, mengenai pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang menomor satukan pemikiran setiap manusianya hanya pada relevansi deret angka-angka yang wajib diatas rata-rata. Pendidikan yang hanya menekankan bahwa pentingnya moralitas mainstream atas nama agama. Pendidikan yang tidak melibatkan kerjasama dan koordinasi antara orang tua dan pihak penyelenggara pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memberi kesempatan negara untuk ‘lari’ dari tanggung jawab utama.
Betul negara memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Institusi ini masih selayaknya sedotan kecil, yang tak mampu menghirup semua permasalahan lingkaran kekerasan seksual. Alih-alih ingin memberikan solusi, KPAI malah menambah deret panjang keburaman terhadap akar permasalahan. Dengan memberi tuduhan tidak beralasan, bahwa kekerasan seksual dalam konteks TK JIS merupakan akibat penyimpangan orientasi seksual. Pun, pastinya kasus Emon dan Kakek di Sumedang, mengambil hipotesis karbitan yang sama: Homoseksual yang dipersalahkan.
Kegagalan paham KPAI sebagai salah satu ‘kaki’ Negara, tentang otonomi tubuh dan seksualitas menjadi jelas. Bahwa kekerasan seksual tidak dipahami penyebabnya. Dan bahwa KPAI sendiri masih menggunakan perspektif heteronormatif yang misoginis. Dalam melihat kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Kekerasan seksual masih dilihat sebagai hal yang tak patut diperbincangkan musababnya. Karena tabu membicarakan hal yang menyerempet seks, alat kelamin dan orientasi seksual. Muara dari ini semua, kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang mengerikan.
Pekerjaan rumah yang tertumpuk KPAI sepertinya tidak akan pernah usai diselesaikan. Apabila kegagapan hak seksualitas dan pendidikan seks, otonomi tubuh dan orientasi seksualitas masih menjadi hal yang enggan dilakukan. Data yang menyebutkan bahwa 3000 kasus kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia[1], 50%nya adalah kekerasan seksual. Dan Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus kekerasan seksual pedofilia tertinggi di Asia[2].
Pekerjaan rumah lebih besar yang harus segera diselesaikan oleh negara. Tidak hanya melingkupi hukuman yang memberi efek jera kepada para pelaku melalui upaya amandemen Pasal 290 Tentang Pencabulan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana[3]. Lebih jauh, sebuah hukuman dengan asas keadilan, terutama keadilan gender dan orientasi seksual. Yang dapat memutus rantai kekerasan. Agar pelaku tidak hanya dihukum, namun direhabilitasi, diberikan media pembelajaran atas otonomi tubuh dan pendidikan hak seksualitas. Karena para pelaku ini sebenarnya adalah korban-korban, dari pelaku terdahulunya. Yang kemudian membawa mimpi buruk tersebut dalam setiap malam-malam tidurnya, dan tanpa arahan dan pengetahuan yang jelas, menerapkan traumanya pada lingkaran orang-orang terdekat yang juga tidak paham atas tubuh dan seksualitasnya sendiri.
Asas keadilan gender dan seksualitas juga harus dipenuhi kepada para korban, serta kalangan masyarakat umum yang lebih luas. Perlu diadakan upaya yang lebih masif, bahwa pemahaman terhadap tubuh, alat kelamin, selangkangan, orientasi seksual, perlu dibongkar dari ketabuan dan kontruksi patriarki norma-norma hetero yang menjadi dominan hingga hari ini. Akses dan hak pendidikan- konseling mengenai seks dan seksualitas adalah wajib tidak terbantahkan! Agar mereka mempunyai kuasa untuk dapat mengkontrol tubuhnya sendiri, mengkontrol seksualitasnya sendiri.
Jika negara masih absen dalam pengadaan pendidikan seks, seksualitas dan otonomi tubuh. Pada sebenarnya negara adalah pabrik zombie pelaku kekerasan seksual. Sebab, kekerasan seksual yang terjadi saat ini, akibat tiadanya upaya untuk mencegah. Tiadanya upaya untuk lebih kritis dan awas dalam menanggapi. Dan para zombie itu yang pernah dianggap mati, mereka akan bangkit, hidup kembali, menghisap dan mencari korban lainnya. Menjadikan para korban selayaknya kaum zombie pelaku kekerasan seksual kembali. Dan pada akhirnya, negeri inipun menjadi negeri para zombie.
Catatan Kaki
[1] Sumber referensi, Artikel Editorial ‘Awas, Kejahatan Pedofilia’. Koran Tempo halaman 14, Rabu 7 Mei 2014.
[2] Ibid.
[3] Sumber referensi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
*Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.
Email korespondensi: madewanti@gmail.com. Twitter: madewanti@gmail.com