Suarakita.org- Sesuai Kata Hati adalah sebuah buku inspiratif yang membuka wacana klasik tentang kehidupan waria. Ada sisi lain yang mungkin belum kita ketahui dari waria, bahwa rasa yang bergumul tentang perbedaan dengan manusia kebanyakan sejak kecil di dalam diri mereka lebih rumit ketimbang soal pembrontakan kodrat yang notabene dianggap pelanggaran hukum-hukum agama.
Buku ini mencoba menghadirkan dan membuka wacana kita, bahwa jika ada yang paling merasa tersiksa, atas keambiguan anatomi dan kejiwaan mereka adalah diri mereka sendiri. Bukan keluarga, bukan sanak saudara, apa lagi kita yang bukan siap-siapa.
Mungkin jika ditanya pada sebagian besar kita, mengapa kita sangat anti dan heran jika melihat mereka yang kebetulan bertemu di jalan, dengan munafiknya kita akan menjawab karena mereka menyalahi kodrat. Lalu apakah menyalahi kodrat adalah tingkatan dosa terbesar? Lalu jikapun itu benar, apakah jika kita berbuat baik dengan mereka maka kita tertular dosa? Menurut saya pribadi, sebenarnya masalahnya sangat sederhana. Karena bagi kita mereka terlihat aneh dengan dandanan menor dan kebanyakan dari mereka menjadi penjaja seks. Buktinya ada salah satu waria yang diulas di dalam buku Sesuai Kata Hati ini yang secara fisik tanpa beda dengan perempuan ditambah secara materi tak harus menjadi penjaja seks, tetap diterima dan minim diskriminasi. Walaupun sebenarnya hal itu adalah bumerang tersendiri baginya ketika memasuki ranah percintaan.
Selain menampilkan sisi lain dari seorang waria, buku ini juga tidak menggurui. Melainkan menggiring pembaca pada tingkat empati masing-masing. Ditambah penyajiannyapun ringan dengan gambar-gambar kegiatan sehari-hari para narasumber. Bagi kaum hetero buku ini membuka gerbang pemikiran baru bahwa siapapun dia, apapun orientasi seksnya tetap punya peluang yang sama untuk melakukan kesalahan ataupun berbuat kebaikan dan sikap anti kita adalah penyebab utama mereka berkeliaran di jalanan. Sedangkan bagi waria yang masih bergumul dengan dunia prostitusi, buku ini akan memberi inspirasi bahwa kita sudah buntu. Jika terpaksa maju maka akan terluka membentur tembok. Maka kita mesti kembali lagi, mulai dari awal lagi dan MEMANG HARUS LEBIH KERAS LAGI dalam menciptakan stigma positif.
Kekurangan buku ini adalah dalam pengulasannya ditampilkan secara bersama, tidak satu-satu. Sehingga terjadi pengulangan-pengulangan sehingga terkesan berputar-putar. (Banyu Bening)