Search
Close this search box.

Z.O.M.B.I.E

Oleh:

Saras Dewi*

Suarakita.org- Hannah Arendt pernah memperingkatkan, seringkali kita melakukan suatu kejahatan, bahkan tanpa menyadarinya. Kejahatan tersebut telah menjadi bagian dari keseharian, bahasa yang ditolerir oleh suatu masyarakat, ia menyebutnya dengan banalitas kejahatan. Refleksi ini dilontarkan oleh Arendt untuk mencermati fenomena masyarakat Jerman yang selama perang dunia kedua menganggap bahwa hal yang sangat lazim untuk membenci bangsa dan ras yahudi. Apa yang disampaikan oleh Arendt mengingatkan saya akan apa yang terjadi dalam kasus korban pemerkosaan yang tengah saya dampingi. Sepulang dari mendampingi dia melaporkan kasus ini ke polda, respon sebagian besar masyarakat adalah tidak meyakini adanya pemerkosaan sama sekali. Ditambah lagi ketika yang terlapor bicara di berbagai media bahwa hubungan itu ‘Suka sama suka’.

Sosial media penuh dengan komentar-komentar tidak sensitif terhadap penderitaan korban, bahkan memperolok dengan lelucon-lelucon menyinggung pemerkosaan. Saya melihat sisi tergelap dari masyarakat, dan apa yang saya pelajari di dalam teks filsafat tentang banalitas kejahatan menjelma menjadi monster yang menakutkan. Sementara korban memojok di ruangan, dihakimi, diragukan, dipertanyakan moral dan kesantunannya, pelaku mengatakan dirinya khilaf dan masyarakat mudah memaafkan. Kita masih hidup di dalam masyarakat yang phalogosentrik, logika, argumen dan hukumnya masih dikuasai oleh budaya partriarki. Suatu akun twitter menyerang dengan ganasnya, yang mengatakan bahwa pasal yang diadukan oleh korban hanyalah pasal perbuatan yang tidak menyenangkan. Mengapa persoalan beralih menjadi pemerkosaan?

Justru kasus ini mendesak masyarakat Indonesia untuk mengevaluasi kembali produk perundang-undangan berkenaan dengan kekerasan seksual. Komnas Perempuan telah berbicara menyangkut kasus ini, mereka menegaskan, jelas kekerasan terjadi khususnya terjadi penyalahgunaan kuasa untuk mendapat pelayanan seks, itu suatu kekerasan, kejahatan! Mengapa terjadi lebih dari sekali? Nyatanya masyarakat belum paham produk hukum mutakhir seperti hukum kriminal bagi pelaku ‘Marital Rape’/Partner Rape yang pada tahun 1993 telah diakui oleh Komisioner Tinggi PBB sebagai pelanggaran hak azasi manusia. Meskipun seseorang sedang berada di dalam suatu relasi pernikahan, atau relasi percintaan, tidak berarti tubuh perempuan itu adalah properti/miliki pasangan yang lelaki. Maka sudah seharusnya seks yang dipaksakan atau kekerasan seksual dapat dituntut secara hukum. Mengapa korban baru mengadukan setelah 7 bulan? Apakah anda paham betapa dangkalnya masyarakat kita? Yang menghujat korban, mencemooh korban dengan stigma ‘barang yang rusak’ atau insinuasi bahwa korban yang memberi peluang bahkan menyebabkan kekerasan seksual itu terjadi. Tudingan masyarakat ini menjadi alasan bungkamnya korban. Dalam kasus yang saya dampingi ini, dia sempat menderita depresi berkepanjangan, juga sempat berupaya bunuh diri.

Semenjak kasus ini terbuka, email saya penuh dengan laporan, curahan hati korban-korban yang telah mengalami kekerasan seksual. Surat-surat ini saya baca berulang-ulang kali, untuk mengingatkan bahwa ketidakadilan masih terjadi. Para perempuan ini tidak memiliki ruang untuk bersuara, ataupun untuk mendapatkan keadilannya. Majunya korban kedua bernama Maria (alias) meyakinkan kami dengan terbukanya kasus ini, memungkinkan para korban untuk bersuara. Maria meski telah melanjutkan hidupnya masih merasakan trauma dan muak setiap kali mengingat kejadian itu. Kejadian yang menimpa Maria memang tidak sampai pada titik persetubuhan, tetapi tidak berarti ia tidak menderita dan menyimpan teror itu di dalam kepalanya. Pertemuan yang terjadi antara kami dengan Maria pada tanggal 3 Desember 2013 pada hari Selasa itu membantu kami memahami modus dari pelaku dalam melakukan kekerasan seksual.

Ada kejahatan di saat masyarakat bersembunyi dalam pernyataan-pernyataan yang permisif terhadap kekerasan. Seperti halnya zombie yang tidak punya kesadaran, empati, ataupun kekritisan dalam melihat masalah. Seseorang membiarkan dirinya terkungkung dan berjarak dengan kejahatan. Selama itu tidak menimpa siapapun yang ia kenal, maka, ia merasa tidak ada urgensi untuk bersuara. Tetapi, bisa dibayangkan bila kekerasan semacam ini terjadi pada orang yang kita cintai, yakinlah pasti anda akan melakukan apapun untuk membela orang yang anda kasihi. Permasalahannya adalah, kita mudah menyerah dengan dalih, sulit ditempuh problem kekerasan ini melalui ranah hukum. Tetapi bukankah hukum positif dibuat oleh manusia untuk kepentingan manusia? Hukum bukan persoalan aturan-aturan baku yang dianut oleh masyarakat, yang dingin dan kaku, tapi hukum juga dapat dikoreksi, disempurnakan, disesuaikan dengan bagaimana masyarakat kita mulai mengenali berbagai bentuk kejahatan kekerasan seksual.

Sebagai penutup, saya teringat esai yang ditulis oleh Iris Murdoch, berjudul The Sovereignty of Good. Di dalam esai itu ia mengkritik filsafat yang berada di menara gading dan begitu angkuhnya mempersoalkan tentang kebaikan dan moralitas. “Goodness is not an object of insight or knowledge, it is a function of the will.” Kita melupakan bahwa kebaikan adalah bagian dari pengalaman kita dalam berbuat sesuatu. Jadi yang patut ditekankan adalah, apa yang dapat kita perbuat untuk menyebarkan kebaikan, untuk mengubah masyarakat jadi lebih baik, untuk membantu yang lemah dan terpinggirkan untuk bersuara. Itu yang terpenting.

Entah hasil semacam apa yang dapat dicapai dari seluruh upaya ini, tetapi yang terpenting adalah dia menolak untuk diam.

*Penulis adalah Dosen Di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Sumber:  sarasdewi.blog.com