Oleh: Sebastian Partogi
Suarakita.org- Apakah yang akan Anda rasakan apabila Anda terlahir sebagai seorang perempuan namun mengalami transformasi secara fisik dan sosial menjadi laki-laki pada masa remaja Anda?
Hal inilah yang dialami oleh individu-individu yang mengalami sindrom defisiensi (kekurangan) gen 5-alfa reduktase. Sindrom genetik ini menghambat fungsi testosteron dalam mengembangkan organ reproduksi eksternal pada individu laki-laki. Sindrom ini menyebabkan seorang laki-laki yang memiliki organ reproduksi ambigu karena penisnya tidak berkembang secara sempurna dan kelenjar reproduksi perempuan yang ia miliki pun tidak menyusut secara sempurna.
Dalam banyak kasus, seorang individu yang secara genetik adalah seorang laki-laki (karena memiliki kromosom seks XY) tetapi menderita sindrom defisiensi 5-alfa reduktase secara salah teridentifikasi sebagai seorang perempuan karena dokter yang menanganinya saat lahir mengira bahwa penis berukuran kecil yang ia miliki adalah sebuah klitoris yang notabene merupakan organ kelamin perempuan.
Hal inilah yang terjadi pada Calliope Stephanides, tokoh utama dalam novel Middlesex karya Jeffrey Eugenides (2002, diterbitkan kembali oleh 4th Estate pada tahun 2013). Calliope terlahir di Detroit pada tahun 1960 ke dalam sebuah keluarga migran dari Yunani sebagai seorang perempuan, menegasikan ramalan sang nenek (yang sebelumnya tidak pernah salah mengenai jenis kelamin cucu mereka) bahwa cucu berikutnya adalah seorang laki-laki.
Yang tidak diketahui oleh keluarga Stephanides adalah: 1) bahwa ramalan sang nenek sebetulnya benar bahwa cucunya adalah seorang laki-laki (yang memiliki kromosom seks XY); dan 2) Calliope tampak seperti perempuan karena ia membawa gen penyebab sindrom defisiensi 5-alfa reduktase.
Gen resesif untuk sindrom 5-alfa reduktase sebetulnya telah mengalir dalam darah keluarga Stephanides. Dengan sifat resesif, sebuah gen tidak akan menentukan ciri fisik seorang manusia sampai ia berpasangan dengan gen resesif lainnya.
Gen resesif untuk sindrom 5-alfa reduktase itu kemudian berpasangan saat Desdemona dan Lefty, nenek dan kakek Calliope yang adalah saudara kandung, menikah. Gen resesif untuk sindrom tersebut kemudian diturunkan pada anak mereka, Milton. Tetapi gen resesif itu belum menampakkan dirinya sampai Milton menikah dengan sepupunya, Theodora dan melahirkan anak kedua mereka, Calliope.
Dokter yang menangani kelahiran Calliope salah mengidentifikasi anak itu sebagai seorang perempuan. Akhirnya Calliope pun dibesarkan sebagai perempuan. Padahal sebetulnya ia adalah seorang individu laki-laki heteroseksual dengan penis yang tidak berkembang sempurna karena kekurangan testosteron.
Karena inilah, Calliope salah mengidentifikasi dirinya sebagai seorang lesbian. Saat masih berusia 8 tahun, ia pernah bermain dengan seorang teman sekolah yang bernama Clementine. Tiba-tiba saat mereka sedang berdua saja di kamar, Clementine berujar, ‘mari kita mempraktekkan ciuman!’, lalu mencium Calliope di bibirnya. Saat itu, Calliope merasakan jantungnya berdegub.
Saat ia tumbuh remaja, ia pun jatuh cinta pada seorang teman sekelasnya yang adalah seorang perempuan, yang ia sebut sebagai ‘Objek’. Sang objek pun ternyata senang dengan dirinya dan mereka seringkali melakukan aktivitas seksual bersama.
Di saat yang sama, orangtua Calliope merasa bingung karena pada usia 14 tahun, anak perempuan mereka tidak kunjung menstruasi dan mengalami pertumbuhan payudara seperti anak-anak perempuan lainnya. Pada saat yang sama, tubuh Calliope mulai ditumbuhi oleh rambut, persis seperti seorang remaja laki-laki. Dan satu hal lagi, Calliope telah mulai menyadari bahwa alat kelaminnya tidaklah sempurna: organ tersebut tidak terlihat seperti vagina, tetapi tidak juga seperti penis.
Saat kedua orangtua Calliope akan membawa anak mereka ke dokter ahli reproduksi untuk diperiksa, ia merasa panik dan takut bahwa rahasia yang ia bawa tentang alat kelaminnya akan terbuka di hadapan orangtuanya, dan lebih buruk lagi, di hadapan publik. Lalu mulailah ia berpura-pura. Ia sering mengaduh dan berpura-pura sakit seolah sedang mengalami menstruasi. Orangtuanya pun lega dan membelikannya pembalut, yang akan ia buang tanpa ia pakai sama sekali.
Ia pun mulai membeli beha dan menyumpal benda tersebut dengan tisu agar tampak seperti payudara yang sedang bertumbuh. Orangtua Calliope pun merasa lega karena akhirnya anak mereka mulai bertumbuh seperti anak-anak lainnya.
Rahasia Calliope kemudian terungkap suatu hari saat ia sedang berada di rumah sang Objek. Saudara laki-laki sang Objek, Jerome mulai mengintimidasi Calliope secara emosional karena ia tahu Calliope melakukan hubungan lesbian dengan sang Objek. Saat Jerome hendak menyerang Calliope secara fisik, ia berlari dengan kencang. Kemudian ia ditabrak oleh sebuah truk.
Saat ia sedang dirawat di rumah sakit, identitasnya sebagai seorang interseks kemudian terbuka. Orangtuanya membawanya ke dokter Peter Luce, seorang seksolog yang mereka harap dapat membantu mengatasi masalah yang dialami oleh Calliope. Dr. Luce mengatakan pada kedua orangtua Calliope bahwa secara biologis anak mereka adalah seorang perempuan – sebuah kebohongan yang, entah atas alasan apa, ia kemukakan. Karena dokumen hasil pemeriksaan genetik yang ia lakukan menunjukkan bahwa Calliope adalah seorang laki-laki dengan kromosom seksual XY.
Saat Calliope membaca dokumen Dr. Luce secara diam-diam dan mengetahui bahwa dirinya adalah seorang laki-laki, ia memutuskan untuk melarikan diri dari orangtuanya karena takut membuat mereka kecewa. Ia memotong rambutnya menjadi pendek, mengubah penampilannya sebagai seorang laki-laki, dan mengganti namanya menjadi Cal.
Dalam pengembaraannya, ia kemudian menjadi aktris dalam sebuah klub freak show yang menampilkan manusia “1/2 laki-laki, ½ perempuan” sebagai atraksi utama mereka. Di situlah ia bertemu dengan Zora Khyber, seorang interseks yang kemudian mengajarkan padanya bahwa mereka bukanlah “monster” seperti yang dikatakan oleh kamus Webster’s (percaya atau tidak, pada tahun 1970-an, kamus Webster’s menaruh kata “monster” sebagai sinonim untuk “hermafrodit”, kata lain untuk interseks). Mereka adalah manusia yang karena kondisi genetik tertentu kemudian memiliki jenis kelamin yang ambigu. Zora pun meminjamkan beberapa buku tentang seks dari sudut pandang biologi dan genetika yang ia miliki pada Cal.
Pada akhirnya Cal dapat menerima dirinya sendiri. Naasnya, ia baru kembali ke rumah orangtuanya saat ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil saat berkejar-kejaran dengan seorang penipu yang mengklaim tahu dimana Cal berada.
Novel epik sepanjang 500 halaman lebih ini menceritakan sejarah keluarga Cal secara mendetail mulai dari generasi kakek dan neneknya. Selain mengetengahkan pergumulan hidup seorang interseks, novel ini juga membawa isu-isu serius seperti masalah yang dihadapi oleh kelompok migran, rasialisme di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, dan fundamentalisme agama. Namun, jangan khawatir karena isu-isu “berat” tersebut dibungkus oleh Eugenides dalam balutan humor yang ringan.
Mungkin kita tidak perlu menjalani kepura-puraan atau keterasingan dari keluarga seperti yang dilakukan Cal apabila masyarakat kita bisa memaklumi kehadiran kelompok interseks dengan tidak terlalu mengkotak-kotakkan gender ke dalam “laki-laki” dan “perempuan”. Beberapa negara, seperti India, Nepal dan Jerman, telah mengakui keberadaan gender ketiga. Kapankah Indonesia akan melakukan hal yang sama supaya tidak tercipta pergumulan batin berat pada diri para Calliope / Cal yang terlahir dan tumbuh di Indonesia?
Penulis adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.