Search
Close this search box.

Menjadi Gay, dan Bahagia

Ilustrasi : sampul depan buku " The Velvet Rage".
Ilustrasi : sampul depan buku ” The Velvet Rage”.

Oleh: Sebastian Partogi*

Suarakita.org– Bisakah seorang individu gay hidup bahagia? Di tengah benturan prasangka, stigma dan penolakan orang lain dalam dunia yang didominasi kaum heteroseksual ini, kata ‘gay’ dan ‘bahagia’ tampaknya menjadi antitesis untuk satu sama lain.

Berbagai penelitian, termasuk yang dilakukan oleh dokter Gary Remafedi, telah menunjukkan bahwa kaum gay lebih rentan untuk mengalami depresi, keinginan bunuh diri, adiksi narkoba serta seks tidak aman dibandingkan dengan orang heteroseksual. Semua hal ini disebabkan oleh stigma berat yang ditempelkan masyarakat pada kaum gay yang menyebabkan timbulnya perilaku-perilaku destruktif yang telah disebutkan di atas sebagai pelarian dari kenyataan kelam yang harus dihadapi kaum gay dalam keseharian mereka.

Psikolog asal Amerika Serikat Dr. Alan Downs menulis sebuah buku berjudul The Velvet Rage: Overcoming the Pain of Growing Up Gay in a Straight Man’s World (Lifelong Books, edisi kedua 2012), sebuah ‘buku panduan’ untuk kaum gay yang menyingkap alasan dibalik selubung ketidakbahagiaan yang mendera mereka. Dr. Downs percaya bahwa ketika selubung ini berhasil dilepaskan, kaum gay dapat hidup bahagia sebagai manusia yang utuh, dan lepas dari jeratan perilaku-perilaku destruktif yang telah disebutkan di atas.

Premis utama Dr. Downs dalam bukunya adalah: akar dari selubung ketidakbahagiaan yang melingkupi kaum gay adalah rasa malu yang disebabkan oleh nilai-nilai maskulin dan heteroseksual yang mendominasi masyarakat.

Sedari kecil, seorang gay telah merasakan bahwa dirinya berbeda. Sebagai laki-laki, ia bukannya tertarik pada perempuan, tetapi pada sesama jenisnya. Ini adalah pelanggaran bagi nilai-nilai maskulinitas dan heteroseksual yang telah mendarah-daging dalam masyarakat dimana ia tinggal. Sebelum orang lain mulai menghina dan menyingkirkan dirinya karena ia berbeda, ia telah menyadari fakta bahwa dirinya berbeda.

Saat orangtua dan teman-temannya mulai melihat bahwa ia berbeda (entah karena perilakunya feminin atau karena selalu memandangi laki laki dan tidak pernah memandangi perempuan), mulailah ia merasa diperlakukan berbeda. Entah orangtua dan teman-temannya tidak mengacuhkan keberadaannya, menyingkirkannya, atau lebih buruk lagi, menghukum dirinya dengan menghina atau bahkan melakukan kekerasan fisik padanya, hanya karena dia berbeda.

Perasaan berbeda dan ditolak ini berdampak sangat buruk pada anak-anak karena bagi mereka, penerimaan dan validasi dari orang lain sangatlah penting untuk bangunan psikologisnya. Penolakan dan perlakuan buruk yang diterima seorang anak gay pun terserap dalam alam bawah sadarnya dan terbawa terus sampai ia telah menjadi orang dewasa.

Saat ia beranjak dewasa, menyadari orientasi seksualnya dan berusaha untuk berdamai dengan kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, rasa malu yang disebabkan oleh reaksi negatif orang lain saat ia masih kecil tidak kunjung hilang dari ingatannya. Ia telah membentuk kepercayaan bahwa sebagai seorang gay, dirinya tidak akan dicintai dan diterima oleh siapapun. Oleh karena itu, ia mulai membangun kepercayaan bahwa ia harus melakukan kompensasi atas keadaan dirinya yang ‘cacat’ supaya ia bisa dicintai dan dihargai orang lain.

Kompensasi itu bisa dilakukan dengan berbagai cara: dengan menggapai kesempurnaan yang tak mungkin diraih dalam kariernya, memiliki tubuh yang atletis dan wajah yang tampan, memiliki pacar yang atletis dan tampan juga, memiliki kekayaan dan kemewahan yang akan membuat orang lain iri, dan seterusnya. Si orang gay percaya bahwa dengan melakukan hal-hal ini, ia akan dicintai.

Namun, dalam perjalanan waktu, ia menyadari bahwa berbagai macam hal yang telah ia lakukan untuk mengkompensasikan rasa malu yang ia alami sebagai seorang gay ternyata tidak berhasil membuat dirinya bahagia, dan membuat orang lain mengakui dirinya, karena semua atribut eksternal yang ia kumpulkan untuk ‘memperbaiki’ dirinya ternyata tidak berhasil memperbaiki kondisi internal pikirannya yang masih dihantui oleh perasaan hampa, ditolak dan tidak dicintai sebagai seorang gay.

Luka batin kaum gay juga menghambat mereka untuk dapat membangun relasi yang sehat dengan orang lain. Teman-teman mereka mungkin akan mulai meninggalkan mereka karena mereka senantiasa murung atau terfokus pada diri sendiri, dua perilaku yang sebetulnya bersumber dari perasaan depresi karena merasa tidak mungkin hidup bahagia karena trauma masa lalu yang menyebabkan pesimisme saat memandang masa depan.

Luka batin ini pun membuat mereka senantiasa berganti pasangan dan sulit untuk setia karena ingin membuktikan bahwa diri mereka atraktif secara seksual – lagi-lagi, sebuah kompensasi untuk perasaan bahwa diri mereka tidaklah berharga, yang kemudian membuat mereka tidak mampu membangun relasi percintaan yang membahagiakan.

Lalu, apakah yang harus dilakukan oleh kaum gay agar mereka dapat membebaskan diri dari lingkaran penderitaan ini dan kemudian hidup bahagia?

Alan Downs, penulis buku " The Velvet Rage".
Alan Downs, penulis buku ” The Velvet Rage”.

Dr. Downs mengatakan bahwa seorang gay harus sadar terlebih dahulu tentang rasa malu dan tidak normal yang telah diserap oleh alam bawah sadar mereka, dan bahwa rasa malu inilah yang menyebabkan semua perilaku destruktif mereka.

Manusia tidaklah dilahirkan dengan rasa malu, hampa ataupun tidak berharga. Pendek kata, tiga hal ini merupakan pengaruh lingkungan, bukan sifat dasar manusia, dan oleh karena itu dapat dilenyapkan. Fakta inilah yang membuat Dr. Downs optimis bahwa orang gay dapat hidup bahagia.

Langkah pertama yang disarankan oleh Dr. Downs untuk menggapai kebahagiaan bagi orang gay adalah tentu saja pertama-tama menerima seksualitas mereka sendiri, karena orientasi seksual tidak bisa dipilih ataupun diubah, sama seperti kita tidak bisa memilih atau mengubah orangtua kandung kita.

Langkah berikutnya dapat dilakukan dengan mengubah perilaku mereka sehari-hari dan cara mereka memandang kehidupan, dengan berpegang pada tiga prinsip:
– Pilihlah kedamaian batin: Selalu ingat hal-hal yang sifatnya positif, seperti teman-teman heteroseksual yang menyayangi dan menerima Anda apa adanya.
– Hiduplah secara otentik: Jangan berpura-pura menjadi orang lain. Tidak perlu memaksakan diri untuk tampil cerewet dan menjadi populer hanya untuk bisa diterima orang banyak untuk mengkompensasikan perasaan inferior Anda. Kalau memang Anda adalah orang yang pendiam, jadilah pendiam dan bicara apa adanya.
– Lebih memilih kebahagiaan dibanding pujian orang lain: meskipun kita bahagia saat dipuji orang lain, namun kebahagiaan sejati tidaklah datang dari pujian. Kalau Anda memang bahagia menjadi seorang guru sekolah dasar, tetaplah tekuni profesi Anda tersebut, meskipun orang lain mungkin tidak menganggap pekerjaan tersebut spesial. Pujian adalah ‘hadiah sekunder’ dari apa yang Anda lakukan; hadiah primer adalah kepuasan batin dan pemenuhan diri sendiri.

Latihan mengubah perilaku ini perlu dilakukan setiap hari secara konsisten dan dengan bantuan kelompok dukungan sebaya agar membuahkan hasil yang efektif.

Kita tidak dapat memilih orientasi seksual kita, tetapi kita dapat memilih untuk hidup bahagia. Dan hal itu bisa dilakukan saat ini juga.

*Penulis adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.