Search
Close this search box.

Benarkah Homoseksualitas Diimpor Dari Barat?

Sebastian Partogi
Sebastian Partogi

Oleh: Sebastian Partogi*

Suarakita.org-
Banyak tokoh agama di Indonesia yang menolak homoseksualitas dengan mengatakan bahwa homoseksualitas adalah sebuah dekadensi moral yang diimpor dari Barat. Mereka selalu mengatakan bahwa homoseksualitas tidak sesuai dengan “budaya Indonesia” dan oleh karena itu perlu diberangus dan kalau bisa, diberantas.

Pernyataan bernada provokatif dari pemuka agama tersebut seringkali dijadikan pembenaran bagi pihak-pihak seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) untuk melakukan tindakan sewenang-wenang pada komunitas homoseksual.

Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa pembubaran Q!Film Festival dan kongres International Lesbian and Gay Association (ILGA) di tahun 2010, serta pembubaran diskusi (disertai intimidasi dan kekerasan) yang menghadirkan feminis teolog asal Kanada Irshad Manji di Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 2012 yang lalu. Diskusi dibubarkan hanya karena Irshad adalah seorang lesbian.

Namun apabila ditelaah secara lebih kritis, kita perlu mempertanyakan: apakah betul homoseksualitas itu di-“impor” dari Barat? Jika ia, kapankah nenek moyang kita meng-“impor” homoseksualitas dari negara Barat? Saat zaman penjajahan Portugis, Spanyol atau Belandakah?

Apabila kita hendak mempertanyakan lebih jauh lagi, maka kita akan berhadapan dengan pertanyaan yang mungkin akan lebih rumit dan sulit untuk dijawab: siapa yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah sebuah ‘penyimpangan seksual’? Dan apakah sepanjang sejarah peradaban manusia, masyarakat kebanyakan selalu tidak toleran terhadap homoseksualitas?

Untuk menjawab pertanyaan sulit di atas, profesor sejarah dari Universitas Aberdeen di London, Inggris, William Naphy, menulis sebuah kajian historis mengenai homoseksualitas setebal 269 halaman berjudul Born to be Gay: a History of Homosexuality (Tempus Publishing).

Di awal bukunya, Naphy memaparkan tentang upaya para ilmuwan sosial untuk menjelaskan asal muasal homoseksualitas: apakah homoseksualitas disebabkan oleh bawaan lahiriah atau pengaruh lingkungan? Banyak ilmuwan sosial yang mengkritik diskriminasi dan kekerasan pada kaum homoseksual dengan argumen bahwa orientasi seksual berada di luar kendali individu yang bersangkutan, oleh karena itu tak adil membedakan seseorang hanya karena orientasi seksualnya.

Namun, dikotomi bawaan lahiriah versus pengaruh lingkungan dalam menjelaskan homoseksualitas ini membawa Naphy ke pertanyaan radikal: mengapa keragaman seksualitas perlu dijelaskan secara teoritis?

Naphy mengatakan bahwa ilmuwan sosial mulai menggali asal muasal keragaman seksualitas karena dipicu oleh kesadaran bahwa ada orientasi seksual yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma sosial dan oleh karena itu perlu diletakkan di bawah mikroskop untuk dikaji. Kita hanya perlu menggunakan akal sehat untuk menebak orientasi manakah yang dianggap menyimpang: pastilah homoseksualitas.

Namun, berdasarkan kajian Naphy, ternyata tidak semua masyarakat dalam sejarah peradaban melihat homoseksualitas sebagai penyimpangan. Saat ia menelusuri berbagai peradaban yang berjaya di Asia dan Afrika pada abad-abad sebelum Masehi sampai sebelum masa penjajahan oleh koloni Eropa, ia menemukan bahwa kebanyakan masyarakat di sana sangat toleran dan permisif terhadap hubungan homoseksual.

Pada abad ke-3000 sebelum Masehi, homoseksualitas diterima sebagai bagian yang integral dalam budaya Timur. Bahkan pengkategorian orientasi seksual pun belum ada saat itu. Kategori gender maskulin dan feminin juga belum ada, tidak seperti keadaan saat ini di mana masyarakat betul-betul mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan gender mereka.

Bukti atas klaim ini dapat dilihat dari berbagai mitologi dari peradaban kuno yang ada. Dalam mitologi Yunani (saat itu bagian dari Asia Kecil), dewa Zeus digambarkan memiliki hubungan seksual dengan seorang lelaki remaja bernama Ganymede. Dalam mitologi Hindu, anak dari dewa Krishna, Samba, juga digambarkan memiliki hubungan homoseksual. Masyarakat Cina kuno yang hidup pada tahun 1,000 sebelum Masehi mengenal konsep “chong”, di mana relasi seksual tidak mengenal jenis kelamin dan dapat melintasi batasan-batasan gender.

Hukum yang ada saat itu pun tidak mengkriminalkan hubungan sesama jenis. Hukum Hammurabi pada masyarakat Babilonia hanya menghukum perilaku seksual yang melibatkan kekerasan seperti inses dan pemerkosaan. Dalam peradaban-peradaban kuno ini, fungsi seks adalah untuk mencapai kenikmatan dan rasa aman secara emosional. Fungsi seks bukanlah semata untuk reproduksi.

Sikap yang santai dalam memandang seksualitas ini berubah saat tradisi agama Yahudi mulai muncul pada abad kedua sebelum Masehi, diikuti oleh Kekristenan dan Islam, tiga agama yang akan penulis sebut sebagai agama Abrahamik. Tradisi Abrahamik ini kemudian menyebarkan ajaran bahwa seksualitas hanya boleh dilakukan dalam rangka prokreasi (menciptakan keturunan – yang notabene yang bisa dilakukan oleh pasangan heteroseksual), dan melarang serta menganggap dosa hubungan seks yang dilakukan untuk memperoleh kenikmatan. Tradisi Abrahamik ini pun kemudian mengharamkan hubungan sesama jenis.

Agama Yahudi dan Kristen kemudian dipeluk oleh mayoritas orang Eropa. Ketika orang-orang Eropa ini mulai melakukan penjajahan pada peradaban-peradaban Asia dan Afrika di abad ke-15, mereka kemudian memaksakan nilai-nilai Kekristenan mereka pada wilayah jajahan mereka. Para koloni Eropa juga menggunakan fakta tentang perilaku seks sesama jenis yang terjadi di wilayah jajahan mereka sebagai pembenaran atas eksploitasi yang mereka lakukan – mereka mengklaim diri mereka sendiri sebagai guru yang hendak mengajarkan penduduk jajahan ini untuk berasimilasi dengan nilai-nilai moral Kekristenan mereka.

Naphy menyebut penyebaran nilai-nilai Kekristenan pada masa penjajahan ini sebagai “kelahiran homofobia” di mana orang mulai mengkategorikan seksualitas dan memberi label pada homoseksualitas – yang tidak mungkin menghasilkan keturunan – sebagai menyimpang dan berdosa.

Para penjajah memanfaatkan kisah Sodom dan Gomora – dimana Tuhan mengutuk penduduk di dua kota tersebut setelah para lelakinya beramai-ramai memperkosa dua malaikat Tuhan yang menyamar sebagai laki-laki – untuk mendiskreditkan homoseksualitas. Padahal, pandangan yang lebih kritis atas teks tersebut akan mengatakan bahwa Sodom dan Gomora dihukum karena kekerasan seksual dan perilaku tidak ramah pada tamu yang mereka lakukan, bukan karena hubungan sesama jenis itu sendiri.

Istilah “homoseksual” sendiri baru muncul pada akhir abad 19 oleh Karoly Maria Benkert, seorang psikolog Jerman, untuk memberi label pada perilaku seksual menyimpang yang melibatkan sodomi. Padahal, homoseksualitas tidak selalu melibatkan sodomi. Sekretaris jenderal Ourvoice Indonesia, Hartoyo, pernah menyatakan dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post bahwa hubungan homoseksual juga melibatkan sisi emosi yang kental – bukan hanya urusan penetrasi penis ke anus.

Dalam buku Naphy, secara ironis kita melihat bahwa bangsa Barat – yang dianggap sebagai ‘pembawa’ homoseksualitas adalah bangsa yang menyebarkan homofobia ke masyarakat-masyarakat dimana homoseksualitas sebenarnya tidak pernah dianggap aneh. Masihkah kita hendak berkilah bahwa homoseksualitas telah diimpor ke Indonesia – yang sebetulnya juga memiliki tradisi homoseksual yang kaya dalam tradisi Reog Ponorogo, Tayuban, serta relief-relief bercorak hubungan sesama jenis di candi Borobudur?

*Penulis adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.