Search
Close this search box.

Film “Cinta Itu Beda” Merefleksikan Makna Perbedaan

Ourvoice – or.id– Cahyo, aku buka saja kalung salibku ya? ungkap Diana kepada pacarnya Cahyo ketika diajak berkunjung kerumah orang tua Cahyo, keluarga muslim yang taat.

Itu adalah sepenggal dialog dari film “Cinta Tapi Beda”, sebuah film garapan sutradara Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra. Film ini secara umum pesannya meyampaikan persoalan pernikahan beda agama di Indonesia.

Bagaimana sistem kebijakan Indonesia tidak mengizinkan pernikahan beda agama, walau pasangan berbeda kelamin. Apalagi jika sejenis, tentu akan lebih repot lagi hidup di Indonesia. Kebijakan perkawinan di Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1974 masih mengadopsi pandangan Islam dari tafsir yang sangat diskriminatif pada anak, perempuan, kelompok homoseksual, penghayat kepercayaan maupun pernikahan beda agama.

Film ini mencoba menampilkan fakta yang mungkin dianggap tidak umum oleh banyak orang, misalnya sang tokoh Diana (Agni Pratistha), seorang perempuan asal Padang beragama Khatolik yang sangat taat.  Latar belakang tokoh berdarah Minang sepertinya ingin menegaskan bahwa umat non muslim (baca Khatolik) juga ada di masyarakat Minang. Minang tidak sama dengan muslim, mungkin film ini mencoba mengungkapkan itu.Umat non muslim bisa saja seorang yang beretnis Minang, Jawa maupun Aceh begitu juga seorang Muslim juga bisa saja seorang etnis Papua, Bali ataupun etnis Batak.

Selain itu, tokoh Cahyo (Reza Nangin ) dengan keluarga Jawa di Yogyakarta yang mempunyai latar belakang masyarakat toleran tetapi ternyata hanya “kulitnya” saja. Terbukti dalam ayah Cahyo seorang tokoh masyarakat, sehari-hari beliau sangat toleran terhadap umat non muslim tetapi ketika putranya Cahyo ingin menikahi Diana yang berbeda keyakinan, sang ayahpun menjadi sangat marah atas hubungan tersebut. Lagi-lagi pandangan agama yang sempit dijadikan justifikasi pelarangan tersebut.

Cerita ini menjadi sindiran bagi masyarakat ataupun diri kita sendiri, banyak orang ngaku sebagai orang yang pluralis tetapi ketika dihadapkan pada realita yang terjadi terutama pada orang-orang terdekat maka akan kelihatan mental aslinya, menjadi orang yang sangat tidak toleran.

Sehingga saya sendiri “menguji” seseorang yang mengaku pluralis,  bagaimana pandangannya terhadap pernikahan beda agama dan juga pandangannya terhadap homoseksual. Biasanya orang akan teriak bicara keadilan dan hak asasi manusia tetapi ketika dihadapkan pada dua isu itu maka memilih diam ataupun berubah pandangan.  Apalagi ketika isu homoseksual, pernikahan beda agama ataupun pindah agama meyangkut orang paling dekat dalam diri kita, maka saat itulah akan keluar “tanduk” aslinya. Saat itulah diri kita di uji apakah kita seorang yang benar-benar toleran atau tidak, film ini menawarkan itu.

Film ini juga menampilkan bahwa penganut agama yang tidak toleran bukan hanya di umat Muslim tetapi juga non muslim (Khatolik), hal ini di tampilkan dari sikap ayah Cahyo (Muslim) dan ibu Diana (Khatolik) yang sama-sama tidak setuju dengan pernikahan beda agama. Hal ini menarik, selama ini sering dinilai bahwa umat yang tidak toleran hanya kelompok muslim saja padahal orang-orang intoleran bisa terjadi di umat manapun, baik muslim maupun non muslim.  Di benua manapun dan dalam sejarah apapun, intoleran ada di agama manapun.
Film ini menurut saya berhasil menampilkan realita persoalan pernikahan beda agama di Indonesia, bahwa ada masalah besar tentang kebijakan di Indonesia. Belum lagi film ini ingin menegaskan bahwa cinta itu hadir melampuin segalanya, baik suku, agama bahkan jenis kelamin.

Walau film ini tidak memberikan “porsi” pada persoalan pernikahan sejenis tetapi film ini dapat mengantarkan pada diskusi bahwa cinta ya cinta, tidak dapat dibatasi oleh apapun. Cinta manusia  dapat hadir pada siapapun, baik hubungan heteroseksual, homoseksual, sesuku, berbeda suku dan seagama sampai berbeda agama. Siapapun tidak bisa menghalangi itu, karena cinta itu lahir begitu saja pada diri manusia.

Film ini menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran tentang isu-isu pluralisme tetapi cerita dari film ini masih terkesan “memaksa” ataupun kurang berhasil mengkemasnya dengan utuh.  Misalnya soal ide konsep tari dan juru masak sebagai bagian dari spritualitas yang lintas batas untuk menghantarkan pada realita keberagaman manusia, sepertinya kurang berhasil disampaikan dalam film ini.  Film ini mencoba  memadukan filosofi tari, teknik memasak dan toleransi, bahwa ada “benang merahnya” tetapi sepertinya kurang berhasil disampaikan kepada penonton.  Terasa sulit dicerna sehingga terkesan dipaksa untuk dimasukan. Sehingga profesi tari dan juru masak dari kedua tokoh utama terkesan seperti pelengkap cerita, padahal sebenarnya tidak begitu.

Kekuatan lain dari film ini, memasukan isu transgender yang diperankan oleh Hudson yang berprofesi sebagai penyanyi berwajah dua (pria dan wanita).  Sang tokoh punya porsi dalam film tersebut, menjadi sahabat dekat sang tokoh utama dan ditampilkan sebagai seorang laki-laki yang bersolek/berias tetapi masih dalam konteks yang positif.  Walau film ini tidak menegaskan bahwa sang tokoh sebagai seorang transgender tetapi film ini mencoba menempatkan tokoh LGBT sebagai manusia biasa yang bisa berinteraksi dengan masyarakat lainnya.

Akhir kata, film ini dalam situasi Indonesia yang semakin hari semakin tidak toleran ,maka menjadi media yang tepat bagi publik untuk belajar apa itu perbedaan.  Bagaimana perbedaan dapat di internalisasi pada diri kita bukan hanya tinggal konsep yang enak untuk didebat dan diskusikan saja.  Tetapi bagaimana menerapkan toleransi itu apalagi ketika terjadi pada orang-orang terdekat kita, film Cinta Tapi Beda memberikan pelajaran tentang itu.  Selain itu Anda akan menemukan dialog dan adegan yang membuat diri sendiri tersenyum sambil berefleksi, mengapa penting menghormati perbedaan!  Selamat menonton. (Hartoyo)