Search
Close this search box.

Gay: Niscaya dan Tabu

Sebuah Refleksi Film: Solemnly/elegy

Oleh: Adi Winarto

Mungkin pasangan sesama jenis (gay-lesbian) di kalangan kita masih menjadi larangan. Sebab tatanan sosial menganggap masih ihwal itu adalah penyimpangan kodrati. Namun, di sisi lain, kita tak harus membencinya. Apalagi bermusuhan. Film pendek Solemny/Elegy yang diperankan Mike Lucock (Dimas) dan Matt Jonson (Theo) merupakan interpretasi kehidupan gay di tengah ibukota. Mereka terang-terangan dengan hubungannya, tanpa harus malu terhadap sekitar. Meskipun kerap kali, disindir, dilecehkan bahkan ditanyakan bagaimana pasangan gay dalam melampiaskan hasrat.

Film ini banyak mengangkat realitas kaum gay sehingga tak bisa dipungkiri, kaum gay sebagai kaum super-inferior. Seakan tak ada ruang bagi mereka. Sebab gay merupakan pasangan yang dilaknat, entah secara strukturalis sosial bahkan fundamentalis religi.

Kita tahu tiap agama dan budaya di belahan dunia manapun masih menganggap gay, maupun lesbian adalah makhluk aneh (alien), yang susah di terima di tengah-tengah suatu komunitas sosial. Bahkan ada yang bilang, kaum gay itu adalah penyakit. Persis seperti nasib Dimas-Theo yang dikucilkan di tengah-tengah pemukimannya. Padahal di zaman OrBa, tepatnya tahun 1983, Departemen Kesehatan RI menyatakan gay/lesbian/biseks bukan dan tidak boleh diperlakukan sebagai penyakit sosial. Dan tentunya perihal ini banyak diketahui. Apalagi masyarakat kita banyak terdikte dengan dogmatis agama buta. Dalam arti, tak mampu membedakan mana urusan agama (teologi) dan sosial (humanisme). Semua dijadikan konglomerasi; agama-sosial. Alhasil hingga sekarang negara kita tak aman lagi. Pertumpahan darah mengatasnamakan agama-sosial. Bisa dibayangkan.

Lebih dari itu, kalau ditelisik lebih dalam, pasangan gay seyogyanya tak harus dibenci bahkan dimusuhi. Sebab mereka masih makhluk Tuhan Yang Maha Kasih-Sayang. Mereka sama halnya dengan kita. Bahkan dalam film tersebut, Dimas tak canggung-canggung untuk sembahyang di masjid, meskipun perihal itu sangat aneh sekali. Kalau dibilang, kok ada umat yang sudah dilaknat Tuhan masih berdoa kepada-Nya.

Lepas dari itu, kita harus membuka mata-telinga-hati untuk orang-orang seperti itu meskipun diri tak sepakat dengan jalan pilihannya. Seperti firman Tuhan SWT, “Sesungguhnya kami menciptakan kamu diantara laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS:Al Hujurat ayat 13). Dengan begitu kita tak usah repot-repot dengan segala tinduk-tanduknya. Terpenting kita mampu menjaga perilaku pribadi untuk selalu berada di jalan-Nya. Maka kita harus mampu memanifestasikan amal kebaikan bagi sesama, tanpa harus memandang berbeda agama, berbeda ras-suku, bahkan berbeda orientasi seksual. Dan tentunya bukan cuma agama Islam yang mengajarkan itu, semua agama-kepercayaan lain pun punya ajaran yang agung dalam menyemaikan kedamaian bagi sesama. Dengan begitu kita mampu untuk mencegah kemudaratan di muka bumi.

Selain itu, kita bisa memetik hikmah dari perselingkuhan kaum gay, yang sengaja disodorkan dalam film tersebut; oleh Andi Gunawan. Yang semua itu bisa berakibat fatal, yakni penularan virus HIV/AIDS. Dengan begitu seks bebas bisa diminimkan supaya HIV/AIDS tidak merajelela. Sungguh pun, alur cerita itu memiliki nilai positif dalam membuka khazanah kaum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender, Interseks dan Queer) untuk tak dibuat remeh-temeh dalam melakukan seks bebas agar tak mengundang virus HIV/AIDS. Bagaimanapun juga, HIV/AIDS akan merusak kehidupan kita. Tentunya, film Solemnly/Elegy wajib ditonton oleh publik sebagai kaca khazanah dalam kehidupan sosial yang majemuk. Agar kita bisa terbuka bagi eksistensi mereka.

Tentunya, LGBTIQ bukan sebagai momok lagi dalam pranata social. Asal diketahui saja, secara biologi, setiap manusia memiliki hormon testosteron dan progesteron. Setiap gender pasti memiliki unsur tersebut. Konteksnya, sosok Dimas merupakan gender yang banyak mengandung hormon progresteron ketimbang hormon testosteron. Padahal—secara normatif—lelaki itu banyak mengandung hormon testosteron. Maka Dimas lebih asyik menjadi sosok feminin dan tentunya mencintai sama jenis; lelaki yaitu Theo. Kejadian tersebut merupakan misteri Ilahi. Kita tak perlu antipati dengan status lesbian, gay dan sejenisnya. Serahkan semuanya pada junjungan besar kita semua: Tuhan Yang Maha Esa, karena Dia sang pencipta dan pemilik dunia ini. Dengan begitu, Insya Allah, kehidupan di muka bumi ini akan tetap harmonis, damai dan sejahtera meskipun hati kita sulit menerima keberadaan mereka: LGBTIQ. Lebih baik lagi kita memutuskan pada diri sendiri untuk berkata “Ya” atau “Tidak” dengan jalan (hidup) mereka daripada mencemooh bahkan mengumpatnya. Seperti ungkapan Nabi Muhammad SAW; keselamatan manusia terletak pada lidahnya dalam bicara (as-salamatu al-insan bi al-hifdh al-lisan). Dan tentunya, Muslim sejati harus mampu memberikan keamanan bagi yang lain (dalam al-Ihya’ al-Ulumuddin). Apapun status gender itu, semuanya hanyalah misteri tuhan semata.***