Search
Close this search box.

Ada Cinta di Kehidupan Gay

Foto : Yatna Pelangi
Foto : Yatna Pelangi

Jakarta.ourvoice.or.id – Cinta yang universal menyentuh siapapun. Cinta bukan milik kaum heteroseksual saja. Ia juga dimiliki kaum homoseksual. Cinta ada di kehidupan gay. Di kehidupan semua orang. Persoalannya, bagaimana menerima dan menjalani cinta itu bersama pasangan kita.

Refleksi cinta ada di kehidupan gay, tergambar jelas di film Latter Days. Film itu mengeksplorasi cinta sejenis kelamin untuk mematahkan pandangan masyarakat heterosentris (yang baik hanya heteroseksual), yang berpikir negatif terhadap kehidupan gay.

Di dalam film Latter Days, dua pasangan lelaki begitu saling mencinta. Soal seks akhirnya menjadi persoalan nomor dua. Seks bukan seperti berjabat tangan. Seks mesti saling mengenal. Saling bertutur. Lebih dari itu, saling mencinta. Pesan itu disampaikan apik oleh aktor Steve Sandvoss, berperan sebagai Aaron Davis.

Seperti dalam kehidupan, film itu juga menggambarkan dilema percintaan gay. Ibarat puncak gunung. Pendakian menuju puncak dilalui rumit dan berat. Percintaan dalam kehidupan gay atau hubungan sejenis kelamin merupakan titik kulminasi keadaannya sebagai manusia.

Di kaki gunung percintaan gay, mereka terlebih dahulu dihadapkan dengan persoalan penerimaan diri. Suatu pintu masuk atau langkah pertama yang sulit. Sebabnya, penerimaan diri sebagai seorang homoseksual dibenturkan dengan realita dominan heterosentris. Ranah homoseksual hampir tidak mendapatkan ruang.

Banyak lelaki yang ragu, takut, atau merasa bersalah menerima orientasi seksual dirinya sebagai gay. Hal itu menghambat mereka berhubungan cinta dengan orang lain. Tentu, suasana psikologis seperti itu mengalami tekanan luar biasa dari lingkungan yang heterosentris.

Menurut beberapa lesbian, gay, biseks, dan tranjender setelah menonton film Latter Days yang diputar di Sekretariat OurVoice, Minggu (29/4/2012), penerimaan diri menjadi upaya penting agar tidak hidup dalam bayang-bayang rasa takut dan bimbang. Agar kehidupan percintaan diraih.

Setelah melewati kaki gunung, percintaan gay memasuki lembah. Di titik itu, penerimaan sosial menjadi tantangan tersendiri. Di dalam masyarakat yang dihegemoni nilai-nilai heterosentris, percintaan gay dinilai sebagai titik ekstrem penyimpangan seksual. Akhirnya, penerimaan sosial terhadap homoseksual diwujudkan dengan simbol-simbol serangan atau tekanan yang berseberangan.

Foto : Yatna Pelangi
Foto : Yatna Pelangi

Hubungan Aaron Davis dengan Kristen Markelli, diperankan Wes Ramsey, tak luput dari caci maki dan tekanan sosial yang anti homoseksual. Termasuk dari keluarga dan teman-temannya. Konsekuensi sosial diterima mereka sejalan dengan penerimaan diri mereka yang kuat. Tidak mudah. Kadang ragu. Kadang takut dan terpaksa menampilkan pribadi orang lain.

Mencapai puncak gunung percintaan gay, kesulitan masih dihadapi. Yang paling sulit adalah menghadapi konsekuensi sosial berbasis kultural, seperti agama. Film Latter Days itu berlatar belakang kehidupan Kristen dari Aaron Davis. Ia seorang misionaris Gereja Yesus Kristus, aliran Mormon. Lingkungan gereja sangat menolak homoseksual. Sebagai misionaris, ia mesti menjaga pribadi yang sejalan dengan gagasan dan tuntutan gereja.

Suatu ketika, Aaron Davis didapati tengah bercumbu dengan Kristen Markelli oleh teman-teman misionarisnya. Seketika teman-temannya marah. Akhirnya, karir misionaris Aaron berakhir dengan ujung pemecatan dan pengucilan di tempat asalnya. Di sana, ia juga mengalami pengucilan ganda yang dilakukan keluarganya. Orang tua Aaron tidak menerima orientasi seksual anaknya itu. Akhirnya, Aaron melakukan upaya bunuh diri. Namun, gagal.

Hubungan percintaan yang sempat terhenti, diupayakan dirajut kembali. Aaron dan Kristen merasa dipertemukan dengan waktu. Mereka saling mencari, saling menarik. Akhirnya bertemu lagi dengan rasa cinta yang lebih dalam. Kisah akhir yang bahagia dari kehidupan gay.

Kebahagiaan yang akhirnya diraih Aaron dan Kristen tidak meniadakan agama. Mereka menerima agama sejalan dengan orientasi seksualnya. Yang perlu diyakini, Tuhan tentu menerima kita apa adanya, orientasi seksual dan pasangan kita. Sekalipun tafsir dominan agama menolaknya. Tidak menentangkan agama dengan orientasi seksual membuat cinta mewujud dalam makna sebenarnya.

Yang dialami Aaron dan Kristen, banyak dialami pasangan homoseksual lainnya. Bukan hanya di lingkungan Kristen, di lingkungan agama lain pun masih sulit menerima homoseksual. Tapi, bukan berarti kita yang homoseksual mengingkari pribadi yang tentu turut dalam penciptaanNya. (Samsara/OurVoice)