Search
Close this search box.

Ketika Identitas Gender Digugat!

Jakarta. Ourvoice.or.id – Film ini bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Laure (Zoe Heran, 10 tahun) yang secara biologis lahir bervagina, seperti umumnya perempuan.  Sang tokoh tumbuh mengalami “kebingungan” dan pertanyaan pada diri sendiri. Ini karena minat, penampilan dan rasa yang dialami sang tokoh berbeda dengan banyak orang. Berlatar belakang keluarga Perancis, Laure selalu di anggap laki-laki oleh teman-teman barunya karena dia memiliki potongan rambut pendek dan terampil bermain bola. Sampai pada suatu ketika ada anak perempuan yang menciumnya.

Ada banyak adegan-adegan yang terkesan “polos” tetapi dapat menganggu pikiran penonton. Sepertinya Céline Sciamma sang sutradara ingin meyampaikan pesan-pesan yang berbeda tentang seksualitas dan identitas gender kepada penonton.  Kita akan diperhadapan pada persoalan kehidupan dengan apa yang selama ini kita yakini sebagai sebuah kebenaran.  Selama ini kita yakin, anak perempuan harus lemah lembut, rambut panjang, bervagina, tetapi sang tokoh menampilkan dan merasakan hal sebaliknya.

Situasi sosial yang masih menganggap hal yang aneh, tentu membuat sang tokoh kebingungan dengan identitas diri sendiri, dalam psikologi disebut dengan “ego distonik”. Misalnya ketika dirinya harus buang air kecil dengan cara duduk sementara teman laki-lakinya berdiri.  Bahkan saat dirinya membuat “penis” dari lilin yang sengaja dimasukan ke dalam celana renangnya.  Hal ini dilakukan agar terkesan “sama” apa yang ada dengan teman sepermainan (baca: laki-laki).  Ada banyak adegan “kecil” dalam film ini yang menyentuh tentang konsep kontruksi seksualitas dan identitas laki-laki dan perempuan.

Selama ini kontruksi masyarakat yang sangat ketat, memisahkan laki-laki dan perempuan secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik.  Kontruksi sosial yang biasa disebut dengan gender sudah banyak digugat oleh gerakan perempuan sebagai “biang” dari ketidakadilan.  Tetapi persoalan kontruksi seksualitas dan identitas gender masih belum banyak digugat, walau secara konsep sudah banyak dibahas.

Film ini sebenarnya sedang menggugat konsep identitas seksualitas manusia.  Ini beberapa contoh  kontruksi seksualitas yang selama ini diyakini sebagai sebuah kebenaran: Laki-laki (baca: maskulin,rambut pendek, suka dengan perempuan,berotot, sex aktif) sedangkan perempuan (baca: feminin,rambut panjang, suka dengan laki-laki, kulit halus,sex pasif).  Film ini mencoba menggugat itu semua, sesuatu yang sudah dianggap benar oleh publik.

Sebenarnya secara budaya, Indonesia ada istilah lain bagi gender “ketiga” seperti di Sulawesi Selatan ada sebutan Calabai (laki-laki feminin) yang kemudian dikonotasikan dengan Waria, Calalai (perempuan maskulin) yang kemudian dikonotasikan dengan tomboy.  Dalam kebudayaan “kuno” juga ada tokoh yang “bukan” laki-laki maupun perempuan seperti Srikandi atau Ardhanary.  Ini menunjukkan bahwa persoalan keberagaman seksualitas dan identitas gender ini bukan persoalan Barat ataupun Timur saja.

Mungkin film menjadi layak untuk ditonton, untuk dapat memberikan pendidikan keberagaman seksualitas dan identitas gender ditingkat keluarga.  Karena bukan hanya orang tua yang ada di Indonesia mengalami penolakan terhadap identitas gender yang lain.  Tetapi sang ibu di film tersebut yang berlatar belakang masyarakat Perancis juga menolak dan bingung dengan penampilan sang anak yang “Tomboy”.

Film Tomboy ini diproduksi September 2011 dan banyak mendapatkan penghargaan di Festival film International.  Ourvoice telah menayangkan dan melakukan diskusi bersama di Sekretariat Ourvoice, Jum’at, 25 Februari 2012 dengan mengundang narasumber Lia Toriana.  Dari peserta diskusi, juga menyatakan apa yang dialami oleh sang tokoh juga banyak dialami anak perempuan tomboy di Indonesia.  Mudah-mudahan film ini dapat memberikan pencerahan bagi kita. Salam Keberagaman.  (Hartoyo)