Search
Close this search box.

Diskusi Santai: Mempertanyakan Homoseksualitas di dalam Islam

 Jakarta, Ourvoice.or.id – Organisasi lesbian,gay,biseksual dan transgender (LGBT) yang bergerak di bidang media informasi, Ourvoice Indonesia, mengadakan nonton bareng film dokumenter ‘A Jihad For Love’, Sabtu (28/7/2012). Film dokumenter ini menceritakan tentang perjuangan kelompok homoseksual muslim untuk mendamaikan keimanan dan seksualitas mereka. Pada kesempatan kali ini Ourvoice Indonesia juga mengundang seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Saidiman Ahmad, sebagai pembicara. Film ini sendiri mengambil latar belakang sosial dan budaya masyarakat muslim di Iran, Afrika Selatan, Mesir, Saudi Arabia dan Turki.

 

“Susah banget jadi homoseksual” ungkap Djohan (27), peserta asal Bekasi.

“Perasaan saya campur aduk”, ujar Jen Katleya (41), seorang transgender asal Bogor.

“Semakin yakin jika homoseksual bukanlah suatu kesalahan”, lanjut Budi Cinta (35) yang juga seorang transgender asal Bogor.  Itulah beberapa tanggapan dari peserta diskusi setelah selesai menonton film dokumenter ini.

Diskusi santai setelah berbuka puasa bersama

Saidiman menjelaskan bahwa tema Islam dan homoseksualitas adalah tema yang menantang, tidak jarang para ahli agama mundur dalam mencari solusi dari kajian ini. Menurut Saidiman bahwa Imam Syafii, melihat persoalan homoseksual termasuk dalam kategor zina (prilakunya). Pandangan Imam Syafii fokus pada homoseksual sebagai perilaku bukan pada orientasi seksual untuk mendapatkan sanksi. Dan untuk memberikan sanksi pelaku zina dalam Islam sangat beragam pandangan dan sulit sekali untuk dilaksanakan, mungkin tidak pernah bisa dibuktikan, ungkap Saidiman. Karena ada beberapa syarat yang ketat yang harus dipenuhi, diantaranya harus ada 4 orang dewasa menjadi saksi yang benar-benar melihat masuknya alat kelamin saat penetrasi/anal sex.  Diana,salah seorang peserta menegaskan dalam diskusi bahwa zina sendiri sebenarnya ukurannya apa? Apakah harus laki-laki dan perempuan, atau sesama jenis. Bagaimana dengan yang melakukan onani atau masturbasi?, tanya Diana.

Menurut Saidiman, jangan-jangan ketentuan pembuktian yang sangat sulit dalam zina yang hampir tidak mungkin bisa dibuktikan merujuk sebenarnya perzinahan adalah murni menjadi urusan individu dengan Tuhan (dosa) bukan menjadi urusan manusia (kejahatan). Karena antara dosa dan kejahatan sebuah hal yang sangat berbeda sekali. ”Prinsipnya, dosa adalah masalah individu dengan Tuhan bukan dengan manusia sesama manusia” tegas Saidiman.

Saidiman pun menjelaskan bahwa jihad bukanlah perang suci. Jihad dapat bermakna usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu.  Al-Qur’an sendiri mengalami proses penafsiran yang begitu panjang di masyarakat, tiap penafsiran selalu ada hubungan dengan kekuasaan , budaya setempat dan juga ada kepentingan siapa yang menafsirkan Qur’an. Laki-laki, perempuan, heteroseksual ataupun homoseksual? Sehingga mungkin sekali tafsir tentang homoseksual didalam teks Al-quran juga penuh dengan kepentingan ataupun bias-bias latar belakang itu.

Padahal jika ditengok kembali, sejarah Islam sangat dipenuhi dengan sastra yang homo-erotik. Misalnya ada seorang khalifah Islam  bernama khalifah Al Mutawakil yang  ”diduga” pecinta sejenis.  Menurut catatan sejarah, indikasinya setiap sang Khalifah putus dengan kekasih prianya, kondisi negara akan gonjang ganjing”, terang Saidiman.

Ada pertanyaan menarik dari Dana (26), seorang gay dari Jakarta, ” Bagi saya seks adalah tabu, jika menurut Imam Syafii persoalan homoseks adalah perzinahan, apakah kemudian saya harus menikah dengan lelaki secara sah dulu baru melakukan hubungan seks?”, supaya tidak dianggap zina.

Saidiman pun menjawab, hakikatnya manusia tidak bisa membaca apa yang dipikirkan Allah SWT.  Melalui kalam-Nya, Al-Qur’an, Allah SWT membebaskan kita untuk berpikir.  Persoalan zina adalah persoalan manusia dengan Tuhan, biarkanlah Tuhan yang menilai di hari akhir nanti.  Tapi yang perlu ditegaskan, janganlah berburuk sangka terhadap Tuhan”,  Tuhan maha kasih dan penuh sayang dengan umatnya, saya yakin itu, tegas Saidiman.

Pada Akhirnya, manusia tidak bisa berharap agama mampu menjawab semua persoalan. Sesungguhnya, Al-Qur’an turun untuk merespon kasus-kasus khusus yang terjadi di masyarakat Arab 1400 tahun yang lalu. Untuk itulah manusia masa kini perlu melakukan ijtihad, pengambilan keputusan mandiri atas suatu masalah.  Terakhir, Saidiman menegaskan; jika Al-Qur’an berasal dari Allah SWT yang maha kasih dan penyayang, maka tidak mungkin Al-Qu’ran itu diskriminatif terhadap kelompok kelompok tertentu. (Teguh)