Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (LDD-KAJ) adalah salah satu lembaga sosial umum yang membuka program pelatihan pemberdayaan perempuan dan menerima partisipasi transpuan, di samping ibu-ibu dan pengungsi.
Tim Suara Kita sempat mengunjungi program pelatihan memasak pemberdayaan perempuan LDD-KAJ yang diadakan seminggu sekali di Gereja Katedral Jakarta dan mengangkat cerita ini dari sudut pandang Suster Frederica selaku pendamping kelas dan perwakilan lembaga.
Kali ini, tim Suara Kita mengangkat sudut pandang salah sosok transpuan yang aktif berpartisipasi dalam program memasak ini. Shella, 51 tahun, bekerja sehari-hari sebagai pekerja seks dan penjual makanan seperti kue, jajanan tradisional, dan nasi kotak berbasis pre-order. Ia bergabung dalam program memasak ini sejak 2019 hingga saat ini.
Dari saat pertama kali bergabung hingga saat ini, para peserta transpuan seperti Shella dan Oma Edo mendapat perlakuan yang baik dari para peserta lainnya dan pihak LDD-KAJ. Mereka berdua mengikuti kelas dan mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan lainnya.
“Tidak ada yang membedakan satu sama lain. Kita semua di sini saling menghormati satu sama lain dan belajar bersama,” ujar Shella.
Selain itu, ia bukan hanya aktif sebagai peserta, namun juga kerap menjadi pelatih untuk membantu Suster Frederica mengajar kawan-kawan peserta lainnya, seperti ibu-ibu rumah tangga dan kawan-kawan disabilitas.
Dirinya pun menjadi pelatih pada tanggal 21 Desember 2024 ketika tim LDD-KAJ mengadakan sesi memasak skala besar dan mengirim sekitar 500 porsi nasi kotak untuk para korban banjir Muara Angke, Jakarta Utara.
Kegiatan memasak untuk bantuan bencana alam ini adalah salah satu agenda program memasak, di samping kelas memasak rutin seminggu sekali dan penyediaan tempat memasak bagi para peserta agar bisa memasak dengan fasilitas dapur yang mumpuni untuk membuka pesanan, baik itu untuk kegiatan gereja maupun pesanan di luar.
Detik awal kawan-kawan transpuan bergabung
Proses Shella untuk bergabung pada program memasak ini sebetulnya ia lalui secara tidak sengaja. Sebelum bergabung, ia rutin menghadiri kegiatan di Gereja Katedral Jakarta tiap satu bulan sekali dengan sosok Mami Yuli dan kawan-kawan gay dan transpuan untuk mengikuti kelas tata rias.
Ketika LDD-KAJ mulai membuka program memasak, Shella sempat tidak tahu soal program ini dan belum ada yang mengajaknya untuk bergabung. Namun, ketika ia menjenguk kawannya di Kedoya yang ditangkap Satpol PP ketika sedang di Taman Lawang, ia kebetulan bertemu Mami Yuli yang kemudian mengajak dirinya mengikuti kelas memasak LDD-KAJ.
Saat itu, Shella belum sempat mendaftar secara resmi, namun ia terlanjur mengikuti pelatihan karena terdorong motivasi ingin belajar memasak dan berjualan hingga akhirnya menjadi peserta aktif sampai sekarang.
“Aku ingin sekali belajar ilmu sebanyak mungkin. Kalau ada ilmu yang bermanfaat, aku mah enggak menolak. Apalagi, aku juga punya rencana ingin buka tempat jualan sendiri.”
Ketika Shella bergabung pada tahun 2019, ada belasan kawan transpuan lainnya yang juga terdaftar dan terbagi dalam dua kelompok. Namun, satu demi satu dari mereka mulai mundur dan berhenti mengikuti kelas pelatihan karena banyak alasan, salah satunya adalah jarak dari rumah mereka.
“Ongkos ke sini itu enggak murah. Ada yang jauh rumahnya di Tangerang, jadi dia enggak kuat bepergian Jakarta Pusat-Tangerang,” ucapnya.
Karena itu, ditambah pandemi COVID-19 yang menyebabkan pembatasan akses ruang publik pada tahun 2020, peserta-peserta transpuan yang tersisa pada program memasak ini hanya Shella dan Oma Edo. Ketika pandemi, Shella terbantu oleh pihak LDD-KAJ yang menyediakan dapur untuk menjual pesanan karena dirinya tidak bisa memasak di kost tempat dia tinggal.
Terkait pengalamannya, ia bercerita, “Dapur kost itu kebanyakan untuk rame-rame, sedangkan pemilik kost melarang penghuninya masak di dalam kamar. Untuk orang-orang kayak aku itu sulit, jadi aku cuma bisa memasak makanan yang ringkas dan cepat matang seperti bolu kukus di kost-an dan itupun cuma pas jam sepi ketika orang-orang pergi kerja.”
“Kalau Oma Edo, dia bisa memasak di tempat tinggalnya. Makanya, aku lebih sering masak pesanan di dapur lembaga,” lanjutnya.
Hal ini mempengaruhi cara Shella berjualan makanan. Untuk pesanan skala kecil seperti 30 porsi dan/atau makanan-makanan yang cepat saji, ia bisa memasak di tempat tinggalnya. Namun seringkali, ia memasak di dapur lembaga dan membuka pesanan melalui kontak pribadi Suster Frederica atau akun Instagram LDD-KAJ, baik itu untuk umum maupun kegiatan lembaga.
Terkadang, ia juga berkolaborasi dengan peserta-peserta lain untuk pesanan skala besar sebanyak ratusan porsi yang biasanya mereka buka dalam rentang waktu tujuh hari untuk persiapan membeli bahan, memasak, dan distribusi.
“Ada kalanya kami buka pesanan itu sepaket, misalkan pesanan cemilan kotak untuk acara pertemuan LDD-KAJ. Aku yang bikin kue-kue kayak bolu kukus, sedangkan Oma Edo bikin jajanan tradisional kayak lemper, risoles, dan/atau nagasari,” ujarnya.
Tantangan internal dan eksternal kawan-kawan transpuan
Sambil terus mengikuti kegiatan kelas memasak hingga saat ini, Shella pun terus mengajak kawan-kawan transpuan lainnya untuk bergabung dan belajar berwirausaha agar mereka bisa mandiri. Akan tetapi, mereka seringkali tidak mengambil tawarannya dengan berbagai alasan.
Menurut cerita Shella terkait salah satu dari mereka, “ada satu kawan trans dari jaman SMA yang memanggang bolu kukus itu enak banget dan aku suka ngajak dia jualan di bazaar atau ikut kelas LDD-KAJ. Malah pas ada reuni SMA, aku ngajak dia untuk jualan di sana. Tapi, dia lebih milih pergi jalan-jalan dan dapat uang dari temong (tamu)-nya, karena bagi dia itu cucok.”
“Padahal, kita harus sadar usia dan kapasitas diri. Lembaga sudah menyediakan tempat untuk memasak, bahkan Suster Frederica dan LDD-KAJ mau meminjamkan modal untuk membeli bahan-bahan makanannya. Cuma ya begitu, dia banyak alasan, jadi sebetulnya dia enggak mau ikut dan kami enggak bisa terlalu memaksakan kehendaknya juga,” lanjutnya.
Kejadian ini bukan hanya dilalui oleh Shella. Seperti pada artikel terdahulu terkait Warung Mak Cik oleh sosok transpuan lansia Lenny Sugiharto, banyak kawan transpuan yang minim motivasi untuk mengikuti program pembelajaran seperti ini akibat banyaknya tantangan dari dalam diri sendiri maupun dari luar.
Dalam konteks kelas memasak ini, Shella berpendapat bahwa ada kecenderungan bahwa kawan-kawan transpuan ingin mendapat hasil yang instan karena tuntutan kehidupan dan sulitnya bertahan hidup, sehingga hal ini menjadi kebiasaan dan berisiko menurunkan motivasi untuk belajar atau membuka usaha jangka panjang.
Selain itu, ada juga rasa kurang percaya diri yang timbul ketika kawan-kawan transpuan melihat program memasak lembaga yang diisi oleh masyarakat umum, tidak hanya untuk kawan-kawan transpuan. Karena adanya rasa takut akan mendapatkan diskriminasi dan stigma dari peserta lain, mereka cenderung menjauhi program-program seperti ini.
Tantangan terakhir yang Shella kemukakan adalah risiko diskriminasi oleh para pelanggan semisal kawan-kawan transpuan hendak membuka usaha mandiri. Berkaitan dengan impiannya, Shella ingin mengajak ibu dan adik untuk berjualan makanan bersama karena ia takut menghadapi cibiran bila hanya dirinya sendiri yang berjualan dan berhadapan dengan pelanggan.
Apalagi, ia juga menyaksikan kawan transpuannya yang sulit mempertahankan usaha jualannya.
“Sempat ada kawanku yang buka kedai minuman di area seperti food court dekat tempat tinggalku dan banyak pelanggan yang nongki (nongkrong) di sana sambil menghina dirinya. Terus, sering ada kasus orang mampir ke kedainya dan mau pesan minuman, tapi begitu pelanggan ini mendengar suara kawanku itu mereka tiba-tiba mundur dan enggak jadi beli,” Shella bercerita.
Dukung kawan-kawan transpuan lebih berdaya
Shella percaya bahwa semua ini tergantung diri masing-masing, baik itu dari keinginan untuk belajar maupun strategi untuk berusaha. Walau masih banyak kawan transpuan yang menghadapi tantangan-tantangan tadi, tidak sedikit juga yang memiliki keinginan dan keberanian untuk belajar dan berdikari.
Dengan adanya program ini, Shella sangat berharap program pelatihan pemberdayaan ini bisa terus berjalan dan berkembang agar bisa memberdayakan lebih banyak orang. Ia juga berharap fasilitas dapur LDD-KAJ juga bisa lebih meningkat untuk semakin mempermudah proses memasak dan meningkatkan daya tarik agar lebih banyak orang berminat untuk mendaftar, termasuk kawan-kawan transpuan.
Selain itu, ia sangat berharap lebih banyak kawan transpuan yang bisa mengikuti program-program pemberdayaan yang terbuka untuk umum, terutama program yang secara terbuka menerima partisipasi transpuan seperti program LDD-KAJ ini. Dengan begitu, ia percaya bahwa mereka bisa memiliki modal ilmu untuk terus maju dan berdaya.
“Usaha kuliner seperti ini sebetulnya lebih mudah dijalani kawan-kawan transpuan karena sistemnya pre-order: Kita tinggal masak sesuai pesanan, terus barangnya tinggal antar. Apalagi dengan bantuan fasilitas dapur milik lembaga, proses jualannya jadi lebih mudah,” ucap Shella.
“Asal punya kemauan dan rajin, kita semua di sini pasti mendukung,” lanjutnya.
Sebagai penutup, pelatihan memasak LDD-KAJ berlangsung dua kali setahun dan kelas berjalan setiap tiga bulan sekali. Bagi kawan-kawan transpuan yang ingin daftar dan mengikuti program pelatihan ini bisa menghubungi akun Instagram LDD-KAJ dan mendaftar melalui nomor WhatsApp lembaga untuk kelas gelombang Maret 2025. Calon peserta wajib mengisi formulir pendaftaran untuk memastikan pemenuhan kriteria untuk menjadi peserta program ini, seperti niat untuk belajar dan membuka usaha.
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.