Oleh: Hartoyo*
SuaraKita.org – Film karya David Pablos, Dance of the Forty One yang tayang di Netflix, sepertinya cocok sekali menjadi cerminan politik seksualitas di Indonesia saat ini, apalagi menjelang Pemilu 2024. Kemunafikan Elit politik dan penolakan masyarakat Indonesia akan realitas keberagaman gender dan seksualitas manusia, sangat tergambar dalam film ini.
Walau film ini berkisah pada kelompok elit dan masyarakat Mexico pada akhir abad 19, kisahnya nyaris sama dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
Identitas Gender dan Seksualitas selalu jadi momok bagi semua elit politik negeri ini. Begitu juga bagi masyarakat, seolah-olah semua elit politik adalah heteroseksual. Bahkan ketika ada elit politik seorang homoseksual terbuka ke publik, maka karir politiknya akan hancur. Tidak akan diterima seorang elit politik atau dan keluarganya menjadi homoseksual. Itulah keinginan masyarakat Indonesia.
Jika ada elit homoseksual, maka semua ditutup rapat-rapat kepada publik. Karena sekali saja ketahuan bahwa ada elit yang homo, maka karir politiknya akan habis. Tidak akan didukung oleh masyarakat. Jangan heran, kalau semua elit menjadi sangat munafik, apalagi kalau urusan seksualitas.
Padahal aku yakin seyakin-yakinnya, banyak dari kelompok gender dan seksualitas yang menduduki posisi sebagai elit politik paling bergengsi di Indonesia. Termasuk juga anggota keluarganya, mulai dari anak, adik bahkan sampai dirinya sendiri. Mereka mungkin ada di banyak posisi, mulai dari tingkat terbawah, RT, kepala desa, kepala daerah, sampai Presiden atau calon presiden. Termasuk juga para Caleg, anggota dewan dari Kab/Kota sampai nasional, maupun posisi pengurus partai, bahkan ketua partai juga sangat mungkin ada. Dan ini menyebar dari segala ideologi partai, mulai yang katanya nasionalis sampai yang berbasis agama. Ada semua!
Tapi, realitas itu semua ditutup rapat-rapat agar publik tidak tahu. Publik diberikan tampilan, seolah semua sesuai keinginan publik, elit yang menikah, punya anak menjadi keluarga yang harmonis selalu ditampilkan ke publik. Padahal identitas seksual, menyangkut soal selera, rasa, hasrat seksual seseorang adalah sesuatu yang sangat esensi sekali pada hidup seseorang.
Hal ini inheren atau menyatu pada tubuh seseorang yang sangat personal dan esensial sekali. Bahkan pada beberapa orang, pentingnya seksualitas sama dengan sebuah keyakinan pada sang Maha. Terbayang tidak ketika hasrat yang paling dalam dan esensial itu, harus ditekan dan disembunyikan selama hidupnya hanya karena posisinya sebagai elit politik atau anggota keluarganya?
Walau praktik seksualnya bisa mereka salurkan dengan beragam cara, termasuk membayar atau bercinta secara diam-diam menggunakan fasilitas negara, apalagi ketika elit memiliki kekuasaan dan uang, menjadi lebih mudah untuk mengatur dengan siapa akan bercinta, realitas kemunafikan pada seksualitas itulah yang sekarang sedang terjadi di politik Indonesia.
Kemunafikan itu kemudian ditopang oleh keinginan nilai masyarakat yang juga ikut-ikutan menjadi munafik. Semua ingin yang ideal/baik versi publik. Maka semua elit dan masyarakat wajib jadi heteroseksual, menikah, dan harus punya anak.
Gambaran nyata ini tertuang dalam film Dance of the Forty One secara gamblang. Apalagi film ini diangkat dari kisah nyata, menantu Presiden Mexico yang berkuasa saat itu.
Sepertinya sejarah di Mexico terulang kembali di Indonesia dan mungkin terjadi di seluruh negara di dunia. Sekali lagi, kita sebagai masyarakat ingkar dan menolak akan realitas itu. Akhirnya kita menjadi masyarakat munafik yang akhirnya melahirkan elit politik yang munafik juga.
Jakarta, 15 Januari 2024
*Penulis adalah Anggota Perkumpulan Suara Kita. Penulis juga Koordinator advokasi Adminduk, Jaminan Sosial, dunia Kerja untuk Transgender di Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui WhatsApp 087738849584.