Search
Close this search box.

[Liputan] Tahun Politik, Luviana Ariyanti: Perlu Bikin Panggung Sendiri!

 

Oleh: Fajar Zakri*

SuaraKita.org – Dalam tahun politik ini, tak bisa dipungkiri isu minoritas gender dan seksual menjadi penting untuk diperhatikan lebih seksama mengingat banyaknya catatan kelam di bawah pemerintahan Joko Widodo selama hampir satu dekade terakhir.

Kali ini, Suara Kita berbincang dengan jurnalis senior dan pemimpin redaksi Konde.co Luviana Ariyanti – biasa disapa Luviana – tentang pandangannya akan isu tersebut di tahun pemilu 2024.

Berbekal pengalaman jurnalisme lebih dari 20 tahun, dan karya- karya jurnalisme melalui Konde.co dalam isu-isu perempuan dan kelompok minoritas secara umum, ketajaman wawasan dan sudut pandang Luviana tentunya tidak perlu diragukan lagi.

Simak wawancara Suara Kita dengan peraih penghargaan Wartawan Terbaik dari Anugerah Dewan Pers 2023 berikut ini.

***

Berangkat dari pengalaman dan pengamatan Mbak Luviana, terlebih selama masa pemerintahan Joko Widodo 10 tahun terakhir, isu minoritas gender dan seksual rutin menjadi bulan-bulanan media, kira-kira akan seperti apa pemberitaan isu ini di media selama tahun 2024?

Para capres dan cawapres tidak akan menganggap isu minoritas seperti LGBT sebagai sesuatu yang penting. Dalam pandangan mereka, sama sekali tidak ada persoalan dalam kelompok minoritas di Indonesia. Ini sudah bisa kita lihat dalam debat capres-cawapres, apalagi ketika daftar pertanyaannya sudah diberitahukan terlebih dahulu kepada mereka agar tidak ada yang tersinggung dan biar proses pemilu terkesan berjalan serba damai.

Demi mendulang suara rakyat sebanyak mungkin, mereka bisa jadi akan memperlakukan kelompok minoritas sebagai warga negara yang seolah-olah penting bagi mereka meski hanya selama proses pemilu berlangsung.

Nah, ketika proses pemilu dan segala kontestasi politik sudah usai, selesai pula perlakuan yang terkesan merangkul itu. Ini juga bisa kita lihat dari revisi terbaru Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pola seperti ini terus berulang karena pemilu di Indonesia hanya berkutat pada kontestasi dan elektabilitas semata, termasuk di media.

Atas nama mengejar dan mengangkat dua hal tersebut, banyak dosa masa lalu para capres dan cawapres yang jadi terlupakan bahkan terhapus. Apalagi ada paradigma yang kuat bahwa semua orang harus memilih atas nama berkontribusi terhadap demokrasi dan perubahan sosial, politik dan ekonomi.

Di sisi lain, segala perubahan itu jelas tidak mungkin terwujud begitu saja hanya dalam kurun waktu enam bulan selama proses kampanye pemilu. Ini sebenarnya adalah proses lima tahunan di mana capres, cawapres dan partai-partai pendukung mereka seharusnya memberikan ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat yang suaranya kerap dibungkam untuk mendapatkan hak mereka.

Sayangnya, di Indonesia, politik high call alias tingkat tinggi, seperti investasi bisnis dan pembangunan infrastruktur, masih dianggap jauh lebih penting ketimbang politik low call atau tingkat bawah seperti pemenuhan hak minoritas. Terlebih, kelompok dan isu minoritas gender dan seksual di Indonesia selalu dikaitkan dengan isu moral dan agama, sehingga diskriminasi terhadap mereka dianggap sah-sah saja karena toh mereka dianggap sudah menyalahi moralitas dan norma agama yang berlaku.

Mengapa di Indonesia isu hak asasi manusia (HAM), termasuk isu minoritas gender dan seksual, terus dianggap kurang penting?

Dari tingkat sekolah, kita tidak diajarkan tentang HAM. Kita cenderung belajar sejarah umum saja, itu pun sejarah kelompok mayoritas, bukan kelompok minoritas. Sejak kecil, kita juga diajarkan bahwa siapa pun yang berbeda itu aneh dan harus dihindari ketimbang dilihat sebagai sesuatu yang unik dan patut memiliki ruangnya sendiri. Ini juga yang menyebabkan masih banyaknya debat tentang apakah kelompok minoritas gender pantas masuk kampus, misalnya.

Pun ketika ada diskusi, yang punya pendapat berbeda dari pandangan masyarakat umum akan dianggap salah atau jelek. Penyeragaman pemikiran di Indonesia semacam ini sudah terjadi sejak zaman Orde Baru.

Sementara di negara-negara lain, memiliki pendapat berbeda justru dianggap wajar sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi. Sayangnya, ini juga yang menciptakan pandangan bahwa HAM adalah produk Barat.

Buatku pribadi, aku cenderung melihat kualitas orang dari apakah dia berpihak pada kelompok minoritas gender dan seksual atau tidak. Aku yakin bahwa keberpihakan seorang ally (sekutu) berangkat dari pertarungan antara kepala dan batin, antara menepis tentangan norma agama dan masyarakat umum akan kelompok tersebut dan melihat mereka sebagai sesama manusia dengan keunikannya tersendiri.

Dalam konteks pemilu, ini menjadi lebih sulit lagi karena membuat kebijakan termasuk arena kontestasi. Ketika pasangan capres dan cawapres berusaha mendulang sebanyak mungkin suara rakyat, tentunya mereka tidak mau dianggap aneh atau berbeda, apalagi ditolak dan kehilangan dukungan publik, hanya karena mendukung minoritas gender dan seksual. Inilah yang membuat isu HAM jadi sulit untuk diperjuangkan di Indonesia. 

Bagaimana kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia harus menyikapi pemberitaan media yang berpotensi sarat bias di tahun yang akan datang?

Yang paling aku kagumi dari teman-teman minoritas gender dan seksual adalah cara mereka bertahan hidup dan meyakini bahwa keberlangsungan hidup yang selaras dengan jati diri mereka adalah sesuatu yang patut diperjuangkan. Tidak semua orang memiliki keberanian semacam itu.  Aku melihat kawan-kawan di Indonesia selalu bisa bersuara, meski mungkin tidak selalu berbarengan.

Usulku, adakan debat yang menyerupai debat capres-cawapres dengan membawa isu-isu yang kerap dihadapi kelompok minoritas. Pastikan debat ini diliput oleh media. Istilahnya, bikin panggung sendiri yang berbeda dari panggung politik arus utama.

Mungkin teman-teman dari lingkaran aktivis perempuan dan Komnas Perempuan bisa jadi moderator debat ini. Lewat cara ini, kita bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat secara kilat, seiring dengan proses kampanye pemilu. Seperti halnya strategi politik arus utama, kita harus memanfaatkan momentum dengan baik.

Cara lainnya, bisa juga membuat catatan visi dan misi kelompok minoritas gender dan seksual untuk Pemilu 2024 dan mengundang teman-teman media untuk meliput. Media pasti akan membawa topik ini ke para capres dan cawapres dan kemungkinan besar mereka semua akan memberikan jawaban diplomatis yang tidak jauh berbeda antara satu sama lain.

Dari situ, bisa langsung ditanyakan pada mereka, “apa komitmen Anda untuk lebih menghormati kelompok minoritas gender dan seksual?”. Atau kalau misalnya tidak langsung ke capres dan cawapres, bisa menjajaki tim sukses (timses) mereka masing-masing. 

Jangan lupa juga bahwa setelah pemilu akan ada pilkada, yang juga sangat penting untuk dikawal karena ada banyak peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Idealnya, ada tim khusus untuk melakukan ini dan pastikan untuk berkoalisi dengan media yang siap sedia meliput upaya-upaya perjuangan ini.

 

*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.