Search
Close this search box.

Lebaran dan Pemenuhan Hak Pekerja Ragam Gender & Seksual

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Hari raya Idul Fitri 1446 H/ 2025 M tinggal menghitung hari, itu berarti hak-hak pekerja seperti Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji ke-13 dan cuti lebaran menanti para pekerja. Namun, tidak semua tempat kerja memberikan hak-hak tersebut secara layak.

Pemotongan THR dan jatah cuti lebaran adalah kasus yang umum terjadi meskipun sudah ada sejumlah kebijakan pemerintah yang mengaturnya. Ketidakadilan dalam pemenuhan hak pekerja di musim lebaran jauh lebih terasa bagi para pekerja ragam gender & seksual yang lebih rentan menghadapi diskriminasi di tempat kerja, baik secara budaya maupun ekonomi.

Terkait hal itu, Suara Kita mengadakan riset kecil mengenai pemenuhan hak kerja kawan-kawan ragam gender & seksual menjelang lebaran. Hasil dari riset yang berjalan pada 21 Maret 2025 menunjukkan bahwa setidaknya ada 16 kawan ragam gender & seksual yang memiliki pengalaman berbeda terkait pemenuhan hak tersebut.

Akses dan kendala dalam pemenuhan hak lebaran
Kawan-kawan yang bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama di bidang pemberdayaan ragam gender & seksual serta HIV atau kesehatan cenderung mendapatkan hak lebaran seperti THR dan cuti lebaran walaupun ada juga yang belum sepenuhnya mendapatkan hak-hak tersebut.

Di lingkungan kerja LSM, pekerja yang mengalami hal seperti itu cenderung masih berstatus sukarela. Hal tersebut juga terjadi pada Jenny, seorang kawan transpuan. Meski begitu, Jenny berupaya untuk bernegosiasi dengan lembaganya agar mendapatkan tunjangan dalam bentuk lain.

“Sambil berupaya untuk meningkatkan penggalangan dana lembaga, saya komunikasi agar bisa dapat tunjangan walaupun kerja sukarela,” ucap Jenny pada riset tersebut.

Namun, bagaimana dengan pekerja lainnya di lingkungan kerja masyarakat umum? Azura, sosok non-biner yang bekerja di industri kreatif menerima THR dan cuti lebaran sesuai dengan kebijakan tempat kerja. Lingkungan kerjanya yang cukup inklusif memberikan rasa percaya diri untuk bisa bertanya tentang tanggal cair THR dan pemotongan pajaknya.

Hal ini berbeda dengan Huno, sosok lesbian yang bekerja sebagai ilustrator lepas. Seperti pekerja lepas lainnya di Indonesia, ia tidak memiliki akses untuk THR maupun cuti sehingga harus menyesuaikan waktu kerja dengan musim libur panjang lebaran.

Pentingnya bernegosiasi tentang pemenuhan hak lebaran
Dari para partisipan riset sebelumnya, terdapat pola yang menunjukkan bahwa berdiskusi tentang hak lebaran dengan tempat bekerja sangatlah penting. Dengan begitu, pihak pemberi kerja dapat memberikan tunjangan dalam bentuk lain ataupun pada waktu yang lain walaupun tidak semua pekerja mendapat hak lebaran yang sama.

Contohnya Pudji, seorang pekerja biseksual di sektor pendidikan yang mendapatkan cuti lebaran walaupun tanpa THR. Hal ini dikarenakan tunjangan lebaran miliknya akan cair pada bulan Desember, saat hari Natal.

Terkait hal tersebut, Pudji menjelaskan dalam riset ini, “Saya dan pemberi kerja sudah bicara tentang THR saat dulu wawancara kerja tentang kapan saya bisa mendapatkannya.”

Akan tetapi, tidak semua pekerja ragam gender & seksual memiliki kesempatan untuk bernegosiasi dengan lingkungan kerja mereka terkait hak-hak lebaran. Dalam hal ini, status pekerjaan yang masih baru dan/atau belum permanen kerap menjadi penghalang.

Retsu, seorang transman yang bekerja sebagai konsultan hanya mendapat jatah cuti lebaran tanpa THR karena statusnya yang masih bekerja tanpa kontrak kerja meski sudah bekerja cukup lama.

“Saya belum jadi staf tetap. Jadi, belum dapat hak yang setara dengan pegawai tetap lainnya. Memang lembaga sudah memberitahukan itu sebelumnya, tetapi tetap saja saya ingin diangkat menjadi pegawai tetap,” kisah Retsu pada riset ini.

Sementara itu, sosok transman lainnya bernama Mercc yang baru bekerja selama satu bulan lebih di industri hiburan. Ia hanya mendapatkan cuti lebaran selama tiga hari dan belum mendapat kepastian terkait jatah THR.

Mercc bercerita pada riset ini, “Tempat kerja saat ini menerima identitas saya. Walau begitu, karena saya baru kerja satu bulan di sini, saya tidak berani tanya dan saat ini hanya bisa diam.”

Kisah-kisah tadi merupakan contoh kurangnya penegakan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait hak-hak pekerja saat lebaran di lingkungan kerja, yaitu Peraturan Pemerintah No. 36/2021, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6/2016, dan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Tahun 2024 Tentang THR yang telah mengatur kebijakan tentang pemberian THR.

Pasalnya, seorang pekerja yang sudah bekerja setidaknya selama 1 bulan berhak mendapatkan THR sesuai dengan masa kerjanya. Umumnya, perhitungan THR terdiri dari:

(masa kerja/12) x satu (1) bulan upah

Selain itu, pekerja dengan perjanjian kerja lepas harian berhak juga mendapat jatah THR. Dari kebijakan-kebijakan yang berlaku, perhitungan THR untuk pekerja lepas adalah nilai rata-rata dari gaji yang mereka terima setiap bulannya, baik itu pekerja lepas yang bekerja selama kurang ataupun lebih dari 12 bulan.

Mendorong pemenuhan hak pekerja ragam gender & seksual
Hasil riset ini adalah contoh kecil dari banyaknya pekerja ragam gender & seksual lainnya di luar sana. Tentunya, tidak sedikit dari mereka yang belum mendapatkan hak-hak lebaran layaknya para pekerja secara umum karena identitas SOGIESC (orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks) mereka.

Oleh karena itu, penting sekali bagi kawan-kawan ragam gender & seksual maupun sekutu untuk terus mengadvokasikan pemenuhan hak-hak pekerja ragam secara adil dan inklusif. Bila hal tersebut dapat tercapai, para pemberi kerja dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya dan membangun lingkungan yang sehat dan bermanfaat bagi semua pihak.

Terakhir dari penulis,

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H/ 2025 M.

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ