Oleh: Hartoyo
SuaraKita.org – Kamala Harris, wakil Presiden terpilih Amerika menjadi “sorotan” dunia. Tentu, karena beliau sekarang punya posisi politis yang sangat elit di negara besar seperti Amerika. Wakil Presiden Amerika untuk empat tahun kedepan.
Tentunya bukan karena Amerikanya saja, tapi sosok identitas Kamala Harris sendiri: perempuan, ras keturunan Afrika dan India dengan khas kulitnya berwarna cenderung hitam. Kamala Harris wakil Presiden pertama perempuan di Amerika Serikat dan berasal dari keturunan ras Asia dan Afrika.
Kesannya, orang bertanya, terus apa istimewanya sosok Kamala Harris bagi kita dan warga dunia ?
Bagi yang cukup memahami akar penindasan dan diskriminasi berbasis gender, ras atau identitas lain dipastikan akan memaknai Kamala Harris sebagai “simbol kemenangan” perjuangan kesetaraan.
Kita bisa mundur dan refleksi lagi bagaimana situasi perempuan di dunia termasuk di Indonesia. Situasi perempuan sekarang ini masih harus bertarung dengan kekerasan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan baik dalam sosial, ekonomi maupun politik.
Di Indonesia sendiri perjuangan kesetaraan bagi perempuan dan lelaki masih terhambat pada kebijakan, tafsir agama, nilai sosial, maupun nilai budaya.
Menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam UU Pernikahan satu kebijakan nyata peminggiran perempuan/subordinat. Seolah-olah perempuan tidak punya kemampuan memimpin.
Padahal kenyataannya justru perempuan sebagai pencari utama pendapatan keluarga. Perempuanlah yang paling bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga, anak, tetapi masih harus mencari uang “tambahan” bagi kebutuhan keluarga.
Sosok Kamala Harris dapat menghancurkan stigma dan peminggiran, bahwa perempuan kerja utamanya urusan dapur, kasur dan sumur sesuai amanat UU Perkawinan.
Tapi Kamala Harris membuktikan hal yang lain, bahkan masuk ke dunia politik yang selama ini dilihat sebagai dunia lelaki Di Indonesia bisa lihat sosok Megawati, berhasil memimpin partai terbesar, PDIP.
Walau pada sisi lain di Indonesia, urusan pemimpin perempuan di politik, muncul perdebatan apakah perempuan boleh jadi Presiden dalam pandangan Islam?
Isu itu akan terus muncul sampai sekarang jika ada calon Presiden perempuan. Seberapa cerdas ataupun mampu seorang perempuan.
Belum lagi soal rasnya, Kamala Harris jelas bukan ras “asli” Amerika. Apalagi diidentikan dengan ras kulit hitam. Kita tahu bagaimana rasisme di Amerika sampai sekarang masih sangat kuat.
Amerika punya sejarah perbudakan yang menempatkan ras kulit hitam sebagai warga kelas dua. Bahkan ras kulit hitam bisa diperjualbelikan pada sejarah Amerika. Kisah-kisah perbudakan di Amerika banyak digambarkan dalam film-film maupun buku yang bisa kita lihat sekarang.
Dan hari ini Kamala Harris, sebagai perempuan dan ras kulit hitam-Asia mampu menjadi pemimpin Amerika. Walau sebelumnya Presiden Barack Obama telah memulainya.
Bagaimana di Indonesia? Kita mungkin berpikir bahwa isu diskriminasi ras tidak begitu terlihat. Apakah benar asumsi itu?
Mari kita lihat, kasus Ahok calon gubernur DKI hanya karena ras Tionghoa, dan Kristen identitas itu terus dipakai untuk menjatuhkannya. Publik diprovokasi bahwa pemimpin yang baik itu adalah yang seiman atau satu ras.
Situasi itu sampai sekarang masih kuat diyakini masyarakat Indonesia, di wilayah manapun. Masyarakat masih melihat agama, suku calon pemimpin, semakin sama dengan agama mayoritas maka akan semakin potensial menang.
Bahkan kalau tidak salah, UUD 45 sebelum amandemen ada satu pasal yang menyebutkan bahwa Presiden Indonesia adalah orang Indonesia “asli”. Walau sampai sekarang saya masih bingung, siapa itu orang Indonesia asli? Mana yang asli dan mana yang bukan asli?
Maka, di Indonesia untuk sekarang ini jangan berharap seorang non muslim, misalnya seorang penganut Kristen, Katolik, Hindu, Budha, aliran kepercayaan bermimpi menjadi Presiden Indonesia. Apalagi kalau berjenis kelaminnya perempuan dan lesbian. Dipastikan tidak akan terpilih untuk politik Indonesia sampai 50 atau mungkin 100 tahun ke depan.
Beritahulah pada anak Anda, generasi muda, jika punya keinginan menjadi Presiden Indonesia, namun Anda bukan seorang muslim dan homoseksual, maka kuburlah dalam-dalam keinginan itu.
Kembali lagi pada sosok Kamala Harris, beliau selain perempuan, ras Afrika-Amerika, India-Amerika, dibesarkan oleh ibu tunggal, juga aktivitasnya pendukung/pembela hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender di Amerika.
Ada identitas yang marginal pada diri Kamala Harris tapi pengalaman hidupnya justru membuatnya empati pada penindasan kelompok lain, dalam hal kelompok LGBT.
Kita tahu, isu LGBT masih menjadi isu kontroversi di seluruh dunia. Walau Amerika dan beberapa negara di dunia telah melegalkan pernikahan sejenis tetapi publik mayoritas masyarakat dunia masih menolak kesetaraan bagi kelompok LGBT.
Apalagi di Indonesia, kelompok LGBT bukan hanya diserang tetapi juga dipakai/dipolitisi untuk kepentingan politik tertentu oleh kelompok manapun, mau yang katanya nasionalis maupun konservatif.
Di Indonesia sangat kecil bahkan sangat sulit ditemukan politisi secara terbuka dan cukup percaya diri menyatakan dukungan ke publik terhadap kelompok LGBT. Walau secara personal politisi tersebut mendukung hak LGBT.
Kamala Harris, memberikan gambaran lain. Dia cukup sangat meyakinkan atas putusan politiknya terhadap LGBT. Pengalaman hidupnya sebagai perempuan, ras Asia-Afrika, dibesarkan oleh ibu tunggal, sejak kecil dikenalkan di dunia aktivisme, seperti menempa sensitifitasnya pembelaan pada mereka yang terpinggirkan.
Atas identitas dan kesejarahan hidup dari sosok Kamala Harris inilah, publik akan banyak belajar dan melihat bagaimana diskriminasi atas nama identitas, gender benar terjadi.
Maka terpilihnya Kamala Harris sebagai wakil Presiden Amerika bukan hanya kemenangan rakyat Amerika. Tetapi berpotensi akan menjadi contoh, atau simbol perjuangan kesetaraan di dunia pada isu apapun, terutama isu-isu yang dipinggirkan seperti LGBT.
Indonesia sebagai bangsa membutuhkan kehadiran sosok pemimpin yang kuat, berani percaya diri dan berintegritas pada nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi berasal dari komunitas yang termarginalkan, seperti sosok Kamala Harris.
Saya sendiri tidak tahu, kapan saat itu bisa terwujud di Indonesia, jika situasi politiknya seperti sekarang ini. Semua hal ditarik dan dipolitisir atas nama moral subjektif tafsir agama yang diyakini warga mayoritas.