Suarakita.org-
Ringkasan Film Dokumenter : Das Herz Von Jenin
Film dokumenter ini diputar di pusat kebudayaan Jerman, Goethe Institut, 5 Oktober 2010 yang lalu. Film ini bercerita tentang seorang anak Palestina yang bernama Ahmed yang mati tertembak oleh tentara Israel tahun 2005, dibagian kepala anak itu. Ahmed tinggal dikamp pengungsian wilayah Jenin bersama kedua orangtuanya dan ke-4 saudaranya. Peluru itu mengenai kepala Ahmed ketika dia sedang bermain tembak-tembakan dengan temannya. Ahmed adalah anak laki-laki berumur 12 tahun. Setelah itu, Ahmed dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan di salah satu rumah sakit di Israel. Dokter yang membantunya adalah seorang seorang Kristiani Israel. Tapi akhirnya Ahmed tidak bisa tertolong dan harus menghembuskan napas terakhirnya.
Saat bersamaan dirumah sakit itu dimana Ahmed dirawat ada banyak anak-anak Israel yang sedang dirawat karena berbagai persoalan kesehatan. Kemudian dokter itu meyampaikan kepada orang tua Ahmed, Ismael Khatib bahwa anak-anak Israel ini membutuhkan donor tubuh dari pihak lain. Kemudian dokter menanyakan apakah organ tubuh Ahmed dapat disumbangkan untuk anak-anak Israel yang membutuhkan itu? Kemudian Ismael Khatib konsultasi dengan istrinya dan beberapa rekan serta ulama di Palestina. Terjadi pro dan kontra atas rencana donor organ tubuh itu. Keluarga Ahmed adalah seorang muslim yang taat. Akhirnya Islmael Khatib dan istrinya memutuskan akan mendonorkan organ tubuh Ahmed yang sudah meninggal itu kepada anak-anak Israel. Ismael menegaskan bahwa ini persoalan pribadi keluarga kami dan kami ingin agar Ahmed bisa berguna untuk orang lain, lebih kurang begitu.
Ada 5 orang anak Israel yang mendapatkan bantuan dari organ tubuh Ahmed. Sayangnya 1 orang anak meninggal setelah mendapatkan bantuan organ tubuh Ahmed. Sedangkan 4 anak lainnya selamat. Anak-anak yang mendapatkan organ tubuh Ahmded berasal dari keluarga Jahudi dan muslim yang tinggal di Israel. Berita donor itupun menjadi berita besar di Israel dan Palestina, banyak media yang menuliskan peristiwa itu.
Selang dua tahun setelah peristiwa itu, Ismael Khatib ingin menemui anak-anak yang telah mendapatkan donor organ tubuh Ahmed anaknya. Dari 4 anak yang selamat, hanya 3 anak yang mau dipublikasikan dan ditampilkan dalam film dokumenter itu. Dua orang dari keluarga Jahudi dan 1 orang dari keluarga muslim yang tinggal di Israel (daerah terpencil). Proses ingin bertemu yang akan dilakukan oleh Ismael Khatib begitu ribet dan sulitnya bertemu dengan anak-anak yang dibantunya. Dari mulai pos penjagaan diperbatasan Israel-Palestina yang sangat ketat sekali, bahkan sampai keluarga Ahmed ditolak untuk menemui keluarga anak-anak tersebut.
Sebelum Ismael ketemu dengan anak-anak yang menerima organ anaknya, ada wawancara yang dilakukan oleh kedua orang tua Ahmed. Lebih kurang pertanyaannya adalah, apakah ibu dan bapak tahu organ anak bapak/ibu diserahkan kepada siapa saja? Apakah ada masalah kalau yang menerimanya adalah anak dari keluarga Jahudi? Ibu Ahmed yang mengenakan jilbab sambil menangis menjawab, bahwa saya memberikan organ anak saya kepada orang lain, bukan karena mereka Jahudi, Kristen ataupun Muslim. Tapi karena anak-anak itu adalah manusia. Begitu juga sebaliknya ditanyakan kepada keluarga anak-anak yang menerima organ dari Ahmed, pertanyaan adalah apakah bapak/ibu tahu dari mana organ yang diterima anak bapak/ibu tersebut? Bagaimana kalau yang mendonorkannya berasal dari keluarga Arab (muslim)? Salah satu keluarga Jahudi yang sangat patuh beragama sangat marah dan benci sekali dengan Arab. Bahkan dalam wawancara itu disampaikan kalau sekedar bertemu tidak masalah,sebagai ucapan terima kasih. Tapi kalau anak-anak saya bermain dengan Arab kami tidak akan izinkan. Orang Arab sangat benci kepada Jahudi. Begitulah kira-kira tanggapan salah satu keluarga yang menerima donor organ tubuh Ahmed yang berasal dari keluarga Jahudi.
Tapi satu keluarga Jahudi yang lainnya sangat baik sekali menerima orang tua Ahmed. Bahkan memberikan bantuan perangkat sekolah bagi anak-anak Palestina. Pasca kematian anaknya, Ismael mendirikan taman bermain bagi anak-anak Palestina untuk mengembangkan pendidikan perdamaian. Program itu didukung oleh lembaga kemanusiaan dari Italy. Programnya melalui seni dan budaya untuk mengajarkan anak-anak cinta perdamaian. Jumlah anak-anak yang tergabung dalam kegiatan itu sebanyak 200 anak Palestina, laki-laki dan perempuan. Taman bermain itulah yang mendapatkan bantuan dari salah seorang keluarga Jahudi yang telah menerima donor organ tubuh Ahmed. Sikap keluarga Jahudi ini sangat berbeda sekali dengan sikap keluarga Jahudi yang juga mendapatkan organ tubuh Ahmed. Ahmed.
Film dokumenter itu semakin kuat saat Ismael bertemu dengan anak-anak yang telah mendapatkan organ tubuh anaknya. Ismael seperti merasakan Ahmed tetap hidup dan menjadi bagian dalam diri anak-anak tersebut. Misalnya ketika bertemu ketiga anak Israel itu, Ismael selalu meyentuh tangan dan rambutnya dengan kelembutan. Bahkan ada adegan meyuapin salah seorang anak tersebut, tidur bersama. Jelas sekali raut wajah Ismael yang begitu haru dan bangga melihat kondisi anak-anak itu yang semakin membaik. Saat itulah menjadi kekuatan adegan dalam film dokumenter itu. Begitu natural. Minimal pada saat adegan itu, membuat saya berpikir bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak pernah melihat latar belakang seseorang. Apapun suku, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender, ras, status sosial. Kalau dia manusia maka kita wajib membantunya. Padahal dalam ajaran agama sendiri, jangankan manusia, tumbuhan dan hewan saja diperintahkan untuk disayangi.
Film yang diberi judul Das Herz Von Jenin karya Leon Geller dan Marcus Vetter (Jerman) durasi 89 menit tahun 2008, menjadi sangat layak untuk ditonton bersama. Minimal pengalaman hidup seorang anak yang bernama Ahmed dan kedua orang tua dapat menjadi inspirasi bagi setiap orang untuk belajar, apa itu makna kemanusiaan.
Penulis: Hartoyo
Mampang, 10 Oktober 2010