Search
Close this search box.

[Opini] Memahami LGBT dalam Berbagai Aspek

Oleh: Oriel Calosa

Suarakita.org – Malam, tanggal 31 Maret 2016 diadakan diskusi mengenai LGBT dari berbagai aspek yang diadakan di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dari Lembaga Pers Mahasiswa Justisia, pembahasan pertama tentang LGBT yang disampaikan oleh Oriel Calosa mengenai pemahaman Gender dan Seksualitas sekaligus membedah perspektif baru mengenai seksualitas manusisa yang beragam.

Fokus pembicaraan kita hari ini adalah tentang Lesbian, gay, biseksual,  dan transgender (LGBT). Kelompok ini dianggap aneh bahkan dicap sebagai orang yang berdosa, baik oleh agama maupun masyarakat, karena kebanyakan kita memandang manusia hanya terdiri dari dua kelompok:  laki-laki atau perempuan. Lalu dibuatlah batasan batasan tegas tentang kriteria laki-laki dan perempuan. Dimana Seorang laki-laki, secara biologis tentu memiliki alat kelamin pria, tampil maskulin (macho),memandang dirinya sebagai lelaki (jantan), dan tertarik kepada perempuan,  supaya kelak bisa menikah dan memiliki keturunan. Dan Seorang perempuan,  secara biologis memiliki alat kelamin wanita, tampil feminin, memandang dirinya sebagai perempuan, dan tertarik kepada lelaki.

Cara pandang semacam ini disebut pola biner atau pola dua kutub (binary concept; gender binary).  Pokoknya manusia cuma terdiri dari lelaki sejati dan perempuan sejati. Hitam dan putih. Manusia yang tidak memenuhi kedua kriteria ini dipandang tidak normal, berdosa karena melawan takdir, dan harus bertobat.

Bukankah Tuhan hanya menciptakan lelaki dan perempuan(?). Pola bipolar  telah menjadi konsensus di tengah masyarakat tradisional, sehingga mereka menolak atau mengabaikan orang-orang yang ada di luar kotak bipolar tadi. Mereka yang diluar kotak ini adalah kelompok minoritas gender.

Benarkah tidak ada diversitas/keberagaman gender pada manusia? Dalam lima puluh tahun terakhir,  muncul berbagai upaya untuk meneliti lebih dalam gender dan seksualitas manusia dalam bidang psikologi,  psikoanalisis, antropologi, studi gender, filsafat, dan teologi. Bahkan analisis penelitian sudah meluas tentang sejarah, arkheologi, budaya, antropologi, sosiologis, ekonomi, ataupun kajian pergerakan politik.

Materi kedua disampaikan oleh Ibu Khofifah mengenai Feminisme dan LGBT yang dibahas mengenai tiga kelompok besar feminisme yang berkembang di dunia dan bagaimana peran mereka terhadap perkembangan pergerakan LGBT di dunia mengenai kesetaraan dan keberagaman seksualitas.

Materi terakhir diberikan oleh Khairul Anwar mengenai LGBT dalam kacamata Ushul Fikih bagaimana fikih Islam membahas mengenai LGBT dan kitab-kitab salaf membahas mengenai LGBT yang dibahasakan sebagai kitab-kitab yang terkait dengan perbuatan ”Apa yang akan dilakukan”

Menurut Anwar, mencoba membuka-buka literatur fikih klasik, dan mencari-cari apa hukum homoseksualitas. Hal pertama yang hendak kutahu tentu saja apa istilah yang persis ekuivalen dalam fikih klasik dengan makna yang diacu oleh kata “homoseksualitas”. “Subhanallah, sampai sekarang belum ketemu (atau jangan-jangan malah tidak ada) istilah homoseksualitas di fikih klasik” Ungkap Anwar. Istilah bahasa Arab-modern untuk homoseksualitas adalah “al-jinsiyyah al-mitsliyyah”; untuk gay: “mitsliy”; untuk lesbian: “mitsliyyah”; untuk biseksual: “muzdawij”; untuk transgender: “mughayir”. Belum ditemukan istilah-istilah semacam ini di fikih klasik. Bahkan istilah heteroseksualitas sendiri, yang bahasa Arab modernnya adalah “al-jinsiyyah al-ghayriyyah”, juga tak ditemukan secara persis dan literal di fikih klasik.

Lebih lanjur Anwar menjelaskan bahwa Fatwa-fatwa modern berupaya mencari padanannya dengan istilah yang sudah ada di fikih klasik, yang sebenarnya tidak ekuivalen dan karena itu problematis, yaitu “liwath” (yang diderivasi dari nama “Luth”); dan homoseks kadang disebut dengan istilah peyoratif“luthiy”. Barangkali karena inilah, di pikiran banyak Muslim, begitu terdengar kata homoseksualitas, yang terbenak pertama kali adalah bayangan menjijikkan tentang sodomi atau anal sex,dan sejenak lupa bahwa homo bukan hanya gay tapi juga lesbian.

Homoseksualitas dengan liwath tentu saja bukan padanan yang tepat, dan karena itu problematis. Definisi liwath dalam fikih klasik adalah “ityan ad-dzakar fid-dubur” atau memasukkan penis ke dalam lubang dubur, alias anal sex. Ada istilah yang mengarah pada lesbianisme, yaitu “sihaq”, tapi definisinya ambigu, yaitu “fi’lun-nisa’i ba’dhuhunna biba’dhin” (terjemah literal: perbuatan perempuan dengan perempuan), tanpa ada spesifikasi mendetil apa yang dimaksud “perbuatan” di situ. Makna leksikal dari sihaq adalah “ad-dalk” atau memijit-meremas (massage), entah persisnya meremas bagian mana.

Apa hukuman liwath dalam fikih klasik? Menurut mayoritas para faqih klasik: hukuman mati, dan sama statusnya dengan zina. Menurut mazhab Hanafi, bukan zina, dan tidak dihukum mati, tapi tetap berdosa dan harus dihukum ta’zir. Bukan zina karena, menurut mazhab Hanafi, tidak ada penetrasi penis ke vagina dan tidak memungkinkan pembuahan dan menghasilan keturunan—salah satu maqashid atau tujuan syariat pengharaman zina adalah untuk menjaga keturunan (hifzhun-nasl). Mengikuti epistemologi mazhab Hanafi, hadis yang menerangkan hukuman mati untuk tindakan liwath itu hadis ahad, dan hadis ahad tidak bisa jadi landasan untuk hukuman sekeras hukuman mati. Ini terasa kejam? Sekilas ya, tapi pada level praksis sebenarnya prosedur untuk membuktikan zina atau liwath sulit terpenuhi, yaitu adanya empat saksi yang melihat secara ‘live’ masuknya penis ke dalam vagina/dubur. Karena hukumannya keras, orang yang menuduh orang lain telah berzina/berliwath (istilah teknis untuk menuduh zina: “qadzaf”) hukumannya juga keras, yaitu 80 cambukan. Lebih detil soal ini, juga relevansi dan kontekstualisasinya untuk zaman ini, perlu pembahasan lain yang lebih panjang. Tapi Karena sulitnya prosedur pembuktian zina/liwath ini, amat sangat jarang sekali hukuman cambuk/rajam terjadi.

Membedakan homoseksualitas dari anal sex itu penting, karena keduanya memang tidak identik. Status ontologis dari yang pertama adalah orientasi seksual; sedang yang kedua adalah tindakan seksual. Ini sama dengan heteroseksualitas dan zina; yang pertama adalah orientasi seksual, sedangkan yang kedua—bila ia dimaksudkan dalam pengertian fikih yang ada hukuman hadd-nya—adalah tindakan memasukkan penis (lebih persisnya: sampai hilang hasyafah atau ‘helm’-nya) ke vagina perempuan di luar ikatan pernikahan atau perbudakan. Di samping itu, anal sex bisa dilakukan bukan hanya oleh homo tapi juga hetero; jadi homo tidak niscaya identik dengan anal sex. Lebih jauh, tindakan adalah sebuah pilihan, sementara orientasi seksual… well, soal ini aku tak tahu persis apakah ia muncul begitu saja seperti perasaan jatuh-bangun cinta atau merupakan pilihan.

Pada dasarnya yang menjadi wilayah hukum-fikih adalah tindakan. Dalam pelajaran mula ushulul-fiqh biasanya diterangkan bahwa domain fikih (maudhu’ al-fiqh) adalah “af’al al-mukallafin” atau tindakan orang-orang mukallaf (orang yang baligh dan berakal). Lebih persis lagi, tindakan yang dilakukan itu adalah yang berdasarkan kesadaran, pilihan (ikhtiyari), dan tidak terpaksa (ghayru mukrah). Ini sebenarnya sama belaka dengan dasar filsafat etika: perbuatan yang bisa dimintai pertanggungjawaban dan bisa dihakimi ethical/unethical adalah perbutan yang dilakukan secara sadar dan merupakan pilihan atau tidak terpaksa.

Sejauh yang kutahu, fikih tidak (atau belum?) mengatur orientasi seksual. Yang diatur adalah manifestasi tindakan dari orientasi seksual itu. Kalaupun ada hal batin yang diurus fikih (misalnya, “niat”), itu untuk menentukan apakah suatu perbuatan adalah ritual atau bukan; bernilai ibadah atau tidak—selain bahwa niat juga merupakan tindakan-batin yang bersifat pilihan. Ditambah lagi bila menyebut homoseksualitas sebagai penyakit, ini semakin jauh dari domain fikih. Per definisi, penyakit tidak bisa dihukumi halal-haram. Tidak bisa dikatakan, misalnya, pusing, lumpuh, epilepsi, autis, atau gila adalah haram. Apa hukumnya penyakit? Ya disembuhkan—ini tentu kalau ada obatnya dan bisa disembuhkan. Menyatakan penyakit itu haram adalah sama dengan keluar dari domain fikih, kalau bukan malah berarti mengagresi wilayah yang menjadi otoritas disiplin ilmu lain.