Search
Close this search box.

[Resensi] Rima-Rima Tiga Jiwa: Dendang Tiga Jiwa Yang Terbuang

Oleh: Muhammad Muslich*

Suarakita.org – Pada mulanya adalah seorang waria yang mencurahkan isi hatinya pada buku harian warna merah hati yang lama tak tersentuh dan terselip rapi di barisan buku koleksinya. Rasa sedih dan perasaan yang perih membuat ia meraih buku harian itu demi menuliskan keadaan hatinya yang sedang hancur. Ia membutuhkan tempat berbagi dan mencatat pengakuan-pengakuan kekasihnya yang kini tak lagi tinggal bersamanya.

Adalah Silvy, seorang waria bernama asli Sagino yang sedang remuk-redam hatinya mendapati kenyataan bahwa kekasih yang lama menemaninya kini memilih hidup dengan seorang perempuan. Ingatannya melayang pada awal kejadian yang mempertemukannya dengan Susanto, kekasihnya. Mereka bertemu sepuluh tahun, lalu ketika Silvy sedang duduk-duduk di motornya di bawah pohon yang basah sambil menunggu seorang yang datang menghampirinya dan membayarnya untuk mencari kesenangan dan kenikmatan. Sesosok lelaki muncul dari sudut gelap jalanan yang sepi, seorang pemuda berparas rupawan berumur belasan tahun dan tampak gelisah dan murung. Setelah Silvy mengajak pemuda itu berbicara dan pulang ke rumahnya, akhirnya mereka menjalani sepuluh tahun hidup sebagai pasangan homo yang bahagia.

Namun setelah kebahagian demi kebahagian yang telah dilewati bersama, setelah lahirnya komitmen untuk hidup bersama sampai ajal memisahkan mereka, tangan takdir justru menarik Susanto jatuh pada pelukan perempuan penyanyi malam yang suka menghabiskan waktu luang dengan membaca di perpustakaan. Susanto memberanikan diri berbicara jujur kepada Silvy tentang perasaannya terhadap wanita ini. Rasa sakit hati dan kecewa terhadap kekasihnya melumpuhkan Silvy. Segala yang telah diberikan pada Susanto tak mampu membuat lelaki muda itu tegar dari godaan untuk menjalin cinta dengan perempuan.

12821336_10206610442274673_8820588774503444535_nApa yang menjadi ketakutan Silvy terjadi juga, perempuan yang Susanto sayangi itu akhirnya mengkhianati cintanya setelah tak betah hidup menderita dengan seorang tanpa penghasilan, perempuan itu bermain serong dengan laki-laki lain, seorang supir truk gendut, hitam dan berkumis tebal yang membuat hatinya hancur lebur. Pengkhianatan itu membuat Susanto memutuskan kembali kepada Silvy.

Perempuan kedua yang kembali menyakiti perasaan Silvy adalah Rima, seorang PSK setengah baya beranak tiga hasil ciptaan para lelaki hidung belang yang pernah menikmati lubang di antara selangkangannya itu. Sakit hati Silvy bertambah ketika melihat wujud dari Rima yangternyata jauh lebih tua dibanding dirinya, berperawakan gempal dan berperut buncit. Ia menyaksikan Rima ketika Susanto mengajaknya bertemu di sebuah Cafe, tentu setelah Susanto menjelaskan maksudnya kepada Silvy untuk hidup bersama wanita yang telah lama menjadi langganannya di sebuah tempat prostitusi.

Bukan perkara mudah bagi Silvy yang di sakiti dan dikecewakan dua kali oleh sang kekasih yang telah hidup lama bersamanya itu. Rasa sayangnya terhadap Susanto yang melebihi rasa cintanya terhadap apapun itu membuat Silvy sulit untuk melepaskan Susanto. Namun ia sadar bahwa kekasihnya itu adalah seorang laki-laki yang normal jika ia menaruh hati pada perempuan pujaannya.

Ia pun menyadari bahwa dirinya adalah seorang waria yang tak akan bisa hidup berdampingan terus menerus dengan hanya satu orang yang ia sayangi. Dan karena rasa sayangnya terhadap kekasihnya itu ia coba untuk memahami jalan  hidup yang telah dipilih oleh susanto. Namun apapun yang terjadi, walau sering dikecewakan dan disakiti, dan seberbeda apapun pilihan hidup yang dipilih oleh kekasihnya, rasa cintanya kepada Susanto tak pernah luntur. Dengan penuh kebesaran hati ia masih membuka pintu rumah selebar-lebarnya untuk kekasihnya itu sewaktu-waktu kapanpun ia ingin kembali.

Selain berkisah tentang kisah cinta yang sangat rumit, novel ini juga ingin mengajak pembacanya menyusuri lorong-lorong kehidupan yang gelap dan becek dari para tokoh di dalam cerita ini, menyelami kehidupan mereka yang sering sekali menemui persoalan dalam hidup, mulai dari penyingkiran yang dilakukan oleh keluarga, penghinaan terhadap pilihan hidup sampai hasrat seksual yang membingungkan tokohnya sendiri. Di bawah bayang-bayang jalan hidup yang begitu tragis tersebut, mereka terus mencari akar persoalan mereka dan jalan keluar dari persoalan tersebut sembari bertahan terhadap penghinaan dan cap negatif yang selalu mereka sandang. Mereka tahu bahwa dalam kehidupan yang liar tersebut bahkan kebaikan yang mereka lakukan  tak akan dianggap oleh kebanyakan orang.

Novel ini mengajak kita untuk memahami kesulitan-kesulitan yang sering dihadapi oleh kelompok marginal, mereka yang sering tersingkir dari kehidupan, mereka yang sering di kambing-hitamkan dan selalu dipandang hina tanpa tahu apa yang sedang mereka hadapi dalam kehidupannya. Pembaca akan di suguhi cerita-cerita pilu para tokohnya, bagaimana seorang di singkirkan dalam keluarganya sehingga menjadi gelandangan kota dan menjadi homo karena tuntutan hidup, bagaimana seorang anak gelandangan yang polos menjadi korban sodomi sehingga ia menjadi waria pada masa dewasanya, seorang wanita setengah baya yang menjalani hidupnya menjadi penjaja kenikmatan nafsu demi menghidupi ketiga anak dan ibunya yang renta, dan masih banyak lagi cerita yang mampu menyayat hati pembaca bila terus menelusuri barisan kalimat demi kalimat dibuku ini.

Novel ini sejatinya tidak hanya berbicara soal cinta yang berujung ranjang, namun juga dipenuhi kritik sosial yang hadir secara wajar. Kita akan di kagetkan dengan kenyataan yang terjadi dalam dunia malam, tragedi-tragedi dan humor hitamnya, pendeknya dinarasikannya dunia yang jarang sekali digambarkan dengan jernih oleh kebanyakan penulis cerita di negeri ini yang berjarak dengan subyek-subyek dan peristiwa yang mereka narasikan. Kita akan tahu bagaimana para aparat negara yang sejatinya melindungi rakyat malah menjadi benalu bagi warganya yang justru dipandang hina dalam hal pekerjaan ini. Kita juga akan dikagetkan oleh kelakuan para penegak moral yang seringkali garang di tengah keramaian namun munafik ketika dalam tirai.

Gaya penulisan dalam novel ini juga menjadi daya tarik tersendiri, bagaimana semua tokohnya diceritakan seluruh latar belakangnya, “Aku Seorang Waria (Bab 2), Aku Seorang Lelaki (Bab 3), Aku Adalah Rima (Bab 5), dan seterusnya. Lewat strategi penulisan cerita seperti itu pembaca akan mengetahui seluruh duduk persoalan yang menimpa para tokoh yang ada. Dengan demikian pembaca dapat berfikir jernih siapa sebenarnya yang salah, siapa yang patut dipersalahkan, atau bahkan dimana posisi masing-masing tokoh dalam tegangan benar-salah yang disuguhkan penulisnya.

Novel ini sangat cocok bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan tak bersikap apriori pada dunia yang sangat jarang di sentuh atau lorong-lorong kehidupan yang gelap dan pengap. Bak sebuah tutup saluran air (comberan) tak semua orang mempedulikan dan mau membukanya, bahkan semua orang akan ramai-ramai mengutukinya karena bau yang tak tertahankan itu. Namun terkadang manusia lupa, justru dari situlah kita akan tahu sumber dari ketimpangan, ketidakadilan, diskriminasi, fitnah dan segala sember keburukan yang selalu dialamatkan pada dunia gelap ini.

Membaca Rima-Rima Tiga Jiwa akan membuat kita tersentak begitu mendapati kisah-kisah yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tak jarang pembaca secara tidak sadar akan mendapati cairan hangat dari ujung kelopak mata karena ikut larut dalam kesedihan tokoh yang di ceritakan dalam novel ini. Pada akhirnya pembaca akan mampu memahami bagaimana kerasnya kehidupan yang para tokoh alami. Dan akan memahami “jalan hidup macam apa yang menimpa mereka?”

 

Keterangan Buku:

Judul buku                : Rima-Rima Tiga Jiwa
Pengarang                 : Akasa Dwipa
Editor                         : Dwicipta
Penerbit                    : Literasi Press
Cetakan pertama     : Maret 2016.
Harga                         : Rp. 65.000,00 (IDR)

 

Buku ini bisa dibeli di:

FB : Pustaka Pelangi

 

*Penulis adalah pengelola blog www.pojokkantin.blogspot.com. Aktif di Gerakan Literasi Indonesia. Saat ini masih menjalani studi di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.