Oleh: Bhadrika Dirgantara
Abstrak
Suarakita.org – Pada percakapan sehari-hari, terma ‘sakit’ dan ‘belok’ kerap digunakan untuk merujuk pada individu dengan preferensi seksual selain heteroseksual. Esai ini menunjukkan bahwa penggunaan kedua kata ini dapat mereproduksi heteronormativitas sebagai ideologi gender dominan. Hal ini dimungkinkan karena dua hal, yaitu: (1)Penggunaan kedua terma ini dapat menjadi wujud kekerasan kultural yang dapat melegitimasi kekerasan struktural, termasuk di dalamnya homofobia, bifobia, dan transfobia; dan (2)Bahasa sebagai produk kebudayaan dapat mengonstruksi, mereproduksi, dan melegitimasi realita yang menjadi world-view individu dalam menafsirkan dunia secara rasional.
Dengan demikian, penggunaan terma ‘sakit’ dan ‘belok’ tidak dapat sekadar dipahami sebagai penggunaan kata untuk merujuk kategori sosial tertentu, yaitu individu dengan preferensi seksual selain heteroseksual, namun harus dipahami sebagai wujud kekerasan kultural yang melegitimasi diskriminasi pada individu dengan preferensi seksual selain heteroseksual dan sebagai upaya konstruksi, reproduksi, dan legitimasi realita sosial bahwa individu dengan preferensi seksual selain heteroseksual memang ‘sakit’ dan ‘belok dari jalannya yang lurus.’Pada akhirnya, esai ini menunjukkan bahwa dekonstruksi kedua terma ini dapat mengantarkan kita pada dekonstruksi heteronormativitas sebagai ideologi gender dominan yang diskriminatif dan opresif. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa penggunaan kedua terma ini memiliki relasi dialektik dengan heteronormativitas itu sendiri. Oleh karena itu, dekonstruksi kedua terma ini harus dilakukan bersamaan pula dengan dekonstruksi heteronormativitas.
Artikel lengkap bisa diunduh di bawah ini.
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/03/Menakar-Penggunaan-Terma-Sakit-dan-Belok.pdf”]