Search
Close this search box.

[RESENSI] Seks & Hijab: Gairah dan Intimasi Dunia Arab yang Berubah

Oleh: Siti Rubaidah

Sebuah buku terjemahkan Adi Toha dari karya Shereen El Feki berjudul: Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World rupanya sangat menarik. Pasalnya, Shereen si penulis yang berlatar belakang keturunan Mesir-Inggris ini mencoba menguak perilaku seksual di negeri Arab yang selama ini dianggap tabu.

Buku ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Shereen selama lebih dari lima tahun, dimana ia melakukan studi tentang Timur Tengah yang merupakan negeri leluhurnya, khususnya menyoal isu emansipasi dan seksualitas perempuan. Pengalaman kerjanya sebagai jurnalis di The Economist yang bergelut dengan isu HIV dan AIDS dan sebagai Wakil Ketua Komisi Global untuk HIV dan Hukum, sebuah lembaga bentukan PBB dalam melakukan advokasi terhadap reformasi hukum, termasuk yang mengatur tentang seksualitas menjadi motivasi kuatnya untuk melacak data terbaru tentang penyebaran penyakit tersebut.

Hal yang menarik perhatiannya, justru pada kecilnya jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan Arab, di tengah migrasi massal dan akses instan internet. Pertanyaan yang kemudian menjadi panduannya adalah: Apakah Mungkin orang-orang di kawasan Arab benar-benar tidak terlibat dalam perilaku yang beresiko, tidak ada jarum suntik yang dipakai bersama, pasokan darah yang terkontaminasi, atau seks yang tidak aman?

Dalam usaha mencari jawab atas riset tersebut Shereen mulai melihat adanya kesenjangan antara penampakan publik berupa data statistik resmi, dan realitas pribadi yang dia temui. Dan di sinilah, kita dihadapkan pada sebuah kenyataan yang mungkin jauh dari perkiraan sebelumnya.

“Di dunia Arab, seks adalah kebalikan dari olahraga, semua orang berbicara tentang sepak bola, tetapi hampir tidak ada yang memainkannya. Tetapi seks –semua orang melakukannya, tetapi tak seorang pun mau membicarakannya, “ demikian Shereen mengutip kata seorang ginekolog Mesir kepadanya.

Sebuah pergeseran politik tengah mewarnai negeri Mesir pada musim dingin tahun 2011, tak lama ketika Shereen menulis risetnya, di mana ratusan ribu rakyat Mesir berkumpul di lapangan Tahrir menuntut transformasi nasional. Shereen tertarik untuk mengetahui landasan tempat berakarnya pencapaian-pencapaian dalam pergeseran posisi tersebut, yang salah satu landasannya adalah kehidupan seksual.

Ada sebuah tabu untuk dibicarakan ketika Shereen tumbuh di kawasan Arab, yakni menjauhi ‘garis terlarang’ seputar politik, agama, dan seks yang tidak boleh dilanggar dalam perkataan maupun perbuatan. Namun garis-garis itu bukanlah garis yang saling terpisah, garis-garis itu mengalir dan saling membelit seperti kaligrafi, jika Anda menghapus beberapa goresan, maka makna keseluruhannya menjadi berubah. ‘Kebangkitan Arab’ pada dekade ini mulai mengikis garis terlarang politik dan mematahkan kearifan konvensional yang dipercayai selama ini.

Dalam upayanya melakukan riset Shereen diperkenalkan dengan Azza, seorang Mesir yang menawarkan diri membantunya belajar bahasa Arab. Dalam upayanya melakukan riset, Azza memperkenalkan istilah kesehatan reproduksi dan hubungan perkawinan sebagai istilah yang sopan untuk ‘seks’. Dan dengan istilah tersebut ternyata menjadi mantra mujarab menguak harta karun kebudayaan seksual, dimana banyak para ibu rumah tangga yang putus asa, dimana banyak perempuan yang memergoki suaminya bersama tetangganya di kamar tidur mereka, melakukan telepon seks dengan temannya sendiri, adiknya yang menemukan video porno di laptop suaminya, suami mengunggah foto cabul istrinya, kakak lelakinya yang menceraikan istrinya lewat SMS ketika menolak melakukan seks, dan ketika si isteri menunjukkan inisiatif tertentu di malam pertama, suami menyeretnya bersumpah demi al-Qur’an bahwa dia tidak pernah memiliki pengalaman sebelumnya dan lain-lain.

Sementara itu kehidupan seks kaum lajang di Arab, juga cukup mencengangkan. Internet menjadi sarana ekspresi bagi kaum lajang. Ada Marwa Rakha, kolumnis panutan generasi daring, Aliaa Elmahdy pemilik blog yang mendapat sorotan internasional karena memuat foto telanjangnya, yang menafsirkan ketelanjangannya untuk menyerang budaya sensor dan meneriakkan perlawanan terhadap kekerasan, rasisme, seksisme, pelecehan seksual dan kemunafikan.

Kehidupan kaum homoseksual-pun terpotret dalam buku ini. Dari penuturan Nasim sosok pria yang menarik dan terpelajar — di sebuah klub pribadi yang menawarkan alkohol dan merayakan sebuah pesta gay—laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan tanpa menganggap diri mereka sebagai “homoseksual’ atau “gay”.

Nasim dan temannya Munir yang juga gay, mereka jarang berbaur dengan masyarakat. Mereka rata-rata orang terdidik dan kaya raya — dimana menurutnya, komunitas gay sangat terpisah-pisah, sesuai kelas. Tidak seperti anggapan selama ini bahwa kelompok minoritas akan kehilangan perbedaan sosialnya hanya karena posisi mereka yang minoritas. Orang-orang kaya menjalani kehidupan mereka sendiri, dan orang-orang miskin juga menjalani kehidupan mereka, bahaya besar jika keduanya sampai berbaur. Ada kekhawatiran dari kalangan yang kaya bahwa kelompok gay yang miskin akan melakukan perampokan, pemukulan dan bahkan pemerkosaan.

Ikatan yang menyatukan kelas-kelas yang berbeda ini adalah ketidakpercayaan. Nasim sangat waspada dengan berbagai tempat pesta, jika situasinya ‘terlalu gay’ dia akan menghindar. Kehati-hatian ini bermula dari sebuah insiden Queen Boat pada 2001, di mana sebuah pesta yang meriah di Sungai Nil digerebek oleh polisi, mengakibatkan tertangkapnya lebih dari lima puluh laki-laki homoseksual, yang dituntut, dihukum, di sebut nama, dan dipermalukan di media massa.

Perbedaan perlakuan terhadap kelas sosial juga sangat mencolok di mata aparat polisi. Di tempat-tempat gay kelas tinggi, polisi tidak bisa apa-apa. Jadi di tempat-tempat mahal, tidak ada yang peduli apakah mereka gay atau bukan.

Di akhir bab, Shereen melihat bahwa sejak terjadinya pergolakan, semua mata memandang pada keseimbangan kekuasaan politik, dan pada reformasi konstitusi dan hukum. Berbicara mengenai gender dan seksualitas, undang-undang di mesir lebih liberal dibanding negara-negara lain di kawasan ini. Seks pranikah atau hubungan sesama jenis, misalnya secara teknis tidak ilegal. Di atas kertas, perempuan Mesir lebih banyak diberi hak ketimbang rekan-rekannya di Lebanon atau di Arab Saudi.

Masalah sebenarnya sama sekali bukan hukum di atas kertas, melainkan bagaimana pelaksanaan dan penegakannya. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengubah cara berpikir orang awam tentang hukum. Selama ini rakyat Mesir telah menyaksikan hukum sebagai alat kontrol, bukan sebagai alat perlindungan, sesuatu yang dihindari bukannya ditegakkan, demi kepentingan elite, bukan rakyat kecil.

Pada saat ini, satu-satunya waktu ketika seks didengar oleh publik adalah ketika ada tragedi yang menimpa atau skandal yang terungkap. Medikalisasi seks, melalui penyakit atau disfungsi seksual, menyediakan perlindungan yang terhormat bagi berlangsungnya diskusi publik, sekaligus membatasi, mengesampingkan berbagai macam masalah dan kelompok lain yang mungkin saja dapat terangkul dengan adanya konsepsi yang lebih luas mengenai seksualitas. Tantangannya di sini adalah bagaimana mengubah seks dari masalah yang perlu diselesaikan menjadi sumber kesenangan dan kreativitas.

Menurut Shereen mempromosikan penelitian, dan pertukaran informasi yang terbuka adalah kunci menuju pemikiran baru. Yang sangat dibutuhkan di kawasan Arab adalah kerangka intelektual yang positif dan koheren mengenai seksualitas. Para pemikir Arab pernah memiliki pandangan tentang seks yang mengakomodasi baik agama maupun sains dan yang sesuai dengan zamannya, tetapi tidak ada jalan ke masa lalu, penerus mereka dari abad 21 perlu sekali mengembangkan pandangan mereka sendiri, yang masuk akal bagi zamannya.