Search
Close this search box.

[Resensi] Homoseksual di Mata Arwah

Oleh: Udji Kayang Aditya Supriyanto*

 

Judul Buku     : Puya ke Puya

Pengarang       : Faisal Oddang

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tahun              : 2015

 

Suarakita.org – “Lelaki, bos ayahnya membunuhnya dengan tidak sengaja. Namun, anak kecil pun akan tahu tindakan atasan itu sangat berbahaya… Bos ayah Bumi memasukkan kemaluannya ke pantat Bumi. Akhirnya ia meninggal…” (hlm. 45)

Dikisahkan dua arwah berumur belasan tahun tinggal di rahim Ibu Pohon. Bagi tradisi Toraja, pohon mengambil peran sentral, sebagai naungan orang mati. Dua arwah tadi, bernama Maria Ralla dan Bumi Tandiongan. Maria meninggal di usia yang sangat belia, 5 bulan. Penyebabnya tidak diketahui jelas, keluarga dan seisi desa hanya tahu Maria menderita sakit perut yang kelewat parah. Sekalipun diantar oleh penyakit, kematian Maria terbilang lebih tenang ketimbang sahabatnya, Bumi. Mari menyimak kematian itu.

Bumi dibunuh oleh Mr. Berth, seorang bos pertambangan nikel di Toraja, majikan ayah Bumi, Pak Tandiongan. Bumi mengisahkan pada Maria, “Yang membunuhku bos Ayah sendiri. Aku masih mengingatnya. Aku lupa, kenapa bisa rumah kami kosong waktu itu. Orang itu datang mencari Ayah, tetapi ia hanya menemukan aku. Maka, pembunuhan itu terjadi. Ia tidak sengaja sebenarnya.” Pada saat menceritakannya pada Maria, Bumi seperti menahan pipis. Adakah hubungan kematian Bumi dengan phallus-nya?

Tidak. Bukan phallus, melainkan anal. “Bumi meninggal sesaat setelah hmmm, pantatnya robek dan darahnya terus mengalir. Lelaki itu sialan, ini aku menirukan kata Bumi. Sebenarnya dilarang sama Ibu Pohon bilang sialan atau semacamnya,” demikian lanjut Maria, barangkali Bumi sudah tidak kuat bercerita. Mr. Berth rupanya seorang gay, meskipun bukan orientasi seksualnya itu yang berbahaya, melainkan kejahatannya, atau jika diperhalus: ngawur-nya. Hanya karena tidak menemukan lubang Tandiongan, ia melampiaskan hasrat seksualnya pada anak-anak. Apa bedanya dengan pencabulan?

Pada akhirnya kematian Bumi dipersopan, meski masih kurang sopan menurut Ibu Pohon. Arwah-arwah yang tinggal di rahim pohon (sampai mereka memulai perjalanan ke puya), hanya tahu kalau Bumi meninggal disebabkan “pantatnya diisap oleh arwah gentayangan”. Bahkan, di dunia setelah kematian, eufemisme masih ramai berkeliaran. Pembaca jelas tahu, “Tidak ada arwah yang mengisap pantatnya. Tidak ada. Seseorang telah membunuhnya.” Manusia, lebih berbahaya daripada arwah di alam sana!

Baik Maria dan Bumi, sebetulnya mereka berdua sekadar tokoh sampingan dalam novel Faisal Oddang yang berjudul Puya ke Puya. Namun, keberadaan mereka tiba-tiba menjadi penting, disebabkan novel peraih juara 4 Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 itu menyoroti isu LGBT, meski tak banyak. Oleh karenanya, Maria dan Bumi menjadi pengisah utama tentang bagaimana homoseksualitas ditatap dari mata arwah. Tantangan bagi Faisal adalah logika dua alam yang ia bangun sendiri.

Sekalipun realitas di dunia arwah, bahkan keberadaan dunia arwah itu sendiri, tak diketahui betul, bukan berarti kehidupan dunia nyata dan dunia arwah bisa disetarakan begitu saja. Misalnya soal waktu. Dalam tradisi Islam waktu di akhirat konon 1:1.000, sehari di akhirat setara seribu hari di dunia. Lantas bagaimana dengan dunia arwah di Toraja, apakah distingsi waktu antara dunia nyata dengan dunia arwah tidak ada? Para arwah pun dicitrakan bak manusia hidup, arwah saling mencintai satu sama lain, dan yang agak aneh: punya nilai.

Mestinya nilai diurus di dunia nyata, pasca kematian tinggal ditimbang saja. Tapi, Faisal mengisahkan para arwah masih mengurus hal-ihwal nilai. Termasuk ketika Maria memergoki Tandiongan, ayah Bumi, bercinta dengan bosnya, Mr. Berth. Faisal rupanya nakal, adegan sembrono itu ia ceritakan di musala, tempat ibadah umat Islam. Seperti yang diungkapkan  Maria, “langkahku berhenti di belakang musala. Tempat yang jarang digunakan karena kebanyakan pekerja tambang bukan orang Muslim, kalaupun Muslim, tetap jarang yang berdoa di sana, itu kata Bumi… Aku mau cari Bumi tapi ketemu yang lain. Mister itu buka celananya, ayah Bumi juga, geli lihatnya, hmm, semoga Ibu Pohon tidak marah aku bilang ini; tempat kencing Mister itu masuk ke pantat ayah Bumi.”

Andaikan di dunia setelah kematian nanti, pilihan hidup para homoseksual tetap dipandang sebelah mata, alangkah kecewanya aktivis LGBT seluruh dunia. Di dunia nyata saja, narasi besar masyarakat yang diskriminatif terhadap LGBT belum juga bisa didobrak. Bagaimana bila di dunia arwah nanti LGBT masih terdiskriminasi? Rasanya kaum LGBT perlu mengulang pertanyaan yang Faisal sebut beberapa kali dalam Puya ke Puya: “Kenapa surga diciptakan?” []

 

*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta