Search
Close this search box.

[Resensi] The Perfect Family: Merombak “Kesempurnaan”

Poster Film (Sumber : http://www.polarimagazine.com/wp-content/uploads/2011/11/The-Perfect-Family1.jpg)
Poster Film
(Sumber : http://www.polarimagazine.com/wp-content/uploads/2011/11/The-Perfect-Family1.jpg)

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Makna sebuah keluarga tentu akan berbeda pada setiap orang. Ada yang mengatakan bahwa keluarga adalah tempatmu berasal, ada yang mengatakan tempatmu untuk pulang. Ada juga yang mengatakan bahwa keluarga adalah cerminan dari diri kita, ada juga yang mengatakan bahwa kita adalah cerminan dari keluarga itu sendiri. Hanya satu persamaan yang saya temui pada setiap definisi tersebut, keluarga adalah cinta kasih.

Namun apa yang terjadi jika seseorang di dalam keluarga itu mengorbankan keluarganya sendiri hanya demi sebuah pengakuan masyarakat? Film The Perfect Family (2011), menceritakan seorang ibu bernama Eileen (Kathleen Turner) yang menjadi salah satu kandidat sebagai “Catholic Woman of The Year” di gerejanya. Kemudian Eileen berusaha sekuat tenaga agar dia bisa mendapatkan gelar tersebut. Termasuk mengorbankan keluarganya.

Sebagai salah satu syarat agar Eileen bisa mendapatkan gelar tersebut, pihak gereja haruslah mengunjungi rumah Eileen dan bertemu dengan keluarganya. Terdengar mudah memang jika keluarga Eileen hanyalah keluarga biasa seperti pada umumnya, namun tidak, keluarga Eileen tidaklah sesederhana itu.

Sang suami (Michael McGrady) adalah seorang pemabuk yang berusaha menahan hasrat minumnya setelah menikah dengan Eileen. Anak laki-lakinya yang bernama Frank (Jason Ritter) adalah seorang duda dengan dua anak dan sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang lebih tua darinya. Sedangkan anak perempuannya, Shannon (Emily Deschanel), adalah seorang lebian yang secara terbuka sedang menjalin hubungan dengan Angela (Angelique Cabral), ditambah lagi Shannon sedang mengandung.

Melihat kondisi keluarganya yang “tidak biasa” itu, Eileen merasa bahwa dirinya tidak akan menang dalam pemilihan Chatolic Woman of The Year tersebut. Sehingga dia terpaksa berbohong tentang keluarganya kepada pihak gereja. Termasuk menandatangani sebuah petisi untuk menolak Gay Adoption hanya untuk mengatakan bahwa Eileen memiliki keluarga yang “sempurna”.

Keadaan semakin sulit untuk Eileen ketika anak perempuannya ternyata sudah merencanakan sebuah pernikahan tanpa sepengetahuannya. Shannon tidak pernah mengatakan rencana ini kepada ibunya karena dia mengira bahwa ibunya tidak ingin datang.

Dari pernikahan anaknya itulah Eileen bertemu seorang pendeta dengan pandangan lain tentang LGBT, dan kepada pendeta itulah dia menceritakan bahwa dirinya sudah mengorbankan keluarganya hanya demi sebuah gelar yang bahkan Eileen sendiri tidak tahu untuk apa gelar tersebut.

Dari film dengan genre drama komedi ini, kita semua diajarkan bahwa proses penerimaan seseorang terhadap LGBT memang tidaklah mudah. Terlihat dari kisah Christina (Elizabeth Pena), ibu dari Angela, yang mengatakan bahwa sangat berat pada awalnya untuk dirinya bisa menerima anaknya. Namun dia percaya bahwa anaknya adalah anak yang baik, begitupun Shannon.

Kemudian, diceritakan pula bahwa Shannon beberapa kali masuk rumah sakit dikarenakan ada suatu masalah pada kandungannya. Yang akhirnya merengut calon anaknya itu. Dari kejadian itu, Eileen mengakui bahwa dirinya pernah melakukan aborsi dan beranggapan bahwa semua ini karena perbuatannya itu.

Banyak sekali cerita-cerita yang diangkat secara sederhana di dalam film ini yang sekaligus bisa membuka pemikiran kita akan isu-isu tersebut, terutama moral kita. Dari film ini kita diajarkan bahwa semua orang melakukan kesalahan. Terlepas apapun kesalahannya itu, kita sebaiknya tidak memberikan beban moral yang lebih lagi hanya karena kita merasa lebih “suci” dari orang tersebut, karena kembali lagi, semua orang tidak luput dari kesalahan. Dan itulah yang membuat Eileen akhirnya bisa menerima keluarganya yang unik tersebut dan menghancurkan kontruksi tentang “keluarga yang sempurna” yang selama ini terngiang di kepalanya. Keluarga yang ternyata disebut sebagai sesuatu yang “Refreshing” oleh pihak gereja Eileen.

Film dengan durasi 84 menit ini sungguh menawan hati saya, film ini bisa memberikan pandangan lain akan makna cinta terhadap keluarga. Cinta yang bukan berarti pemaksaan terhadap siapapun didalamnya, tetapi cinta yang hangat untuk siapapun yang ada di dalamnya. Sehingga pada akhirnya saya beranggapan bahwa setiap keluarga itu sempurna dengan cara dan karakteristiknya sendiri.

 

*Penulis adalah mahasiswa  STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.