Oleh : Rena Asyari
Suarakita.org- Selimut empuk ini menjadi tempatku tinggal. Hampir dua puluh delapan minggu aku berdekatan denganmu hingga bisa kudengar detak jantungmu. Sesekali aku mencandaimu dengan menggerakkan kaki mungilku. Lalu akan kudengar suaramu yang muntah-muntah hebat. Dan kumiringkan kepalaku ke kiri maka perutmu pun akan membusung ke kiri.
Tempat ini benar-benar membiusku, betah aku dibuatnya. Tak ada rasa gelisah, kekhawatiran, sedih dan lara. Tempat ternyaman di semesta ini. Dari sini aku bisa merasaimu. Mengenalmu untuk pertama kalinya, mendengar tawa dan tangismu. Kepedihan tak bisa kamu tutupi dariku. Terkadang aku dipaksa untuk membaca pertanda-pertanda yang tak pernah kau ucapkan. Aku hanya bisa menerka tentang ingatan, kenangan, kerinduanmu akan seseorang. Seringkali aku mendengarmu berdoa. Ada banyak nama kau sebut. Aku mengambil posisi pertama dalam urutan nama yang sering kau ucapkan.
Tepat pada bulan kedua di tahun 2006, ketika matahari datang telanjang, bulan perawan baru saja pergi dan aku mengendus-ngendus tanpa ampun aroma embun yang datang kepagian. Segumpal darah melekat dalam rahimmu. Darah yang kemudian menjadi seonggok daging (embrio) dengan ruh. Makhluk hidup yang nantinya akan menggantungkan hidupnya padamu, melekat, menyatu, tumbuh dari ari-ari yang kau hidupi dengan susu, makanan dan buah-buahan. Darahmu menjadi darahku. Setiap tetes susu ibu hamil yang kau teguk menjadi daging untukku. Lalu ketika daging itu telah melekat begitu kuat pada rahimmu, segala macam pantangan pun muncul. Kamu diharuskan suci. Dilarang mencederai sesamamu juga terhadap mahkluk Tuhan lainnya. Dilarang memaki. Dilarang mengumpat. Duh Gusti… betapa kamu telah diperdaya olehku, seonggok daging dengan ruh yang bahkan belum bermata.
Kamu mengeluh namun juga bergembira dengan hadirku, tapi aku tahu gembiramu akan surut ketika petang muncul. Aku menyebutnya syndrome petang. Kamu akan menggigil kedinginan dan pucat pasi untung saja dari mulutmu tidak sampai keluar buih. Lalu hormon cortisol pada dirimu bekerja maksimal. Imajinasimu dipenuhi dengan daging lain yang akan masuk ke mulutmu ketika hening malam mulai singgah dan bunyi angin terdengar seperti lolongan serigala di telingamu. Kamu menangis tapi cuma dalam hati. Isakmu terdengar lirih olehku. Isak yang selalu menyisakan cerita tentang masa lalumu yang menurutku istimewa.
Produksi hormon cortisolmu yang bekerja berlebihan akan berhenti ketika fajar datang secara mengendap-ngendap. Pada saat daun-daun menggeliat menyambut udara hangat. Burung- burung mulai bernyanyi dan terbang dari satu ranting ke ranting lainnya. Kokok ayam kali ini datang terlambat. Konon katanya ayam mulai bosan dengan rutinitas yang tak mendatangkan keuntungan buat dirinya. Tidak makanan dan tidak rupiah pun didapatnya.
Kamu bersandar pada daun pintu rumahmu. Mengelus perutmu yang besar membusung sambil sesekali kamu meringis kesakitan. Payudaramu membesar, Areolamu menjadi lebih gelap dan diameternya membesar. Vena di payudaramu menjadi lebih kelihatan. Putingmu menghitam dan teramat peka terhadap sentuhan. Ketika mulut kecilku kehausan maka dengan mata yang belum membuka, aku akan menelusuri areolamu. Mengendusnya perlahan lalu mencicipi air susu yang menetes dari putingmu. Membayangkan itu kamu tersenyum. Ini sudah minggu ke 28 artinya 12 minggu lagi aku lahir.
Detik-detik yang kulalui denganmu adalah detik penuh cerita. Kamu selalu menyisipkan cerita seiring diameter perutmu yang membesar. Kamu ingat? Kamu pernah bercerita padaku.
Tentang padang rumput di samping rumahmu yang selalu basah oleh embun pagi. Lalu kamu akan menikmati udara yang segar itu dengan temanmu. Dari cara bertuturmu aku tahu kalau kamu menyayanginya lebih dari teman. Kamu bercerita tentang perjalananmu yang tiba-tiba ke Semarang dengan temanmu. Kalian mengunjungi Pagoda Avalokitesvara. Mempelajari ajarannya. Sebulan tanpa kabar hingga membuat kakek dan nenek khawatir. Ternyata kamu nakal juga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika nenek tahu kalau anak bungsunya mempelajari ajaran Budha. Reputasi kakek sebagai ulama besar bisa berantakan.
Aku selalu menyimak setiap kata yang kamu ucapkan tentang temanmu itu. Sungguh aku ingin berkenalan dengannya. Seseorang yang membuatmu jatuh hati. Berbeda ketika kamu menceritakan tentang ayah. Kamu seperti tak menjadi diri sendiri.
Dua lainnya lahir lebih dulu dariku. Kamu panggil yang pertama dengan sebutan Ai, kelak aku akan memanggilnya mas Ai. Kamu panggil yang kedua dengan Dwi, karena dwi artinya dua dalam bahasa Jawa, bahasa ibumu. Dwi adalah genap tapi pada kegenapannya aku melihat keganjilan. Dia hanya terlahir dari satu rasa, nafsu saja. Setidaknya itu yang kamu bilang padaku saat senja hari, pada hari ke 156 aku bersamamu. Suatu ketika kamu curhat kepadaku. Kamu bilang, kamu hanyalah mesin, seperti mesin penetas telur ayam broiler. Dua tahun sekali melahirkan katamu. Aku tertawa, membayangkan aku produk dari sebuah ayam broiler, ayam bodoh yang bisanya cuma makan saja. Duhai ibu, kemana perginya rasa cintamu pada ayah? bagaimana rasanya menjalani hari-hari penuh rasa takut dan beban? Karena aku melihat ketidaknyamananmu akan ayah menyebabkan dirimu rusak. Kerusakan yang menyeluruh, yang tertinggal hanya baktimu. Entah bakti kepada siapa, Tuhan atau keluarga? bisakah kamu berbakti pada dirimu sendiri ibu?
Minggu ke 34. Kamu berkontraksi. Lebih cepat dari semestinya. Aku akan menghirup udara bumi untuk pertama kalinya. Aku sedih meninggalkan tempatku, tempat dimana semua ketenangan dan kebahagian singgah.
Aku ingat menjelang hari aku menuju jalan keluar, kamu semakin pucat. Tapi kurasai bahagiamu membuncah. Apakah kamu merasa akan kehilangan diriku? Kamu selalu menyebutku guru kehidupan, lalu kudapati kamu menangis. Rasa takut mulai menghantuimu. Kelak ketika aku dewasa akan kuceritakan padamu tentang tempatku tinggal. Tempat dimana semua sumber kejujuran bermula. Tempat dimana semua rasa bisa dirasai. Tak ada yang bisa disembunyikan. Begitu juga dengan rasa cinta. Ketika kamu dengan cerdas menempatkan cinta pada ruang terdalam di hatimu. Aku bisa tahu sekalipun kamu memakai topeng untuk menutupinya. Orang dewasa menyebut tempatku tinggal adalah rahim.
Lalu akupun menghirup udara luar. Semua menyambutku dengan senyum dan tangis kebahagian. Tapi aku sendiri menangis, karena aku tahu kebohongan pertama telah dimulai. Ya… aku melihatmu dan ayah. Ada kebohongan di sana. Suatu hal yang kamu sembunyikan. Ayah tak tahu. Tapi aku tahu
Kamu menimangku. Aku melihat binar bahagia itu mampir di matamu, syndrome petang tak lagi nampak. Setidaknya kamu lega masa nifasmu panjang selama 40 hari. 40 hari tanpa syndrome petang bukankah itu membahagiakanmu Ibu? Kamu bebas tugas. Tidak usah melayani ayah.
Aku mulai menelusuri areola yang menggelap. Kamu mengernyit kesakitan ketika puting susumu kutarik dan kuhisap kuat oleh mulut kecilku. Kamu mengernyit. Entah itu pertanda nikmat atau rasa sakit. Atau barangkali kamu sedang mengingat ketika mulut dengan ukuran lebih besar pernah menghisapnya juga penuh rasa. Rasa marah atau nafsu dari ayah.
Kamu memanggilku Jasmine. Kamu suka kata Jasmine, sederhana, sesederhana melati katamu. Aku tersenyum, aku juga suka nama itu.
Aku mencuri perhatianmu dan juga ayah. Berkali-kali aku berebut puting susumu dengan ayah, yang pada akhirnya aku menang. Ketika sedang menyusu padamu. Aku mencoba menerka tentang apa yang sedang kamu rasakan. Apakah kamu masih ingat dengan temanmu yang selalu kamu ceritakan dahulu padaku?
Kini aku telah terbentuk sempurna. Menjejak dengan kakiku yang mungil. Memanggilmu dengan sebutan ibu, adakah kamu tahu arti kata ibu? Ibu yang kuucapkan bukan sekedar kata ibu. Tidak sama dengan ketika mas Ai memanggil gurunya ataupun tetangga yang lebih tua dengan sebutan ibu. Ibu, begitu caraku memanggilmu adalah sebuah pengharapan tentang kasih, sayang, pengorbanan, cinta, dan rasa memiliki. Ibu adalah jiwa, sumber kehangatan, sumber pemakluman. Biarkan nafasku menyatu dengan nafasmu, impianku menjadi sarapan di pagi harimu.
Ya… benar tiga saja cukup, tidak empat tidak juga lima. Mas Ai, Mbak Dwi dan Aku. Kamu pun tidak memangkasnya menjadi dua. Kamu biarkan aku berkumpul dengan kedua kakakku dan berbagi cerita. Pada sorot mataku tersimpan harapan, impian, dan wujud kasih generasi sebelumnya. Aku ada bukan semata untuk melangsungkan keturunan, memperbanyak generasi. Lihat mata-mata kecil Mas Ai dan Mbak Dwi, mereka penuh kasih memanggilmu ibu, sekalipun mereka menyimpan rindu pada sosok Ayah.
Matahari hampir mengantuk, sebentar lagi terpejam, dan petangpun datang. Tapi kamu tak lagi diliputi syndrome petang. Petangmu tak lagi sama, raut kecemasan tak lagi terlihat. Bersama dengan tiga pasang kaki mungil, kamu mulai melakukan rutinitas setiap minggu menuju gundukan tanah merah yang masih basah. Ayah meninggal ketika aku baru dua bulan menghirup udara bumi. Melewati enam tahun dengan syndrome petang, bukanlah hal yang mudah.
Aku menjadi dekat dengan temanmu semenjak ayah tiada. Dia menyenangkan. Setidaknya dia bisa membuatmu bahagia, tergelak dan menari. Jangan khawatir, aku adalah makhluk penyimpan rahasia. Rahasiamu tersimpan rapat. Tak akan kuceritakan pada nenek dan kakek tentangmu dan temanmu. Melihatmu bahagia itu sudah cukup.