Search
Close this search box.

Membedah LGBT Di Kelompok Laki-laki

Suarakita.org- Yayasan Pulih bekerja sama dengan Mencare+ dan Aliansi Laki-laki Baru (ALB) mengadakan rangkain diskusi mengenai maskulinitas. Diskusi terbuka kali ini mengenai hubungan antara LGBT dan Moralitas di Indonesia, Sabtu 15 Agustus 2015 di Jakarta Selatan.

Bagia selaku moderator dalam acara ini mengatakan bahwa salah satu tujuan diadakannya acara ini adalah untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dengan melibatkan kelompok laki-laki di dalamnya.

Syaldi dari ALB memberikan tanggapan ketika sesi tanya jawab bahwasannya Selain untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat, ternyata angka kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam hal ini adalah kelompok LGBT pun mengalami peningkatan. Kemungkinan salah satu faktor pemicu meningkatnya kekerasan terhadap kelompok LGBT adalah pandangan masyarakat luas yang masih menganggap bahwa kelompok LGBT adalah kelompok yang mengalami dekadensi moral atau immoralitas. Sehingga masyarakat tampak permisif apabila kelompok minoritas seksual ini mengalami kekerasan karena masih dianggap itu adalah buah dari perbuatannya yang tidak mengikuti sistem moralitas yang berlaku di dalam masyarakat .

Hadir sebagai teman belajar (narasumber – red) dalam diskusi kali ini adalah Irwan M. Hidayana beliau adalah seorang dosen dan peneliti Pusat Kajian Gender dan Seks Universitas Indonesia. Irwan memulai paparannya dengan membahas sedikit sejarah keragaman seks dan gender yang ada di Indonesia.

Menurut Irwan, dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, LGBT sudah jauh lebih dikenal dalam masyarakat. Misalnya ketika hendak masuk Museum Nasional kita dapat menyaksikan patung Ardhanari yang merupakan peninggalan masyarakat Hindu. Patung tersebut merupakan gabungan antara simbol maskulinitas (Dewa Siwa) dan simbol feminitas (Dewi Parwati) dalam satu tubuh secara simetris. “Dan dalam konteks LGBT hal itu menjelaskan bagaimana dalam tubuh manusia itu ada dua dimensi itu” tegas Irwan.

Suasana Diskusi (Foto : Eddy/Suara Kita)
Suasana Diskusi
(Foto : Eddy/Suara Kita)

Hal penting menurut Irwan adalah bagaimana moralitas LGBT ini dihadapkan dengan heteronrmativitas, bahwa norma yang paling baik dan diagungkan (dalam konteks seks) adalah yang heteroseksual. Irwan menekankan bahwasanya yang tidak kalah penting adalah bukan hanya pada heteroseksual itu sendiri, namun pada norma heteronormativitas yang sangat patriarkal.

Mengapa demikian? Menurut Irwan dalam masyarakat heteronormativitas selalu melahirkan hierarki. Seorang laki-laki atau perempuan yang heteroseksual, menikah, punya anak dan istri atau suami, dan sukses akan memiliki hierarki paling atas dibandingkan mereka yang tidak dapat memenuhi syarat lengkap tersebut. Hal ini juga berlaku dalam konteks LGBT. Seorang gay atau lesbian yang berpendidikan dan sukses tentu akan dinilai lebih baik dibandingkan dengan waria yang berpendidikan dan sukses bekerja sebagai desainer. Dan waria yang bekerja di salon, tidak berpendidikan, bekerja sampingan sebagai pekerja seks tentu akan berada pada hierarki yang paling rendah.

Bagaimana kemudian seorang laki-laki dapat terlibat dan berpartisipasi dalam isu-isu LGBT? Mengapa laki-laki (baik heteroseksual maupun homoseksual) harus terlibat dalam isu-isu LGBT? Irwan menjelaskan bahwasanya keragaman biologis, sosial dan budaya dalam kehidupan manusia adalah adalah suatu keniscayaan. Secara biologis manusia tidak terlahir hanya sebagi laki-laki dan perempuan saja, masih ada interseks misalnya. “Sehingga keberadaan keberagaman gender dan seksualitas dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal, karena realitas dan fenomenanya memang ada”, tegas Irwan.

Lalu, menurut Irwan, berbicara mengenai hak LGBT maka tidak lepas dari pemenuhan Hak Asasi Manusia. Dan pemenuhan hak-hak LGBT sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan. Terakhir, memerangi segala bentuk ketidak-adilan adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. (Eddy)