Search
Close this search box.

Waria Sleman Upacara HUT Kemerdekaan Indonesia

Suarakita.org – Sebanyak 30 waria di Sleman bersama beberapa masyarakat umum mengadakan upacara bendera dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI yang ke 70, Senin 17 Agustus 2015, di Lapangan Susteran Roh Kudus Magoharjo, Yogyakarta.

Menurut Rully Malay, salah satu peserta upacara, kegiatan ini untuk menumbuhkan jiwa patriotisme kelompok waria pada bangsa yang selama ini telah berbuat banyak pada masyarakat.

“Kegiatan ini untuk manifestasi semangat perjuangan kelompok waria yang selama ini telah dibuktikan melakukan kegiatan sosial bagi masyarakat”, ungkap Rully via telponnya. Menurut Rully,  kelompok waria selama ini telah melakukan kegiatan-kegiatan kemanusian yang merupakan semangat dari perjuangan para pahlawan.

Rully menjelaskan bahwa kegiatan ini sendiri dimulai sejak tahun 2009 paska kelompok waria membantu korban letusan gunung berapi di Yogyakarta. Kemudian kegiatan upacara ini menjadi kegiatan rutin yang setiap tahunnya dilakukan oleh komunitas Waria Sleman bersama masyarakat dan para suster.

Dalam status facebook, Rully   mengungkapkan bahwa kegiatan upacara bendera ini untuk mengingatkan salah satu Bupati di Kendari, Sulawesi Tenggara yang melarang waria ikut terlibat dalam acara 17 Agustusan.

Rully (mengenakan baju merah) hormat bendera (Sumber : Rully)
Rully (tengah, mengenakan baju merah) hormat bendera
(Sumber : Rully)

“Ini adalah potret upacara bendera peringatan hari kemerdekaan RI ke-70 oleh rekan-rekan waria di Yogyakarta, ini khusus kami kirimkan sebagai kado terindah bagi seorang pejabat publik setingkat bupati yang beberapa waktu lalu dengan bangga mengeluarkan statement di salah satu surat khabar lokal di Kendari yang melarang transgender ikut serta dalam perayaan upacara tujuh belasan”, tulis Rully dalam akun status facebooknya.

Selain upacara bendera diadakan juga kegiatan-kegiatan lain, seperti bakti sosial, permainan dan lomba peringatan 17 Agustusan. Kelompok waria di Yogyakarta memang selama ini menjadi kelompok yang lebih cenderung bisa diterima oleh masyarakat dibandingkan di propinsi lainnya. Dibuktikan dengan adanya pesantren waria dan shelter waria yang lokasinya bersama masyarakat umumnya. (Hartoyo)