Search
Close this search box.

[Resensi] Cermin Tak Pernah Berteriak

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Biseksual memang terkadang membingungkan. Tidak saja bagi masyarakat awam, bahkan bagi teman-teman LGBT sendiri sekalipun. Dia tidak straight, juga tidak gay. Beberapa orang berpendapat bahwa ada Biseksual yang cenderung Homoseksual, atau malah cenderung Heteroseksual. Atau 50:50, sehingga dia bisa mencintai seorang laki-laki dan perempuan sama besarnya.

Saya juga tak jarang menemukan seorang gay yang denial sehingga mengatakan dirinya biseksual untuk menutupi identitas gay-nya. Ada juga yang memang merasa menikmati berhubungan dengan laki-laki ataupun perempuan. Namun sejauh yang saya pahami, biseksual hanya terbatas pada gender yang biner. Yaitu laki-laki dan perempuan cisgender[1]. Namun benarkah demikian?

Dalam buku berjudul Cermin Tak Pernah Berteriak ini, sang penulis, Ida R. Yulia, menghadirkan Baskoro, seorang Biseksual yang kehilangan istrinya karena sebuah kecelakaan. Setelah kematian istrinya tersebut, hadirlah kekasih laki-laki Baskoro pada masa kehidupan lamanya. Keadaannya diperumit dengan hobi sang tokoh yang gemar melakukan cross-dressing. Ditambah lagi kehadiran anak kandung Baskoro yang bernama Ega.

Memang terdengar begitu “berlapis” konfliknya. Namun begitu saya memasuki halaman-halaman pertama, saya sudah bisa merasakan bahwa buku ini akan “ramah” terhadap isu LGBT. Mungkin karena ditambah adanya beberapa testimoni dari beberapa aktifis LGBT.

Buku dengan 292 halaman ini sejatinya bercerita mengenai penerimaan terhadap diri sendiri, dan juga pihak luar kita, dalam hal ini anaknya Baskoro, Ega. Sehingga cerita yang disajikan tidak sesederhana masalah percintaan sang ayah saja, tetapi juga berkutat membahas psikologi anak. Seperti jatuh cinta untuk pertama kali, dan lain sebagainya.

Satu hal yang menarik bagi saya dari buku ini. Yaitu reaksi yang diberikan oleh Ega kepada ayahnya yang hobi cross-dressing dan juga memiliki seorang kekasih laki-laki. Yang mana setelah kepergian istrinya, Baskoro semakin “jadi” dan berani dalam mengekspresikan dirinya.

Reaksi yang menurut saya mirip dengan reaksi homophobic yang sudah dewasa. Dimulai dari argumennya, reaksi Ega yang berusaha melarang ayahnya untuk tidak melakukan cross-dressing. Bahkan sampai melakukan sebuah tindakan seperti menarik-narik kerudung yang dikenakan oleh ayahnya (Halaman 266).

Untuk sebuah novel fiksi, muatan buku ini sangatlah kompleks. Seperti yang saya sebutkan di atas. Buku ini juga terdapat teori-teori seksualitas di dalamnya. Beberapa diantaranya seperti menjelaskan apa yang dimaksud dengan biseksual, juga tentang cross-dressing, dan masih banyak lagi. Sehingga yang saya khawatirkan jika buku ini dibaca oleh seorang remaja, atau masyarakat umum, teori-teori tersebut tidak sampai ke pembaca. Atau nantinya pembaca malah merasa aneh tentang Baskoro.

Melalui buku ini, saya bisa menyimpulkan dan mendapatkan jawaban untuk pertanyaan saya di awal tulisan ini. Bahwa Biseksual itu sangatlah cair dan tidak bisa dikotak-kotakan secara kaku seperti itu.

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.

 

Catatan Kaki:

[1] Bukan Transgender.