Search
Close this search box.

[RESENSI] Fenomena Transvesti dalam Kesenian Tradisi

Oleh : Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Dalam tulisan saya yang lalu mengenai Reog Sunda, saya memaparkan bahwa dalam kesenian Reog Sunda tersebut ada sebuah fenomena yang biasa disebut transvesti dalam dunia seni, atau dalam bahasa Inggris biasa disebut cross gender. Gender itu sendiri seperti yang didefinisikan oleh WHO adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu, dan transvesti itu tidak sama dengan transgender.

Transgender adalah seseorang yang identitas gender, ekspresi gender serta peran gender tidak sesuai dengan tubuhnya ketika ia dilahirkan (RutgersWPF Indonesia). Sedangkan transvesti adalah suatu peran yang bersifat “sementara”. Contoh sederhananya adalah seorang penari cross gender yang dalam kesehariannya tetap berpenampilan laki-laki. Atau seperti Bissu, seseorang yang memiliki dua elemen gender manusia yakni laki-laki dan perempuan. Artinya, bissu diperankan oleh laki-laki bersifat perempuan.

Seperti yang dipaparkan di dalam buku Cross Gender yang ditulis oleh Didik Nini Thowo, saya menemukan bahwa tidak hanya dalam Reog Sunda saja transvesti ini ditemukan. Dalam buku ini Didik memaparkan beberapa kesenian atau kebudayaan tradisi lain yang mengandung nilai-nilai tranvesti di dalamnya. Seperti Bissu di Sulawesi Selatan, Pertunjukan Teater di Cina yang banyak menunjukan laki-laki yang melakukan cross gender, Teater Jepang Kabuki dan Takarazuka, Drama tari Arja di Bali, dan juga beberapa pembahasan mengenai transvesti dari perspektif kesenimanan. Dan saya meyakini sebenarnya masih banyak lagi kesenian yang mengandung nilai tranvesti di dalamnya namun tidak tereksplorasi di dalam buku ini.

Dalam buku dengan tebal 132 halaman tersebut, kita dengan jelas akan mengetahui bahwa cross gender atau transvesti dalam kesenian memang sudah bukan hal yang aneh lagi. Dalam kata pengantar buku ini, yang ditulis oleh G.R. Lono Lastoro Simatupang, memaparkan bahwa transvesti adalah sebuah karunia, bukanlah petaka.

“Penting pula untuk dicatat bahwa sehubungan dengan adanya tuntutan pada seniman untuk mampu melintasi batas, Supanggah menilai ‘sifat AC/DC’ sebagai karunia, bukan petaka.” (Halama XI)

Dalam dunia kesenimanan, transvesti itu sendiri pada awalnya adalah sesuatu yang ditolak keras oleh seniman-seniman yang dianggap senior, seniman-seniman yang menjunjung tinggi norma-norma kaku. Namun pada akhirnya transvesti ini dapat diterima terutama dianggap menguntungkan kehidupan tari. Yang mana sangat sulit menemukan seorang laki-laki yang gerakannya halus ketika menarikan tarian Jawa gaya Surakarta.

Saya sendiri menyimpulkan, bahwa dengan adanya transvesti dalam dunia kesenimanan, akan semakin menambah warna dalam setiap pertunjukan kesenian. Memecah warna hitam dan putih menjadi warna-warna lainnya.

Buku ini, memberikan saya wawasan yang lebih luas lagi mengenai makna tradisi itu sendiri. Bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang harus bersifat statis dari waktu ke waktu, melainkan sesuatu yang terus berkembang, menjadi kontemporer, dan kemudian kembali menjadi tradisi. Dan terus berulang seperti itu sampai manusia merasakan cukup. Namun satu hal, manusia tidak pernah merasa cukup.

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita wilayah Bandung.