Oleh : Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- “Tidak ada keluarga yang suka putrinya jatuh cinta dengan gadis lain, dan bukan menikah dan hidup baik-baik. Percayalah, tak ada!” Begitulah salah satu percakapan antara Carly dan Maggie. Dua orang perempuan yang mulai jatuh cinta.
Novel fiksi dewasa berjudul Falling ini memberikan kita sebuah pandangan tentang betapa cairnya seksualitas itu. Hal ini digambarkan melalui tokoh utamanaya Carly, seorang perempuan yang awalnya mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual yang memiliki seorang tunangan bernama Seth, namun ternyata bisa jatuh cinta pada Maggie, seorang perempuan lesbian.
“Buku ini saya tulis pada bulan November tahun 2013. Di situ titik awalnya. Saya mulai berdiskusi dengan editor saya mengenai plot yang ada di kepala saya. Dan buku ini saya selesaikan di bulan Mei 2014. Kurang lebih 6 bulan penulisan. Revisi bolak balik dan tahap editing. Buku ini akhirnya terbit di bulan Maret 2015”, tutur Rina Suryakusuma, penulis Falling, lewat wawancara yang kami lakukan secara online.
Menurut saya Rina Suryakusuma, sang penulis, berhasil mengajarkan kita bahwa penerimaan diri itu sangatlah penting. Karena melalui penerimaan diri, kita bisa lebih mengerti apa yang kita butuhkan untuk bahagia. Apakah itu mengikuti kemauan keluarga besar atau mengikuti kata hati kecil kita. Hal ini terlihat dari Carly yang merasa lebih bahagia ketika bersama Maggie, bukan ketika bersama Seth.
Dalam buku ini, kita bisa mengetahui bahwa faktor keluarga adalah faktor yang bisa menjadi hal paling mengerikan ketika seorang LGBT hendak melakukan come-out (menyatakan diri sebagai homoseksual secara terbuka – red). Dalam buku yang tebalnya 320 halaman ini, diceritakan bahwa Maggie melakukan come-out sehingga keluarga menolaknya. Kemudian Maggie terus berjuang di Ibu Kota untuk menunjukan bahwa dia bisa bertahan. Meskipun tidak dijelaskan secara detail bagaimana perjuangan Maggie tersebut. Yang kita tahu hanyalah Maggie memiliki hubungan yang buruk dengan orang tuanya.
Tidak ada hal baru yang diangkat dalam cerita di buku ini. Bisa dikatakan bahwa cerita antara Carly dan Maggie ini adalah cerita mainstream, dari heteroseksual ke homoseksual, atau sebaliknya. Namun mungkin bagi pembaca yang non-LGBT, cerita seperti ini masih dianggap aneh dan sesuatu yang memang murni fiksi belaka.
Rina sendiri sebenarnya memiliki beberapa teman yang lesbian. “Menurut saya, mereka tidak berbeda dengan kaum hetero. Mereka memiliki mimpi sendiri. Mereka memiliki ketakutan dan kegelisahan masing-masing. Mereka memiliki impian dan cita-cita. Mereka juga punya ketakutan seperti yang orang lain hadapi. Mereka menjalani hari seperti manusia pada umumnya, dan mereka memiliki kehidupan mereka sendiri. Tidak ada yang berbeda.
Yang dapat dikatakan berbeda adalah orientasi seksual yang mereka miliki. Tapi menurut saya, itu tidak membuat mereka jadi kurang manusiawi, atau aneh, dibandingkan dengan kaum mayoritas pada umumnya.
Saya rasa dilahirkan berbeda bukanlah pilihan. Jika bisa memilih sejak awal, mungkin tidak ada yang ingin dilahirkan berbeda dan menjadi kaum minoritas, di antara kaum mayoritas di dunia yang kita diami.”
Rina juga berpesan kepada para pembaca bukunya ini, “Saya hanya ingin para pembaca menikmati buku ini tanpa prasangka atau judgement apa pun. Nikmati saja ceritanya. Arungi perjalanan Carly dan Maggie, si tokoh, di buku ini. Dan saya harap mereka sampai pada pesan yang ingin saya sampaikan, bahwa Carly dan Maggie tidak berbeda dari gadis ‘normal’ yang lain. Bahwa setiap manusia, apa pun orientasi seksualnya, memiliki cerita, hidup dan cinta mereka sendiri.”
Hidup memang begitu keras memaksa kita untuk mengikuti arusnya, sehingga kita sangat sulit menentukan arah tujuan kita. Namun seperti yang dikatakan kalimat terakhir dari novel ini, “While life takes you to unexpected places, love brings you home.”
Ya, Cinta selalu membawamu pulang.
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia dan kontributor Suara Kita wilayah Bandung.